Perjumpaan Tak Sengaja

302 35 16
                                    

Ketika menyampaikan sesuatu, bukan masalah pantas atau tidak pantas. Tapi baik atau tidaknya apa yang akan disampaikan. Selama itu baik, mengapa tidak untuk disampaikan. Ya, itulah yang dapat kusimpulkan setelah mendengar penjelasan Mbak Maryam. Hatiku tak lagi bimbang.

Kubuka kembali email dari Bu Lina, kupelajari dengan sungguh-sungguh. Aku ingin benar-benar menguasainya, agar besok aku bisa menyampaikan kepada anak-anak dengan baik. Sehingga mereka bisa paham. Dan semoga mereka bisa mengamalkannya.

Kulirik jam di sudut kamarku, di atas meja kecil. Sudah menunjukkan pukul 21.32 WIB. Kututup file-file yang kubuka. kumatikan laptop. Setelah berwudhu dan berdoa, kubaringkan tubuhku untuk tidur. Sambil menunggu mata terpejam, kurapalkan ayat suci Al-Qur'an yang kuhapal. Hening. Aku telah terlelap.

"Kak Alfin, kak Alfin, kak." ucapku tanpa sadar.

Astagfirullah. Ada apa ini? Kenapa juga aku mimpi orang itu. Ini pertama kalinya, setelah 2 tahun lebih kumemutuskan pergi dari hidupnya. "Aah, ini pasti karena kemarin sore aku ingat masa kelamku." pikirku. Ku terduduk sambil memejamkan mata. Kutepuk-tepuk pipiku agar segera tersadar dan melupakan mimpiku.

Kulangkahkan kaki ke kamar mandi untuk berwudhu. Aku ingin shalat sekaligus menenangkan diri. Kutatap mukaku di cermin kamar mandi. "Dia apa kabar ya? Pasti sekarang udah jadi pengusaha sukses. Iya, pasti. Dulu kan pernah bilang dia mau nerusin perusahaan ayahnya? Dia masih ingat aku gak ya? Jangan-jangan udah nikah." cerocosku dalam hati dengan muka sedikit cemberut.

"Euh." kucubit pipiku sendiri.

"Astagfirullah. Astagfirullah. Astagfirullahaladzim. Mikir apa sih kamu, Wa. Lupakan, lupakan, lupakan!" ucapku sambil berjalan masuk kembali ke kamar, seperti orang yang merapalkan mantra.

Kusibukkan pagi ini dengan mengaji, baca buku, bikin sarapan dan siap-siap untuk berangkat ke sekolah. Setidaknya aku bisa mengusir pikiran-pikiran anehku.

Hari ini, hari sabtu. Aku tak harus berangkat pagi-pagi karena tak ada jadwal mengajar. Biasanya pun aku jarang ke sekolah kalau hari sabtu, kecuali kalau ada yang harus dikerjakan. Seperti sekarang ini, aku harus menggantikan Bu Lina.

***

"Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan (QS Al-Isra: 32)" terangku pada anak-anak.

"Kata zina artinya luas, bukan hanya zina yang kalian pahami secara umum. Tetapi bisa zina tangan, zina mata, zina lisan, zina kaki, zina telinga, bahkan zina hati. Mungkin ada yang berpikir kenapa melarang pacaran tapi ko dikait-kaitkan dengan zina. Jawabannya, karena kedua hal itu sangat berkaitan. Gini deh, ibu ingin bertanya. Di sini siapa yang pacaran dan merasa pacarannya itu sehat. Terus apa yang dilakukan selama pacarannya?"

Ada seorang anak perempuan yang mengacungkan tangan.

"Aku, Bu. Aku gak pacaran sih, Bu. Cuma mau bertanya. Misalnya aku punya pacar. Aku hanya ngobrol, sms dan telponan. Kadang-kadang belajar bareng. Itu kan gak apa-apa, Bu. Aku pun gak berpernah pegangan tangan." ucap seorang anak yang mengacungkan tangan tadi.

"Gini, Nak,  misalnya ketika kalian berdua ngobrol, terus saling pandang, lalu ada perasaan senang di hati kalian, bahkan mengandai-andai sesuatu. Nah, bukankah itu termasuk zina mata karena memandang orang yang bukan muhrim dan menimbulkan perasaan yang senang luar biasa? Dan itu juga termasuk zina hati" jelasku. Anak-anak hanya diam memperhatikan.

"Ada sebuah hadis dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: "Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda: 'Palingkan pandanganmu'."

"Hadits itu menjelaskan bahwa pandangan yang tidak sengaja pun harus dipalingkan, apalagi kalau pandangan itu memang sengaja, saling memandang. Naah, itulah salah satu alasan kenapa pacaran itu dilarang. Pacaran itu termasuk perbuatan yang mendekati zina."

***

Tok tok tok. Pintu ruang guru diketuk. Seorang siswa memakai baju pramuka masuk dengan wajah berkeringat dan sepertinya begitu khawatir.

"Ibu, ada yang pingsan." ucap anak itu dengan nafas tak beraturan.

"Siapa? kenapa?"

"Reni, Pak. Tadi sesak napas waktu latihan. Udah di bawa ke UKS. Tapi malah pingsan. Bu Dini lagi keluar." (Bu Dini adalah penjaga UKS)

Pak Ilham langsung lari mengikuti siswa tadi. Aku pun mengikuti keduanya dari belakang. Aku wali kelasnya Reni. Jadi aku merasa berkewajiban untuk menolongnya. Bukan berarti kalau siswa yang pingsan itu bukan aku wali kelasnya aku tak akan menolong ya. Sekali lagi kutekankan, bukan seperti itu.

"Sepertinya harus di bawa ke rumah sakit." ucap pak ilham.

Dengan memakai tandu yang ada di UKS, Reni di bawa ke Rumah sakit. Aku dan Pak Ilham yang mengantarkannya.

Kududuk dibangku menunggu Reni yang sedang diperiksa. Cemas melandaku. Takut terjadi yang tak dikehendaki pada anak itu.

"Tenang, Bu. Reni pasti baik-baik saja ko." kata Pak Ilham berusaha menenangkan. Ia tahu aku khawatir.

"Iya, Pak." tembalku.

Aku menunduk hendak mendoakan Reni. Saat itu, seorang dokter lewat dihadapanku. Sepertinya buru-buru. Aku hanya melihat langkahnya. Namun tiba-tiba langkahnya melambat. Entah kenapa kuperhatikan.

"Bu!" suara Pak Ilham menghentikan doaku. Suaranya agak keras, karena posisi kita memang agak berjauhan. Aku melirik dengan ekspresi bertanya.

"Tuh!" ucapnya sambil menunjuk dokter yang tadi lewat yang sekarang sudah menjauh. Aku tak mengerti.

"Ibu, kenal dokter itu?"

"Enggak pak, ada apa?"

"Tadi jalan dia melambat saat melihat ibu. Dari tatapannya, sepertinya dia mengenal ibu."

"Ahh, masa. Aku tak kenal dokter di Rumah sakit ini. Kalau pun dia mengenalku dia pasti nyapa aku, Pak." jawabku tanpa memikirkan dokter itu.

Dokter yang memeriksa Reni telah keluar. Untunglah, keadaan Reni tak parah. Orang tua Reni pun telah datang untuk menjemputnya. Aku lega.

Setelah pamit pada Orang tua Reni. Aku dan Pak Ilham berjalan di koridor untuk kembali ke sekolah. Karena motor akupun masih terparkir di sana. Begitu juga dengan mobil Pak Ilham.

Di kejauhan kulihat seorang dokter pria memakai masker sedang berlari, terburu-buru. Darurat sepertinya. Namun ketika jalannya berhadapan denganku, Ia menghentikan langkahnya. Matanya menatapku. Sedih, sepi dan takut. Itulah yang kutangkap dari tatapannya.

Ia bergeming. Aku bingung dan terus saja berjalan sambil menunduk. Jalanku semakin mendekat pada pria itu. Hingga seorang perawat pria menepuk pundaknya. Ia lari kembali melewatiku. Sekilas kulihat matanya berair.

Apa maksudnya. Apa benar pria itu menangis saat melihatku. Mungkin ada orang lain di belakangku. Tanpa sadar aku berbalik arah. Tak ada siapa-siapa selain Pak Ilham. Kulihat punggung pria itu semakin menjauh.

"Ada apa, Bu?" tanya Pak Ilham yang sepertinya penasaran karena aku tiba-tiba berbalik.

"Aah, enggak ada apa-apa, Pak." jawabku sambil kembali berbalik dan melanjutkan jalan. Tapi tiba-tiba langkahku terhenti lagi.

"Pak, bapak tahu nama dokter yang tadi kata bapak seperti kenal sama aku? Bapak kan udah lama mengajar di sekolah. Mungkin tahu." tanyaku yang seketika itu penasaran.

"Saya baru lihat. Masih muda, sepertinya dokter baru."

"Aah, ya."

Aku pulang dari sekolah seperti biasa mengendarai motor matic kesayanganku. Saat keluar dari gerbang sekolah kulirik Rumah sakit di depanku. "Pria itu menangis? Ya, aku yakin. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Tapi kenapa? Aku benar-benar tak mengenalnya." Sudahlah buat apa memikirkannya. Toh, aku tak tahu siapa dia. Aku fokus kembali memacu motorku di jalanan.

*_* Ditunggu kelanjutan ceritanya ya :)

Aku dan Kamu dalam Genggaman DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang