Mereka Mulai Memanjat

341 11 2
                                    


Universitas Esa Unggul, Jakarta Barat, Dua Tahun Setelah Status Darurat

"Lebih keras!" tegas Bima. "Lebih keras lagi!" ulangnya saat tahu pisau yang Nduy tusukan tidak sampai masuk setengahnya kedalam gedebong pisang yang ia ikatkan pada tiang lampu di pinggir lapangan basket. Arini melakukan lebih baik, tapi masih lemah dalam gerakan mencabut. Itulah yang membuat Bima memberinya keritik. "Yang terinfeksi bisa saja menahan satu tusukan! Untuk mengulanginya, kamu harus mencabut dulu tusukan pertama! Dan itu tidak bisa dilakukan dengan lemah dan lambat, kalau kamu tak ingin yang terinfeksi lebih dulu menahan tangannmu!"

Arini dan Nduy berlatih sejak pagi. Membuat keduanya lebih banyak mengkonsumsi air. Sudah satu botol air mineral besar mereka habiskan berdua hingga siang ini. Itu membuat Bima cukup resah hingga berkata, "Sebaiknya kita buat mereka membunuh yang terinfeksi sungguhan. Itu mungkin akan meningkatkan kemampuan mereka dengan cepat.."

Danang menggeleng. "Masih terlalu dini." tanggapnya sambil tetap berdiri bersandar pada pohon di sisi danau.

"Atau setidaknya buat mereka merlihatku membunuh yang terinfeksi." tawar Bima. Ia sadar itu sedikit terkesan pamer. Tapi Nduy dan Arini memang butuh pengamatan dari jarak dekat untuk berani ketika saat yang tak diharapkan itu tiba. "Gerbang utama selalu aman." tun juk Bima ke arah yang ia maksud. "Tak pernah ada yang terinfeksi bisa menjat pagar ataupun gerbang. Biarkan aku membunuh satu dari balik pagar."

Danang berpikir sebentar, lalu melihat ke arah gerbang utama kampus. Selalu ada yang terinfeksi di sana yang mencoba memanjat namuin tak pernah bisa. Terlalu tinggi dan tak ada pijakan yang bisa mereka gapai. Memang mudah untuk membunuh yang terinfeksi dari balik pagar besinya yang cukup renggang.

Danang mengangkat bahunya, tanda tak mengambil keputusan bulat. "Kamu bisa tawarkan sendiri pada mereka." Ia masih berpikir itu terlalu cepat, meski memang perlu.

"Baik," sahut Bima sambil melangkah mendekati Nduy dan Arini. "Mereka pasti setuju."

Danang memperhatikann Bima mendekati dua mahasiwi itu lalu bicara. Gerak tubuhnya, termasuk menunjuk ke arah gerbang utama, terlihat menjelaskan sesuatu yang membuat Arini tidak nyaman. Nduy seperti berpikir kemudian mengangguk. Bima menoleh pada Danang lalu mengangguk.

Danang menghela napas dulu sebelum melangkah mendekat. "Kalian setuju?" tanyanya sekaligus.

"Kami setuju." angguk Nduy. "Kami perlu melihat dari dekat."

Danang melihat wajah Arini. Wajkah bulatnya berkeringat. Entah karena lelah atau karena tegang. Tapi Danang melihat Arini mengangguk kecil. Danang melihat ke arah matahari. Cukup terik untuk yakin bahwa tak akan begitu banyak yang terinfeksi berkeliaran.

Keempatnya berjalan menyusuri pinggiran lapangan basket, lalu menaiki undukan tangga menuju parkiran mobil. Qinong yang sedang berjaga di balkon lantai dua mengikuti dengan pandangan, menunggu keempatnya cukup deklat agar tak perlu teriak untuk bertanya.

"Kemana?" tanyanya hampir keras.

Danang menjawab dengan arah telunjuk ke gerbang kampus. Ia menambahkan isyarat agar Qinong memberi perhatian lebih pada sekitar gerbang. Qinong membalasanya dengan anggukan. Ia kembali ke ujung balkon berbentuk setengah lingkaran untuk melihat keadaan di luar. Ia menyisir pandangannya. Dari gerbang utama kampus yang ditahan oleh lima mobil, ke tembok pagar di kanan-kirinya, kemudian ke jalan raya.

Dananng, Bima, Nduy, dan Arini sampai di dekat gerbang, menunduk dibalik mobil L300 miliki Fakultas Teknik. Danang mengarahkan pandangannya pada Qinong. Dengan sigap Winong memberi isyarat dengan jari-jarinya, bahwa ada empat yang terinfeksi di dekat gerbang, sembilan di kanan gerbang, lima di kiri gerbang. Danang mengangguk melihat hal itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 11, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Zombie AedesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang