Dia: Taka

12 0 0
                                    

Bandung, 25 September 2016

"Melahirkan sakit mei?" 

"Sakit dong, apalagi gue normal lahirannya"  Meita sibuk menimang Wisnu yang sedari tadi belum berhenti menangis.

"Kamu teriak-teriak gitu mei? nangis?" Meita ketawa aja dengernya.

"aduh... anak mama jangan nangis yaa... yaiyalah sam, nangis tapi abis  liat anak  gue senyum tapi masih nangis, heran deh. Ryan nangis juga loh, tapi sedetik kemudian langsung berhenti ko" aku tersenyum mendengarnya.

"Rasanya jadi ibu gimana mei?"

"Deg-degan, gugup banget, tapi gue jalanin aja, gue nikmatin prosesnya. Rasanya setelah melahirkan, gue nyesel deh kalau diinget-inget sering banget bandel ke nyokap. susah ya besarin anak" aku terkekeh mendengar penuturan dari Meita.

Meita masih sama kaya dulu, bawel, humoris. bedanya dia udah gendong anak dan badannya sedikit gemuk, efek melahirkan kata Meita. Dia dulu satu SMA denganku, kemana-mana selalu bareng-bareng. Dulu rumahnya bersebelahan denganku. Tapi, setelah menikah Meita pindah ke daerah kota dan tinggal dirumah baru sama Ryan. 

"Ryan belum pulang?"

"Masih diluar kota, kemarin baru berangkat. Dia ikutan cuti loh seminggu waktu gue lahiran"

"Ryan baik banget ya mei" Mei senyum saja menanggapi perkataanku.

"Jadi, lo sama Gibran gimana?"

"kamu bener, dia udah ngelamar ko,"

"terus?"

"gak bisa."

"gak bisa apanya?"

"aku yang gak bisa"

"kenapa gak bisa?"

"belum siap lah mei"

"siapnya kapan? Gibran masih kurang?"

"Kurang apa?"

"Kurang ganteng, kurang kaya, kurang ma--"

"Dia gak kurang apa-apa ko, dia baik juga udah cukup."

"Lah, terus?"

"Bukan karna Taka kan?" lanjut Meita, sambil menoleh kearahku untuk memeriksa ekspresi wajahku.

"enggak lah mei, itukan udah lama"

"emang kalau udah lama kenapa?"

"iya engak kenapa-kenapa sih, ya cuman itu kan udah lewat"

"Tapi, urusan lo sama Taka kan belum selesai waktu itu"

"ah udah mei, jangan dibahas itu"

"Sam, lo enggak pernah cari tau Taka dimana sekarang?"

"Buat apa mei"

"Minta penjelasan, pasti Taka punya alesannya" 

"Kalaupun itu harus, harusnya dia yang cari aku"

Harusnya kamu yang cari aku.

***

"Kirain bakal sama calon menantu kesininya" Sindir ibu saat aku mulai memasuki kamarku, sudah lima bulan lamanya aku enggak tidur dikamar ini. Suasananya masih sangat sama, tidak ada yang berubah sedikitpun.

"Nanti aja deh bu, masih mau kerja"

saat aku merebahkan badanku dikasur, semua rasa pegal dan cape saat perjalanan menuju kesini serasa hilang begitu saja. Rasanya beban hidupku hilang separuh. Kenapa gak dari kemarin ya aku pulang?

"lah emang, abis nikah gak boleh kerja?" Kenapa semua orang hari ini nyebelin? tadi siang Meita sekarang ibuku sendiri. Sebenarnya orang tuaku tau, aku sudah berpacaran dengan Gibran, tapi sekalipun aku belum pernah membawa Gibran kemari, dengan alasan klise-ku yang belum siap. Dan aku tidak akan menceritakan perihal Gibran yang melamarku. Karna itu akan membuatnya semakin runyam.

"ya boleh sih, tapi Lena mau fokus kerja dulu aja"

"Gak mau nyusul Meita? udah punya anak pula"

"nanti aku nyusul ko bu tenang aja, ntar Lena langsung hamil isinya 3 hehehe" aku tak bisa membayangkan sebesar apa nanti perutku, jika hamil kembar tiga. 

"Kamu ini, satu aja susah ngurusnya, yaudah istirahat ya" Ibuku berbalik dan menutup pintu kamarku.

Tapi, mengapa ketika aku mulai menutup mata, hal terakhir yang terlintas dipikiranku itu dia?

Aku harus cari kamu? atau kamu cari aku?

*Bip* Ponselku bergetar menunjukan sebuah pesan masuk.

Meita:

"Gue lupa ngasih tau lo tadi, tanggal 10 November nanti ada acara reunian SMA. Acaranya di Rich Cafe Jam 7. Dateng lo! awas gak dateng. Katanya sih ada hukuman yang gak dateng. See ya!"

*Bip* Pesan selanjutnya datang

Meita:

"Ini kesempatan lo, buat ketemu Taka."




Heart, Please Listen to My BrainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang