Dua

7.9K 879 20
                                    

Tepat pukul 10 malam, 3 jam setelah kepergian Dhena, bel pintu rumah Diva berbunyi, Diva membukanya kemudian terkejut melihat apa yang ada di depan matanya.

Gadis yang dia kenal dengan penampilan yang sangat berbeda. Rambut dengan cat biru muda dan baju sexy serba hitam sepaha.

Diva tercengang melihatnya, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Seisi ruangan yang riuh berubah jadi sepi, semua mata tertuju pada gadis itu.

Gadis itu tersenyum dingin.

Dibalik lipstick merahnya tersimpan sejuta kegelapan. High heels hitamnya menghentak lembut lantai rumah Diva. Tak ada satu orang pun yang mengeluarkan kata, mereka tercengang sekaligus terkejut.

"Kamu..." ujar Rafi yang kalimatnya menggantung di udara.

Keanehan mulai tercium, tapi mereka tak menyadarinya.
Alunan musik masih menggema di ruangan namun ruangan menjadi sepi. Rafi mengenal gadis itu, tapi mata gadis itu berbeda.

Tajam dan dalam.

"Kenapa berhenti? Ayo dong nikmati acaranya lagi." Ujar gadis berambut biru tertawa garing.

Akhirnya suara menjadi riuh, suasana kembali seramai tadi. Tidak ada lagi yang memperhatikan gadis itu, bahkan saat gadis itu memasukkan sesuatu ke dalam minuman dingin yang tersedia di meja makan.
Rafi mendekati gadis itu perlahan,

"Aku..."

"Sst… lo gaperlu jelasin apapun. Nih minum dulu." Ujar gadis itu tersenyum.

Ntahlah itu senyum apa. Gadis itu bisa menghipnotis Rafi, senyumnya dari dulu selalu menghipnotis.

"Teman-teman ayo minum dulu buat yang lagi haus." Ujar gadis itu ceria.

Ceria yang dibuat-buat.

Semua orang yang lelah, berbondong-bondong meminum minuman dingin segar yang tersedia di meja makan. Sementara semua orang sibuk, Rafi tetap bersikeras ingin mengatakan sesuatu pada gadis cantik berambut biru itu

"Aku... suka..." kata-kata Rafi menggantung di udara.

Tiba-tiba pandangannya jadi gelap gulita.

Ia tak bisa melihat apapun.

---

Rafi terbangun.

Redup.

Dadanya sesak.

Matanya seketika membulat besar melihat seluruh sudut  ruangan penuh darah. Semua teman-temannya tergeletak lemas dengan sekujur tubuh yang kulitnya terkelupas disayat-sayat pisau.

Tidak, ini bukan sekedar disayat, tapi hampir sekujur tubuh dikuliti!

Tak ada yang sadarkan diri. Rafi tak cukup kuat melihat keadaan teman-temannya yang mengenaskan itu. Tangan dan kaki Rafi terikat ke depan dan mulutnya tertutup kain. Tubuhnya masih lemas, kepalanya sakit. Ia tak kuasa memberontak dan melepaskan ikatan kuat ini.

Seorang gadis cantik berambut biru berjalan menghampiri Rafi dengan pisau di tangannya. Kilauan logam pisau berwarna perak kini tertutupi banyak cairan berwarna merah segar yang menetes meninggalkan bercak-bercak di lantai. Cahaya lampu jalan hanya bisa menembus ruangan melalui ventilasi. Sedikit cahaya itu membantu Rafi mengenali wajah gadis di depannya.

"Lo pasti bertanya-tanya kenapa gue ngelakuin ini? Hmm kenapa ya?"

"Gue sebenarnya gak niat sih bunuh mereka. Tapi, karna gue gak mau mereka jadi saksi mata gue waktu bunuh lo, jadi ya dipersingkat aja deh ya. Semuanya aja gue bunuh sambil main-main dikit nungguin lo bangun. Abisnya gue gak sabar pingin bunuh lo saat ini juga."

Tangan Rafi gemetar.

Keringat dingin mengucur deras di keningnya. Ia berusaha mengatakan sesuatu. Tapi gadis itu tak kunjung melepaskan penutup mulutnya.

"Tenang aja, gue gak psycho-psycho amat kok. Khusus lo, gue kasih spesial karna lo adalah orang tercintanya Dhena. Ya meskipun lo gak cinta dia."

"Hmm tapi bentar dulu ya, gue masih pikirin gimana caranya buat bunuh lo biar gak terlalu sakit." Ujar gadis itu mengelus-elus pisaunya.

Darah merah kini memenuhi telapak tangan dan jari-jarinya, tapi sepertinya gadis itu tak begitu menghiraukan bau amis darah yang tercium tajam di hidungnya.

Rafi masih berusaha ingin mengatakan sesuatu.

"Oke, oke lo mau ngomong? Itung-itung kalimat terakhir lo lah ya." Akhirnya gadis itu membuka penutup mulut Rafi.

"Dhena, Dhena... ini aku... Rafi. Dhena aku mencintaimu Dhena... Kamu salah paham!"

Gadis itu mengepalkan tangannya geram. Kemudian menutup mulut Rafi lagi.

"Dhena? Gak ada Dhena di sini. Gua Gista. Lo mau manggil dia gimanapun dia gak bakal datang. Ngerti? Dhena lagi tidur. Ssttt." Ujarnya sambil tertawa.

"By the way lo bullshit banget tau gak? Giliran mau mati baru lo bilang cinta. Telat lo!" Ucap gadis itu geram.

Ia menyayat pembuluh nadi di pergelangan tangan Rafi hingga putus. Ia benar-benar marah. Sementara Rafi tak sanggup memberontak.

"Oke, lo harusnya bersyukur cuma gue giniin. Kalau bukan karna Dhena, udah gua kulitin lo idup-idup!" Ucapnya sedikit berteriak.

Gadis itu membiarkan darah terus keluar dari pergelangan tangan Rafi hingga membanjiri lantai. Ia membiarkan Rafi mati lemas kehabisan darah.

"Lo tau gak seberapa tulusnya Dhena? Dia cinta mati sama lo. Bego lo! Dia sakit banget gara-gara lo." Ujar gadis itu dengan air mata yang tiba-tiba mengalir lembut membasahi pipi kemerahannya.

---

Hitam dan BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang