Berlatih untuk Kejam

224 8 1
                                    


Universitas Esa Unggul, Jakarta Barat, Dua Tahun Setelah Status Darurat

"Makanan semakin menipis." Danang mulai bicara. Cahaya bulan cukup membuat wajah dan rambut cepaknya terlihat oleh para mahasiwa. Ucapan selalu bisa membuat para mahasiswa diam dan menyimak, melebihi kemampuan dosen. "Tenaga juga semakin menipis. Saatnya semua orang di sini ikut berjaga. Supaya tiap orangnya tidak terlalu lelah."

Nduy dan Arini saling pandang. Rambut lurus keduanya tersibak-sibak angin malam. Atap gedung yang biasa mereka sebut lantai-8 cukup tinggi untuk mendapat terpaan angin sekencang ini. Mereka tahu ucapan asdos mereka barusan adalah tentang mereka berdua. Mereka dipinta berpern serta. Karena memang tak ada lagi yang bisa mereka lakukan setelah semua bahan makanan yang ada di kantin habis. Tak ada memasa, sebagai kesibukan, yang membuat mereka tampak berguna.

"Aku tak masalah." jawab Arini dengan murung. "Tapi, apakah kalian pikir aku bisa berlari lebih cepat dari yang terinfeksi dengan badanku ini." Ia membuat adegan yang memperlihatkan ukuran tubuhnya yang tambun.

"Karenanya kamu jangan lari." seragah Bima. "Lawan!"

"Kamu enak bicara begitu," ketusnya. "Aku membunuh nyamuk saja tak tega."

"Justru ini saatnya kamu membunuh nyamuk jadi-jadian." timbrung Yudit sambil nyengir. Bima menyempatkan tertawa.

"Tapi jangan sendiri-sendiri ya jaganya." sahut Nduy. "Kami berdua saja di satu titik."

Danang melihat ke arah Bima dan Yudit Tak ada yang antusias mendengar tawaran itu. Perbuahannya tak akan signifikan. Danang memilih memberikan iming-iming yang masuk akal bagi Nduy dan Arini.

"Jika kalian bisa berjaga terpisah, maka akan ada dua orang tiap harinya yang bisa keluar untuk mencari air." ujar Danang.

Yudit mengangguk. "Kita sudah kehabisan air mineral di mini market apartemen sebelah. Mini market belakang kampus terlalu berbahaya, karena terlalu banyak yang terinfeksi berkumpul. Kita harus keluar lebih jauh untuk bisa mendapatkan air."

"Kalian tidak bosan minum air hujan?" goda Bima pada Nduy dan Arini. Keduanya tampak berpikir karena pertanyaan Bima. Seperti mengingat rasa air dalam kemasan botol plastik yang enam bulan terakhir ini mereka tadahkan setiap kali hujan, setelah semua air sumur di seluruh penampungan kering, sejak listirk padam lalu solar habis.

"Kalau kita menemukan bergalon-galin air, maka kalian bisa mandi." tambah Danang. Dan ternyata itu yang membuat Nduy mengangguk.

"Kita juga bisa mengumpulkan solar untuk genset. Lumayan bisa untuk AC ruangan beberapa malam." Yudit memberi gambaran bonus yang menggiurkan.

"Baiklah!" sahut Nduy bergelora "Ajari saja aku untuk membunuh mereka!"

Danang menoleh ke arah Airni yang masih ragu. Ia mengatakan apa yang ia pikir bisa menjadi pilihan lain. "Kenapa kita tidak di dalam gedung saja sih?"

Bima yang paling cepat menggeleng mendengar itu. Ingin marah karena kesal dengan pemikiran Arini. Danang tahu itu, dan karenanya segera memberi penjelasan.

"Sumber makanan kita di luar gedung, Arini." jawab Danang. "Sekali saja yang terinfeksi menguasai tanah kita, maka gedung ini hanya jadi kurungan."

"Maka dari itu kita harus bunuh setiap yang terinfeksi yang masuk, tak ada kata menunggu." tambah Bima. "Kamu hanya perlu menusuk dada mereka, Arini."

Arini meringis mendengar ucapan Bima. Ia tahu itu dimaksudkan membuatnya ngeri.

"Tidakkah kamu dendam pada mereka karena telah membunuh Anggi?" Bima ikut bicara karena tak sabar. Semua menoleh ke arah Bima. Seperti memberi isyarat kalau itu kelewat batas.

Arini tak tahan karena hal itu. Matanya mulai basah. Air matanya menetes mengingat sahabatnya saat kehabisan darah karena termangsa yang terinfeksi di Hari Kacau dua tahun lalu. Menangis mengingat teman-teman prianya yang ada di sini sekarang, mengangkat jenazah Anggi, melemparnya ke jalan, karena bau busuk yang mulai mengganggu mereka. Yang kehabisan darah kehilangan nyawa. Yang masih bertahan jadi yang terinfeksi. Dan Arini merasakan apa yang Bima katakan. Dendam!

Arini mengangguk. Ia mengakui bahwa ia menyimpan dendam pada yang terinfeksi. Ia bahkan langsung berdiri dari bangku kuliah yang terlalu kecil untuk ukuran badannya. "Berikan aku senjata paling besar dan paling tajam!"

Semua terperangah. Bahkan Bima tak menyangka trik sekaligus ungkapan kekesalannya, yang kelewat batas tadi, bisa sedemikian efektif.

"Bailkah," Danang menutup perbincangan. "Kita sudah terlalu lama membiarkan Qinong dan Eko hanya berdua di luar." Jumlah tersedikit untuk waktu sebahaya malam. "Kalian boleh tidur sekarang." katanya pada Nduy dan Arini. "Besok pagi kalian mulai berlatih dan berjaga."

Zombie AedesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang