Aku sadar betul bahwa aku adalah wanita tak sempurna. Wajahku tak bisa dikatakan sangat cantik dan aku bukan pula berasal dari keluarga kaya raya.
.
.
.
Aku bangun lebih awal pagi ini. Kulihat awan-awan dari balik beningnya kaca jendela masih seperti biasanya, bergerak berarak dan beriringan melalui langit yang masih kelam. Ada yang bergerak berkelompok dan ada yang bergerak terpisah. Mereka bergerak perlahan. Sejak aku mengerti bahwa benda putih dan ringan itu bernama awan mereka selalu membuatku iri. Tak ada yang berubah dari awan-awan itu. Tak seperti aku yang semakin tumbuh dan menua.
Sebenarnya aku tak terlalu benci hari ini tapi melihat kain panjang berwarna merah marun yang menggantung di hanger dan beberapa ornamen kerudung yang disediakan oleh ibuku membuat moodku untuk menuruni kasur hilang seketika.
Aku menggeleng. Mau tak mau aku harus tetap menuruni tempat tidur ini dan segera membuang hawa-hawa malas dari setiap sisi kulitku. Aku harus mempersiapkan diriku dengan maksimal. Itu yang dipesankan ibuku berkali-kali.
Begitu indra perasaku menyentuh bagian kaki, suhu dingin menjengit setiap saraf-saraf perasaku. Suhu dipagi hari memang rendah, ditambah dengan uap udara yang menyebar merata-rata. Lagi pula penghangat alami belum mau menampakkan wajahnya. Wajar saja, ini masih terlalu dini untuk dia ampil bagian dalam nuansa subuh.
Pelan kulangkahkan kakiku menuju ruangan yang biasa aku gunakan untuk membersihkan setiap lekuk tubuhku. Di sisi kiri ada rangkaian perawatan kulit yang tersusun rapi di dalam rak. Selanjutnya disisi yang berlawanan ada bath up mungil tempat biasa aku menghilangkan stres. Aku langsung kesana. Memutar air air hangat dan membiarkannya. Selanjutnya aku segera mengabil salah satu produk lulur. Aku membuka pelan tempatnya, mengambil sedikit demi sedikit lalu mengusapkannya ke kulitku keras-keras. Aku tak percaya apa kata iklan, produk ini bisa mencerahkan, produk itu bisa menghaluskan. Toh apa gunanya kulit cerah dan halus bila nasibku sudah tercocok macam kerbau. Tinggal menunggu apa yang terjadi padaku.
Bodoh! Lelehan air bercita rasa asin menyembul keluar dari mataku. Lagi-lagi? Apa mereka tak bosan dengan ini semua? Apa mereka tak letih berkali-kali meninggalkan tubuhku? Atau jangan-jangan mereka telah bosan dengan tubuh muda yang bahkan tak mampu mengalihkan nasibnya sendiri ini? Terkukung dengan ketidak sempurnaan diri sebagai wanita.
Ah, masa bodoh!
Masa bodoh dengan semua ini!
Jalani saja, manis. Kau pasti bisa. Menyesali apa yang akan terjadi itu bukan seperti dirimu saja! You are a lady! Semua pasti akan baik-baik saja.
Kulirik bath up yang airnya telah mencapai bibir. Heh, aku terlalu larut dalam pikiranku. Selesaikan semua ritual pagi ini dan selesaikan semuanya
*
*
*
*
*
“Farah, apa yang kamu lakukan di kamar mandi? Mengapa kau terlalu lama?” tanya seorang wanita berumur empat puluh tahunan. Ia berdiri tak sabar di depan meja rias. Itu ibuku.
“Aku baru saja selesai perawatan kulit, bu. Bukannya ibu yang bilang aku harus tampil sempurna di depannya. Lagi pula acaranya masih nanti kan? Ini masih pagi,” ucapku sambil memperbaiki handuk yang melingkar di tubuhku.
Kulihat ada garis melengkuk di bibir ibuku. Dia tersenyum dan hatiku tercabik. Jadi beginikah? Demi orang itu aku harus tampil sempurna.
“Ingat, kau harus oleskan lotion yang ibu berikan merata ke seluruh tubuh. Ingat, bagian leher jangan kau oles juga. Ibu akan siapkan make-up. Pakai pakaianmu setelah tubuhmu dianginkan. Jangan langsung pakai pakaiannya sebelum lotionnya terserap ke kulit.” Dan blahblahblah....
Petuah ibuku akan sangat panjang bila beliau sudah memulai. Lakukan saja apa yang ia suruh bila aku tak ingin mendapat tatapan ‘kamu sudah berani ya melawan?’. Aku segera menyambar lotion dan gaun yang tergantung dan masuk kembali ke kamar mandi.
“Sudah?” tanya ibu begitu aku keluar. Aku mengangguk. Dia melambaikan tangan tanda agar mendekatinya. Ia kemudian menyuruhku duduk di meja hias. Aku menatap cermin. “Anakku sudah dewasa,” gumam ibuku berkali-kali sambil mengusap rambutku yang panjang dan menyisirnya pelan.
Air mata. Bisakah kau tak memberontak untuk keluar untuk saat ini saja?
*
*
*
*
*Telah kukatakan sebelumnya. Aku bukan wanita yang sempurna. Kini aku duduk dihadapan meja bundar. Antara muak dan terpaksa aku menatap jamuan yang ada dihadapanku. Jelas-jelas aku tak menginginkan ini semua. Lilin-lilin bernuansa temaram, beberapa sajian makanan yang terlihat mewah dan sayangnya aku tak tahu itu makanan apa lalu deretan gelas-gelas kaca yang bercawan kecil, langsing dan berkaki tinggi.
Bisa dibilang aku heran dengan semua ini. Untuk apa orang itu menyiapkan semuanya sedangkan dia sendiri belum datang. Sungguh terlalu. Tega sekali dia membuatku menunggu. Aku mengangkat tangan kiri dan melihat jam tanganku. Hampir satu jam. Benar-benar. Dia benar-benar menbuatku gerah.
“Permisi nona, anda ingin minuman lain?” tanya seorang pelayan laki-laki yang terlihat ramah. Senyumannya yang lebar sempat membuatku tergidik, antara takut dan waspada.
Aku menggeleng lemah. Dia menaikkan alis lalu melirik ke mejaku. Kulihat ia mengangguk. Seolah mengerti ketika melihat minuman yang ada dihadapanku yang jangankan tersisa setengah, tersentuh pun tidak.
“Apa anda ingin menghangatkan makanannya?” tanyanya lagi. Walau aku tak melihat nada dan ekspresi kasihan di wajahnya, namun aku tahu dia menyimpan perasaan itu dalam hati. Kasihan sekali aku. “Tuan menitip pesan agar anda memulai saja duluan.”
Aku melirik pada pelayan itu. Seolah mengerti akhirnya dia beranjak bergi.
“Tunggu!” panggilku. “Hangatkan saja makanannya.”
Kulihat ia tersenyum padaku dan kali ini lebih tulus dari pada sebelumnya. Dia membuatku merasa bersalah karena telah membentaknya kasar secara tidak langsung. Pria selalu saja punya cara sendiri untuk membuat wanita merasa tersalah. Menyebalkan.
Satu-persatu makanan di mejaku mulai diangkat dan menyisakan gelas dan sebotol minuman. Jemariku kini menggapai tangkai gelas dan membawa pinggir cawannya mendekati bibirku. Sebuah aroma buah yang kusuka menyengat indra penciuman. Sebuah pertanyaan muncul dalam benakku. Bagaimana dia mengetahui minuman kesukaanku? Pertanyaan yang tak butuh waktu lama untuk menjawabnya. Tentu saja dia bisa menanyakan pada orang tuaku.
Aku mulai menyesapi minuman ini. Tak lagi dingin yang tersisa disana dan rasanya pun hambar. Jelas saja karena aku tak menyentuhnya sejak tadi sehingga es yang tadinya beku mencair. Aku yakin, rasa minuman ini tak memberi kesan jauh lebih buruk dari aroma yang ia berikan. Ragu-ragu aku menggapai botol bening yang terletak tak jauh dari gelasku. Rasa kesal ini harus dinetralisir, bukan?
Setelah menuang cairan tak berwarna ini indra penciumanku langsung menemukan aroma yang berbeda dari saat yang pertama. Lebih kuat dan menenangakan. Rasa yang ditimbulkan juga lebih manis. Sepertinya ini bisa ku gunakan untuk membunuh waktu.
*
*
*
*
*“Farah , maaf saya terlambat.” Suara khas pria dewasa yang tertangkap telingaku membuatku mencari sumber suara. Hmm? Pria yang membuatku menunggu telah datang dan ia meminta maaf seolah ia hanya membuat kesalahan kecil. Aku melirik jam tangan. Satu setengah jam. Aku hampir mati bosan menunggunya. Aku menoleh pada orang yang digandengnya. Wanita berambut hitam, panjang dan bergelombang dengan menggunakan gaun yang menutupi hampir seluruh tubuhnya.
Tubuhku bergetar. Kucoba untuk menggapai gelasku selanjutnya mengangkat gelas minuman perlahan. Meneguk air di gelas pun rasanya sulit. Bolehkan aku menghilang dari sini? Aku mencoba memberikan anggukan kecil dan kemudian menunduk.
“Bisa kita mulai pembicaraannya?” ucapnya sambil menarik kursi yang kuyakin bukan untuk dirinya. “Sayang, duduklah.” Ia mempersilahkan wanita yang ada disampingnya. Sebuah godam besar melayang masuk ke dalam perutku.
Hatiku remuk. Hatiku remuk. Hatiku hancur. Hatiku hancur.
Tuhan... Dimana harga diriku sebagai wanita!Senin, 13 Feb 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua
Romancefarah hanya manusia biasa, yang berusaha tegar dalam kehidupannya. Ia hanya ingin diterima dan dicintai apa adanya. Karena penyakit yang diderita, Farah frustasi. Orang tuanya berusaha membangkitkan kepercayaan dirinya dengan sebuah pernikahan Reed...