Hembusan napas Henry perlahan tercekat. Membuat taringnya menjauh beberapa senti dari leher Alex. Henry merasa aroma manis yang ia hirup dari tubuh Alex saat ini mirip dengan Hara. Ia yakin sekali. Dengan perlahan taringnya menjauh dan mendapati siapa yang kini ia sentuh. Ini tidak mungkin, roh tak kasat mata itu sekarang bisa ia sentuh dengan mudah. Henry mundur beberapa langkah. Tubuh Alex bergerak mendekatinya, matanya berubah keruh dan sanyu. Tangannya melambai meminta Henry mendekat kembali.
“Hara…?” gumam Henry lemah dengan suara dalam.
***
Pukul 02.45 am.
Seseorang terbangun dan masih cemas tentang gadis yang ada di kamar sebelah. Sore tadi gadis itu pulang sendiri tanpa izinnya. Kemana gadis itu? Sudah dicari-cari, tapi ternyata tengah mendekap dirinya dalam selimut. Ia sempat berpikir gadis itu kabur dari rumah karena perlakuan dirinya yang seenaknya. Sebenarnya, bukan itu maksud perlakuannya selama ini. Ia hanya ingin gadis itu tak melakukan hal-hal bodoh di luar rumah, termasuk menemui Henry. Ia tidak ingin untuk kedua kalinya harus kehilangan seorang adik. Oleh karena itu, ia menyibukan Alex untuk mengerjakan hal yang ia pinta. Apa ia terlalu kasar? Ia rasa tidak. Sesuatu membuat dirinya harus seperti itu. Ia dan Henry terlalu berbahaya untuk didekati. Sekolah mengenal mereka begitu populer dan para siswi berlomba-lomba mengejar mereka. Satu gadis berhasil dekat dengan salah satu dari mereka berarti itu adalah malapetaka. Di sana Henry akan bermain untuk menutupi segala perbuatannya lewat mereka.
Keringat mengucur deras dari keningnya, sebegitukah ia mengkhawatirkan Alex? Tangannya perlahan bergerak menekan sebuah lampu duduk di nakas. Ia memandang pigura itu. Sebuah foto yang setahun ini ia miliki. Ditatapnya lekat-lekat gadis yang berdiri di sampingnya dalam foto itu. Ia menggeleng pelan dan mengelak; tidak mungkin gadis yang kini menjadi adiknya mirip dengan gadis yang disayanginya di sekolah dulu. Wajahnya dan segala hal yang ada di diri Alex persis dengan gadis itu. Hanya saja Alex nampak polos dan bodoh. Aku berharap nasib mereka tak sama, batinnya.
“Apa hanya aku yang menyadari mereka sama? Bagaimana Henry? Kurasa ia tak mungkin melupakannya. Henry mungkin sudah membuat mereka melupakan siswi bernama Hara, tapi aku... Eunjung? Hah, Eunjung… dia tak mungkin juga melupakannya….”
***
Pukul 06.35 pm, setahun yang lalu.
“Seunghyun Oppa!!”
“Oppa, di mana kau?!” teriak seorang gadis berambut panjang sambil menyusuri ruang kelas pemuda yang diteriakinya itu. Ini sudah hampir gelap. Awalnya mereka menghadiri rapat osis di lantai empat, tapi pemuda bernama Seunghyun yang diserukannya itu menghilang seusai rapat. Kakinya yang panjang berlari kesana-kemari mengumbar cemas dan takut. Ia cemas sesuatu terjadi dengan Seunghyun dan takut akan gelap serta suasana sepi yang merayap dalam punggungnya.
Seseorang tiba-tiba menepuk bahunya. “Ah, ada apa?” ujarnya.
Gadis itu menekan dadanya yang naik turun dan menarik napas lega pemuda itu ada di sini.
"Dari mana saja kau?” tanyanya.
“Aku ke toilet sebentar. Ah, ini sudah malam lebih kita pulang! Ayo!” Seunghyun menggandeng gadis dan berjalan keluar sekolah. Seseorang sudah menunggu di depan mobilnya.
Henry.
“Hei, anak baru… kau menjemputnya?” Seunghyun berseru seperti itu lagi, karena Henry baru sebulan di sekolah ini. Sebulan saja dia sudah mendapatkan pacar dan penggilanya begitu iri dengan gadis beruntung itu. Tentu. Ia beruntung dipilih oleh pemuda berbakat yang mendadak populer di sekolah karena kepiawaannya memainkan biola. Seunghyun melepas genggaman tangannya dan menggiring gadis itu ke hadapan Henry.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLOOD STAINS ON YOUR VIOLIN
Fiksi PenggemarAlex harus menuruti ibunya pindah dan menetap di rumah keluarga Choi. Ibunya menikah dengan pengusaha yang tinggal jauh dari tempat tinggal terdahulu. Alex benci harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Terutama tentang Seunghyun. Sejak menikah lag...