Wi. Li. Em.
Tiga suku kata. Diawali oleh semi vokal dan berakhir di konsonan hambat. Egresif, egresif, ingresif. Diucapkan dengan satu vokal depan. Tak perlu pengulangan untuk menyimpan nama itu dalam memori jangka panjang; karena selama kau masih bernapas, kau akan berjumpa dengan nama itu. Entah secara personal maupun di dalam literatur.
Williem. Williem. Williem.
Puluhan ribu sudah nama itu keluar dari bibirmu yang mungil. Di dalam doa malammu saat kau mengucap syukur atas segala hal yang kau terima, saat kau berkomunikasi dengan teman-teman, saudara, dan kedua orangtuamu, saat nama itu muncul di layar ponselmu, saat kau menulis buku harianmu. Nama itu selalu ada seakan nama itu menempel di ujung-ujung papilamu. Mulut dan rahangmu tak pernah lelah membentuk kata itu seakan untuk itulah tujuan utama dari keberadaan mulut dan rahangmu.
Williem. Williem. Williem.
Lebih banyak lagi nama itu tersebut dalam benakmu. Membawamu terbang saat memikirkannya. Tentu, sebuah rumah sederhana bercat putih gading dengan lusinan tulip berbagai warna yang menyebar memenuhi halamanmu. Di halaman belakang, ada dua orang anak dan seekor anjing yang berlarian penuh tawa. Masa depan bersama Williem. Mengangankannya saja membuatmu mampu memindahkan gunung.
Williem. Williem. Williem.
Kini nama itu tak seindah lagu dan tak semanis madu. Nama itu sudah menguras habis air matamu. Biji matamu yang selalu ia sebut-sebut sebagai mestika terindah kini hilang cahayanya. Endorfin yang selalu membuatmu mampu melakukan apapun, kini menjeratmu, melecutimu, mencekikmu. Kau ingin bebas, tapi tidak, endorfin itu sudah menyatu dengan darahmu. Membuangnya sama saja dengan bunuh diri.
Ada yang berkata, ‘if you repeat something over and over again it loses it’s meaning’. Kau pun melakukannya. Menyebut namanya, Williem, Williem, Williem, Williem, Williem, Wil... dan kau pun menangis. Meski kau lakukan tiap malam, hasilnya tetap sama. Tubuhmu bergetar dalam pelukan malam. Menjerit tanpa suara di bawah hujan air mata yang kau ciptakan sendiri. Kau sakaw. Kau butuh Williem; tidak, bukan, Williem sudah pergi jauh sangat jauh. Kau butuh rehabilitasi.
Williem. Williem. Williem.
Rehabilitasimu berhasil. Nama itu sudah tak lagi bermakna. Ia kosong seperti angin yang berlari di antara helaian rambutmu. Kau berhasil, dan kau bangga.
–sebelum kau menyadari, nama itu tidak hanya mengandung zat adiktif tapi juga aditif.
Williem. Williem. Williem.
Aku di sini. Apa kau melihatku?
Williem. Williem. Williem.
Aku merindukanmu. Apa kau juga merindukanku?
Williem. Williem. Williem.
Apa benar kau masih menyukaiku? Jika benar, kenapa kau lebih memilih gadis itu?Kenapa Williem? KENAPA?
Hahaha. Lihat, kau masih sakaw. S A K A W. Rehabilitasimu gagal. Tak ada yang bisa mengehentikan candumu terhadap nama itu; termasuk Arthur. Hei, kau ingin bebas?
Maju! Dia ada di depanmu. Sepuluh langkah maju dan meissner kalian dapat bertemu. Rasakan sensasi yang bergejolak bagai echo. Di mulai dari kulitmu, otakmu, dadamu, perutmu, hingga kakimu. Rasakan getaran euforia itu lalu hantam dia.
Apa? Dia bukan Williem? Dia Williem, kau tahu itu. Kau mengenalnya seperti kau mengenal dirimu sendiri. Lihat, mestika hijau yang membuatmu bersentuhan dengan cinta. Itu milik Williem. Hanya dia yang punya binar mata seperti itu. Jangan jadi pengecut, hantam dia!
Jatuhkan dia ke dalam neraka seperti yang dia lakukan padamu. Buat dia menyesal. Balas. Hukum dia. Balas! Balas! Balas!
Bebaskan dirimu dari candu Williem. Balas, bebas, dan terbang. Maju. MAJU!
KAMU SEDANG MEMBACA
A Piece Of Our Life.
FanfictionCROSS POST from FFN [Ini adalah sebuah klasik yang dimulai dari kata makan malam sederhana dan berakhir di kata perjodohan.] Hetalia oleh Hidekazu Himaruya.