Aku: Sam

11 0 0
                                    

Jakarta, 21 September 2016

Suasana riuh dikantor setiap pagi kini sudah menjadi rutinitasku, terdengar suara jari-jari yang bermain diatas keyboard dan mata yang menatap pada layar monitor dengan serius, terdengar pula suara mesin fotokopi, mesin kopi, printer, dering telfon. sangat riuh.

Sudah tiga tahun aku bekerja diperusahaan ini, dan ditempatkan di bagian pemasaran. sejauh ini, aku menyukai pekerjaanku, selain mempunyai rekan kerja yang ramah, gajinya pun lumayan. Awalnya, bekerja disebuah perusahaan seperti ini memang bukan cita-citaku, tapi itulah kehidupan kita tidak pernah tau, kemana kita akan dibawanya.

 Awalnya, bekerja disebuah perusahaan seperti ini memang bukan cita-citaku, tapi itulah kehidupan kita tidak pernah tau, kemana kita akan dibawanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada pemberitahuan dari facebook muncul dilayar, 

"Sam!!!!"

"Ini gue, Meita Siregar, masih ingett gakk?"

Astagaaa, ini meita.

"ih meitaaaa aku inget ko, apa kabar ? ko gak ada kabar?"

"aku baik. Sibuk ngurus anak nih"

"lo kapan hamil? ngelahirin kapan? ko gak ngasih tau:("

terkahir kita bertemu setahun yang lalu saat Meita menikah dengan Ryan, teman sekelasnya waktu SMA .

"baru dua minggu yang lalu ko, iya sorry, baru banget kepegang nih facebooknya haha"

"yaudah weekend, aku jenguk ya kesana, pengen tau muka anak kamu kaya gimana, hahah"

"boleh aja sam, lo kapan nyusul punya anak?"

"yaelah mei, punya suami aja belom:("

"lah kan Gibran udah pacaran dua tahun sama lo, gak ada niat gitu buat nikahin?"

tanganku diam sejenak, pengen rasanya ceritain semua ke meita, tapi meita jauh di Bandung.

"aku ceritanya nanti aja langsung  ya mei, biar plong hehe:)"

"boleh aja sam, jadi dia udah ngelamar lo atau gimana sam?"

satu menit kemudian,

"sam..."

"jawab dong ih!"

aku terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa, segera aku keluar dari halaman facebook dan melanjutkan lagi pekerjaanku.

*** 

Pukul 5 sore, aku duduk dihalte bus yang tidak terlalu ramai, biasanya bus datang lima belas menit kemudian, tapi belum pasti datang juga. Jadi, terkadang aku pulang naik taksi. Aku tinggal disebuah apartemen yang tidak mewah, standar bagi pegawai biasa sepertiku. Aku sudah hidup terpisah dari orangtuaku sejak aku masuk perguruan tinggi, walaupun aku mendapatkan uang kuliah dari orangtua tetap saja aku harus bekerja paruh waktu untuk biaya sehari-hari.

Ayahku bekerja sebagai Dokter Gigi di sebuah rumah sakit dan juga membuka praktek dirumah, sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga biasa. Aku anak tunggal, menurut mereka satu anak saja sudah cukup, susahnya bukan main membesarkan anak, maka dari itu aku tidak punya adik ataupun kakak. 

Bus datang, segera aku naik, dan mengambil tempat paling belakang, karna menurutku disini tempat ternyaman untuk duduk didalam bus.

Telfonku berdering, Gibran.

"hey," kataku pelan.

"udah pulang?"

"lagi di bus, ada apa?"

"enggak cuma khawatir aja, kamu sih kalau dijemput selalu gak mau"

"hehe, kan kamu tau kantor kita jauhan, belum lagi nanti kejebak macet. kamu nyampe ke kentor ku jam berapa coba?"

"aku resign aja ya kalau gitu hehe"

"ah, kamu ini. itukan perusahaan kamu. masa bosnya resign sih" Gibran cuma terkekeh pelan. 

"oh iya, nanti sabtu aku mau ke Bandung yah"

"Mau ngapain?"

"Mau jengukin meita, dia baru ngelahirin. Sekalian mau pulang ke rumah juga"

"Aku anter yah"

"gak usah, gib"

"Kamu masih gak mau aku ketemu sama orangtua kamu?"

"enggak gitu, gib. Aku cuman belum siap aja"

"Apa yang belum kamu siapin, sam? apa belum cukup kamu nolak lamaran aku?"

"Gib, aku gak mau bahas ini ditelfon."

tanpa menunggu perkataannya, aku langsung menutup telfonnya. 








Heart, Please Listen to My BrainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang