Satu

14.9K 1.1K 28
                                    

Aku masih memikirkanmu hingga saat ini. Apa kabarmu? Kuyakin kamu baik-baik saja. Sudah hampir 5 tahun kita tak bertemu. Seandainya bertemu, masih ingatkah padaku? Iya, aku gadis yang semasa kuliah suka menatapmu diam-diam dari kejauhan, bisa dikatakan pengagum rahasiamu.

Gadis gila yang memberikan kado ulang tahun secara langsung padamu. Gadis yang akalnya cukup dangkal untuk berjuang seorang diri mencintaimu. Gadis menyedihkan yang hingga kini masih punya secercah harapan tentang masa depan bersamamu. Gadis pengecut yang mulutnya terlalu kelu untuk sekedar bilang cinta padamu.

Tapi, kalau aku bisa bertemu denganmu lagi aku tak akan menunda. Aku akan katakan aku mencintaimu.

Aku tak tahu kapan pertama kali aku mencintaimu. Rasa itu tiba-tiba ada. Mereka bahkan bingung apa yang membuatku mencintai laki-laki “bunglon” sepertimu. Iya, kamu seperti bunglon, warna sikapmu selalu berubah tak terprediksi.

Moody? Tidak juga, kamu hanya cuek dan jutek terhadapku, sementara pada kawan lain kamu masih bisa tersenyum. Kadang kamu tersenyum padaku dan baik, kadang sebaliknya. Aku sudah terbiasa, tapi apa ini hanya perasaanku saja? Sudahlah, yang jelas aku mencintaimu seperti apapun kamu.

Aku menyeruput secangkir kopi di sudut cafe sambil membaca buku. Handphoneku bergetar, pesan singkat dari Rina sahabatku sejak SMP, masuk.

Dhena cepetan cek grup Line alumni kampus.

Begitu isinya.

Ada apa?

Tanpa pikir panjang kubuka aplikasi Line dan terlihat chatroom grup alumni kampusku.

Wah, rame.

Setelah ku scroll up chat ternyata akan diadakan reuni kampus. Wah, ini kesempatanku untuk bertemu dengannya.

Tiba-tiba 1 pesan masuk, aku agak tersentak melihat nama yang muncul dari layar handphoneku, Rafi.

Rafi? Pikirku.

Dialah laki-laki yang kucintai selama ini.

Kamu ikut reunian?

Ajaib, pesan singkat seperti itu mampu buatku tersenyum berjam-jam. Aku bahkan lupa membalas pesannya.

Iya. Kamu ikut?

Balasku.

Beberapa detik kemudian ia membalas pesanku dan menjawab iya. Dewi fortuna sedang berpihak padaku.

Tiba-tiba seorang laki-laki berpenampilan sedikit gila dengan banyak tatto berdiri di hadapanku.

“Gista? Lo apa kabar? Gaya lo kok beda banget? Lo masih tatto-in orang?”

Aku menatapnya bingung.

“Maaf Anda mungkin salah orang.” Ujarku sambil pergi.

Dasar laki-laki aneh, pikirku.

Malam acara pun tiba, reuni diadakan di rumah salah satu temanku, Diva. Aku datang agak telat. Aku mengetuk pintu dan Diva mempersilakan masuk.

”Wah Dhena, kamu beda banget! Makin cantik!” ujarnya.

Aku hanya tersenyum. Saat ini aku mengenakan baju hitam selutut bermotif garis-garis vertikal dan kubiarkan rambut hitam lurus sepunggungku tergerai indah. Aku merapikan poni yang menutupi keningku.

Aku masih berdiri di depan pintu rumah Diva. Dari sini, terlihat semua teman-temanku sedang sibuk melakukan kegiatannya masing-masing. Ada yang sedang mengobrol, ada yang sedang bergandengan tangan dengan kekasihnya di sofa, ada yang sedang menari mengikuti iringan musik yang menggema di ruangan.

Dan... itu dia, Rafi.

Dengan kaos lengan panjang bermotif garis horizontal hitam putih sedang berdiri di sudut ruangan sambil melihat-lihat buku di rak buku. Dia masih manis seperti dulu.

Baru saja aku hendak menghampirinya, seorang gadis cantik lebih dulu mendekatinya, Rianti. Mereka tertawa bersama, begitu akrab. Dan tiba-tiba Rianti menggandeng Rafi.

Apa mereka...

Aku tak ingin memikirkannya. Aku menggenggam erat tas merahku, air mata jatuh perlahan. Aku berlari pergi dari tempat itu, sementara aku masih mendengar suaranya yang indah memanggil namaku.

“Dhena... Dhena...”

Aku berlari sekuat tenaga tak ingin menghiraukannya. Aku berlari menuju rumah. Sakit sekali rasanya. Cintaku bertahun-tahun tak terbalas. Tapi tiba-tiba semua gelap, aku tak bisa merasakan apapun.

Kosong. 

---

Hitam dan BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang