2.

70 8 11
                                    

“Bagaimana kabarmu, Nes?” Bella-lah yang pertama kali membuka percakapan.

“Baik. Kamu?” balas Annesia. Ia tak menatap lawan bicaranya. Bukan karena malu, tapi, ada sebuah rasa takut yang ia rasakan. Takut jika buku sejarah yang sudah ia tutup, terbuka kembali jika ia melihat wajah yang mirip dengan orang itu. Takut jika tali sejarah itu kembali melilitnya sehingga ia tak mampu melangkah maju.

“Seperti yang kaulihat,” jawab Bella ceria. Gadis dengan pita hijau muda itu masih sama seperti dulu. Ramah dan supel.

Tak ada yang salah dengan hubungan mereka di masa lalu yang berdampak pada kecanggungan di masa kini. Mereka, baik Annesia maupun Bella, punya sebuah ikatan istimewa. Hobi dan kesukaan yang sama membuat mereka bersahabat baik. Tapi, orang itu memutus semua jalinan mereka. Orang itu, satu-satunya manusia yang tak ingin Annesia temui untuk saat ini –atau selamanya.

Bella Anderson, gadis berdarah Belanda itu sangat mengerti dengan semua jarak dan kecanggungan yang saat ini ada. Tidak ada biang kerok dalam drama kecil di kehidupan mereka bertiga –Annesia, Bella, dan kakaknya.

Broer juga baik-baik saja,” ucap Bella yang memecah keheningan yang terjadi selama setengah menit. Bella tahu, topik ini adalah topik tabu bagi gadis di depannya. Tapi, ia merasa ia harus mengatakan hal ini kepada Annesia. Ia masih berharap bahwa semua kesalahpahaman ini bisa berakhir dan mereka bisa kembali seperti dulu lagi. “Dan–

broer masih menyukaimu, Nes.”


Wajah itu terangkat. Kedua buah mata Annesia melebar. Suara milik Bella menggema lambat sekali dan terus sambung-menyambung. Gema yang tak memiliki kadaluarsa.

(Sulur masa lalu kembali mengikat kedua kaki Annesia.)

.

.

.

A Piece of Our Life.

Hetalia by Hidekazu Himaruya.

M for save. AU, OC, OOC, Fem!Indonesia, miss-typo(s), dan lain-lain. tidak ada keuntungan yang didapatkan dari karya ini dan dibuat untuk kesenangan semata. sudah dipublish terlebih dahulu di ffn.


.

.

.

(broer masih menyukaimu, Nes.)

(broer masih menyukaimu.)

(Willem menyukaiku.)

Telunjuknya mengelus-elus sepasang cincin emas yang terbenam setengah di bantalan putih. Beban berat tersua di rongga dadanya, begitu berat dan sesak. Menghimpit hingga memutus-mutus napasnya, perlahan tapi pasti. Pandangan Annesia mulai mengabur akibat air di pelupuk matanya. Satu tetes air mata turun, disusul dengan satu tetes berikutnya.

Keping demi keping bermunculan. Pertemuan pertamanya di Rotterdam yang berakhir dengan pernyataan cinta, kunjungan Williem ke Indonesia untuk pertama kalinya di musim pancaroba, lalu yang kedua di akhir tahun beserta Bella yang berakhir dengan agenda menaikkan barang akibat banjir, lalu saat ia menginap di rumah Williem untuk pertama kalinya saat libur kelulusan. Annesia merindukan saat-saat itu.

A Piece Of Our Life.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang