STPI, Curug, Kabupaten Tangerang, Dua Tahun Setelah Status Darurat
"Erwin, bangun!" ucap Ega tergesa-gesa. "Maaf membangunkan tidurmu, tapi kita harus segera pergi dari sini."
Erwin yang terperanjat langsung berusaha menghilangkan kebingungan. "Apa maksud kalian?"
"Yang terinfeksi bisa memanjat sekarang!" jawab Arif cepat. Erwin melihat wajah teman-temannya bergiliran, menunggu akhir dari lelucon keduanya. Tapi tak ada tanda-tanda itu. Hanya napas tersenggal-senggal dari mereka. Ega tak menunggu Erwin percaya. Ia langsung bergegas mengambil pisau besar yang ditinggalkannya di atas meja kayu. Arif melakukan hal yang sama, mengambil pisau dan linggis seklian dari atas kursi lipat.
Erwin bangung mendekati jendela yang mengarah ke landasan dan hanggar. Matanya menangkap pemandangan yang membuatnya merinding. Dua terinfeksi tersangnkut di kawat yang menjadi ujung pagar karena berusaha memanjat.
"Hanya soal menunggu waktu sampai mereka sadar kalau dahan-dahan pohon bisa menjadi jalan masuk mereka." ucap Ega sambil memasang pelindung pisau pada ikat pinggangnya.
"Ba.. Bagaimana mereka bisa menjat sekarang?" tanya Erwin tersendat.
"Yang terinfeksi memangsa sesamanya, dan mangsanya berubah seperti itu." jawab Arif sambil berjalan menuju pintu tangga, setelah mengganti alas kakinya dengan sepatu kulit seragam sekolahnya. Ia sudah siap keluar dengan linggis di genggaman.
Ega mengambil dua botol air minum kedalam ranselnya, sedikit mengambaikan kerusakan bayam-bayam hasil panennya. "Kita tidak tahu sudah berapa banyak terinfeksi yang menjadi korban gigitan sebelum yang kami lihat di belakang hanggar barusan. Yang pasti, dengan kemampuan memanjat, satu sosok saja sudah akan merepotkan kita."
Erwin berbalik, duduk, lalu memaskai sepatu larinya, mengikat talinya terburu-buru. Ia bangun, mengambil pisau dapur yang biasa ia gunakan untuk memotong bayam, menggenggamnya erat.
"Bagimana kita keluar dari sini?" tanyanya sambil melangkah. "Terlalu banyak yang terinfeksi di gerabang sekolah, apalagi di bawah pepohonan sekelilingnya. Mereka memang menunggu kita keluar."
"Karenanya kita harus terbang!" ucap Ega sabil berjalan di belakang Arif yang sudah mulai menapaki anak tangga teratas.
"Maksudmu menggunakan pesawat latih?" Erwin kebingungan. "Tapi tak ada lagi yang tersisa kecuali yang rusak."
"Ya!" jawab Ega. "Itulah kenapa kamu harus memberbaikinya."
"Hah?" Erwin belum mengerti maksud Ega. Ketiganya sudah sampai di dasar menara pengawas. Arif menendang membuka sedikit pintu, menigntip dulu, kemudian keluar.
"Supaya tenang, kita basmi dulu dua terinfeksi itu!" ujar Ega sambil berlari ke arah landasan. Pisaunya ia keluarkan sambil berlari melewati bagian samping hanggar. Salah satu yang terinfeksi sudah berhasil menjatuhkan diri sambil mengerang kesakitan karena kulit di sekujur tubuhnya robek akibat melewati kawat berduri.
Ega terus berlari mendekat, membuat perhitungan kapan ia harus mengayunkan tangannya untuk menusuk, kemudian menghujamkan pisaunya sekuat tenaga, membuat darah merah menyembur dari dada yang terinfeksi, membuatnya mengerang lagi lalu terkulai perlahan.
Di samping Ega, Arif sudah siap mengayunkan linggis.
"Tunggu sampai ia mendarat!" ujar Ega. Arif mengangguk mengerti. Jika ia pukul sekarang, sosok itu akan kembali jatuh keluar pagar, dan akan terus jadi ancaman. Lebih baik menunggu untuk bisa membunuhnya. Dan ketika sosok itu jatuh dengan banyak sobekan pakaian dan luka baru karena tersayat kawat. Tanpa ampun, Arif menghajar kepalanya dengan linggis. Membuat sosok itu sempoyongan lalu terjatuh. Linggis ia pindahkan ke tangan kiri, agar tangan kanannya bisa mengambil pisau dari pinggangnya. Arif berlutut dengan cepat, tangan kanannya menancap-nancapkan pisaunya berkali-kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zombie Aedes
AcciónWabah akibat anti nyamuk melanda dunia. Manusia memangsa manusia. Beberapa orang yang selamat berusaha bertahan hidup di tengah ancaman yang terinfeksi. Sudah diterbitkan Elexmedia Komputindo