Sebuah Keterbukaan

2.7K 182 3
                                    

"Sudah kuduga kita tak dapat menyimpan ini hanya untuk kita berdua. Sedikit demi sedikit orang lain akan tahu hubungan kita, bagai mayat yang disimpan lama, suatu saat baunya 'kan muncul juga. Lalu, bagaimana cara kau menyikapi ini semua?"

--

Sasuke terus memejamkan matanya. Ia lelah. Ia butuh tidur. Ia mau pulang sekarang juga, jika tidak ia akan tidur disini sebentar lagi. Sebuah getaran ponsel menginterupsi khayalan Sasuke tentang tidur dan rumah, ia membuka matanya sedikit dan segera merogoh sakunya. Saat membaca nama Sakura dilayar ponselnya, barulah Sasuke membuka matanya secara penuh.

"Halo?"

"Ah, Sasuke, apa kau sedang sibuk?" tanya gadis itu ragu. Sasuke segera menjawab, "Tidak, ada apa?"

"Apa hari minggu pekan depan kau ada acara?" tanyanya lagi. Pertanyaannya salah. Seharusnya Sakura bertanya apakah hari minggu pekan depan ia akan bekerja, bukan ada acara. Karena ia hampir tak pernah memiliki acara apapun, dan tidak setiap hari libur ia libur bekerja juga.

"Tidak ada, mengapa?" Yah, Sasuke harap minggu depan ia bisa menyisihkan waktunya selama beberapa jam.

"Ah...mmm....nenekku mengundangmu ke acara ulangtahunnya. Apakah kau bisa ikut?"

Apa katanya? Pesta ulangtahun neneknya? Sasuke bersumpah seumur hidup neneknya tak pernah merayakan pesta ulangtahun. "Ya, bisa saja. Jam berapa?"

"Jam tujuh malam, bagaimana?"tanya Sakura ragu. Sasuke masih tidak fokus membayangkan seorang nenek merayakan pesta ulangtahunnya, jadi ia tidak begitu menanggapi perkataan Sakura berikutnya dan hanya membalas sekenanya, "Ya, bisa. Aku akan menjemput ke rumahmu pukul tujuh kurang."

Setelah itu Sakura mengucapkan terima kasih dan menutup telepon. Bahkan setelah telepon ditutup, Sasuke masih bertanya-tanya mengapa nenek Sakura sempat-sempatnya merayakan pesta ulang tahun. Baru ketika ia memasukkan ponselnya ke saku, Sasuke berhasil mencerna soal ajakan itu. Apa nenek Sakura mengenalnya?

-1-

"Brengsek!!"

Kabuto membanting sebuah ponsel keatas meja. Jelas sekali ia sedang marah besar. Berikutnya ia berjalan bolak-balik disamping meja besar yang berantakan. Kemudian dengan suara lantang ia bertanya dengan emosi, "Bagaimana itu bisa terjadi??"

Pertanyaan itu hanya menggema diruangan, karena tak seorangpun yang berani menjawabnya. Lima orang lain penghuni ruangan itu hanya membisu sambil menatap kosong. Hanya sibuk dengan deru napas masing-masing.

"Jawab!!"

Hening lagi selama dua detik, sebelum akhirnya salah seorang diantara mereka berani angkat bicara, "Ada pihak lain yang ikut menyelidiki selain polisi,"

"Para inteljen brengsek itu?" sembur Kabuto. Seorang pria berambut kuning terang yang sedari tadi berdiri menghadap jendela berbalik kearah Kabuto sambil menjawab, "Kurasa kau sudah tahu jawabannya,"

"Oke..jadi mereka serius mau berurusan dengan kita rupanya. Jadi Kinkaku dan Deidara juga bukan ditahan oleh polisi? Tapi oleh mereka??"

"Bingo."

"Brengsek!!" kali ini Kabuto meninju meja dengan keras sampai beberapa barang diatas meja jatuh berserakan.

"Sampai kapan kau akan menghancurkan barang-barang? Dengar, setelah Bos tahu kau sudah pulih, ia memerintahkan kami melapor padamu apa saja yang terjadi selama kau dirumah sakit. Dan kami harap kau memberikan solusi, bukannya malah menghancurkan barang," komentar Konan, satu-satunya perempuan diruangan itu. Kabuto hanya melirik Konan sekilas. Setelah itu kemarahannya sedikit mereda, kemudian ia duduk sambil menatap kelima temannya bergantian, "Baiklah, berapa hasil yang kita peroleh dari perampokan bank kemarin?"

A Black LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang