INTRO

21.1K 1.4K 32
                                    



Yogyakarta, 1998

Kakiku berat melangkah menuju gerbang sekolah. Ini hari pertama aku berstatus anak SMA di sebuah sekolah negeri terbaik di kota ini. Tapi hal itu sama sekali tidak membuatku bersuka cita seperti beberapa siswa yang melintas di depanku. Aku tidak ingin bersekolah di sini, tapi Mama dengan segala sikap keras dan memaksanya mampu menepiskan harapanku untuk bersekolah di sebuah SMA swasta khusus perempuan. Apalagi saat Mama tahu bila aku bersekolah di sana, aku akan tinggal di asrama sekolah. Aku sama sekali tidak mengerti dengan keinginan Mama yang lebih suka aku tinggal di rumah ketimbang aku enyah dari hadapannya. Bukankah Mama memang tidak menyukaiku? Ah...ternyata aku tidak memperhitungkan Dani. Dani lah yang merengek agar aku tidak boleh kemana-mana. Demi Dani, Mama rela melakukan hal yang ia tidak suka. Dan hal itu adalah mempertahankan aku.

Aku masih terus berdiri hingga gerbang itu ditutup. Sempat aku mendengar Pak Satpam berteriak padaku menyuruhku masuk, namun kaki ini terasa enggan digerakkan. Tubuhku bergerak saat terkejut mendengar suara deruman motor yang di gas di sebelahku. Dua cowok berseragam putih abu di atas motor tiger itu serempak melepaskan helm mereka.

"Terlambat juga?" cowok yang di depan menyapaku. Aku ngeri melihat gayanya yang mirip preman. Kedua kupingnya penuh dengan tindikan. Sekilas pandanganku menyapu wajah cowok di belakang. Dia lebih manis. Saat ia tersenyum matanya pun ikut tersenyum.

"Nggak." Jawabku pendek. Aku berbalik.

"Heh tunggu!" aku menoleh sebentar ke arah mereka namun tidak menghentikan langkahku. Cowok yang di belakang sudah turun dan berusaha mengejar langkahku. Sedangkan cowok preman menggerakkan tigernya menuju ke arahku tanpa menghidupkan mesinnya.

"Kamu anak baru juga?" Cowok manis itu sudah ada di depanku.

Aku mengangguk.

"Kenalkan, namaku Abel. Aku juga anak baru." Abel mengulurkan tangannya. Dengan enggan aku menerima uluran tangannya. Abel tersenyum manis sehingga membuat aku ikut tersenyum meskipun tipis.

"Bian."

"Itu Dion. Dia kemarin nggak naik kelas jadi sekarang statusnya sama kayak kita." Abel tertawa kecil sambil menunjuk Dion dengan ujung dagunya. Cowok preman itu tersenyum tengil dan melambai ke arahku. Pantas saja dia nggak naik kelas, sudah kelihatan dari wujudnya, kataku dalam hati.

"Terus sekarang mau kemana?"

"Pulang." Aku bersiap berbalik badan.

"Eh tunggu. Kalau nggak terlambat, kenapa kamu masih di luar?"

"Aku nggak suka sekolah di sini."

Si preman itu seketika berseru.

"Sama. O ya siapa nama kamu."

Aku memandangnya aneh.

"Namanya Bian." Abel yang menjawab.

"Bian? Nama yang aneh tapi yang pasti bukan singkatan dari Les..bian kan?" Dia terkikik sendiri. Aku pikir dia sedang menertawai kebodohannya. Aku hanya menatapnya tajam tanpa ekspresi. Dasar preman pasar! Pasti otaknya sudah habis ¾ termakan oleh dirinya sendiri.

"OK Bian..just kidding! Uhm...Kita punya kesamaan. Aku juga nggak suka sekolah di sini. Aku masuk sinipun karena Papaku. Secara nilai aku yakin banget aku sebenarnya nggak bakal diterima di sini. Terbukti kan, aku nggak naik kelas." Si Preman itu nyengir setelah bercerita padaku. Aku semakin yakin dia sudah menelan lagi otaknya yang tinggal seperempat itu.

"Aku mau pulang." Balasku.

"Eiitsss...jangan pulang. Kita harus merayakan pertemuan kita." Si Preman menghalangi jalanku.

"Yon.." tegur Abel pada si Preman.

"Ayolah Bian...jarang lho ada orang kayak aku dan kamu. Kita berdua nggak suka sekolah di SMA yang direbutkan ribuan orang di kota ini."

"Kita nggak sama." Ketusku.

"Masa sih?" si Preman itu kembali nyengir. Aku semakin kesal. "Daripada kamu pulang mending kamu ikut kita aja makan. Aku traktir. Ayo..." si Preman hendak menarik tanganku namun aku menepisnya cepat.

"Yon, udah lah jangan ganggu Bian. Biarin aja dia pulang." Abel menyela sebelum aku memuntahkan amarahku. Aneh, anak manis seperti Abel bisa berteman dengan preman kayak Dion. Lagian bukannya Abel anak baru? Kenapa dia bisa bersahabat dengan Dion. Dan ngapain juga aku pikirin?

"OK, kalau gitu..cabut Bel." Dion berbalik dan berjalan menuju motornya. Abel melambai dan tersenyum padaku sambil mengikuti langkah Dion. Senyum Abel membuat aku lupa dengan ketidaksukaanku pada si preman.

"Tunggu!" panggilanku menghentikan langkah Abel. "Aku ikut." Abel tersenyum senang sedang preman bernama Dion itu ikut tersenyum atau lebih tepatnya menyeringai girang.

***

I'm Coming Home  [Bisa Baca Sampai Tamat di DREAME]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang