Goresan Kedua

383 3 0
                                    

Wajahnya tak cantik. Ia dibawa ayahnya datang padaku. Aku memperhatikannya. Biasa saja. Namun ia berbeda dengan sorot mata itu.

]
Goresan Kedua
DIA

[
“Menunggu lama, om Hendra?” tanyaku pada pria yang duduk termangu di sofa.  Ia sedikit tersentak kemudian tersenyum gugup. Sepertinya angin yang membawanya kemari membuatnya sulit bernafas.  Aku menarik nafas dan berusaha melempar senyuman. Walau hanya sebuah senyuman kaku. Pria yang terlihat lebih tua dariku lima belas hingga dua puluh tahun ini kemudian berdiri dan menyalamiku.
“Tidak lama,” ucapnya. “ Lama tak bersua, Yudha.”
“Apa kabar om?” tanyaku berusaha sopan. Walau bagaimanapun paman Hendra adalah rekan kerja yang ayah percaya. Setelah kepergian ayah,  dia banyak membantuku mengembangkan perusahaan hingga menggapai kata mapan.
“Saya baik,” jawabnya dengan wajah murung.  “Hanya saja kali ini saya butuh bantuan besar padamu, Yudha,” ungkap Hendra menyodorkan sebuah amplop. Ia meletakkan amplop coklat yang sendari tadi ia pegang
Aku menaikkan sebelah alisku. “Apa ini? Anda...” Pikiran buruk segera berputar dibenakku. Selama ini aku mengenal pria yang mulai ditumbuhi rambut berwarna putih ini adalah pebisnis yang jujur. Apa dia kini mulai beralih sikap?
“Tidak!” potong om Hendra. “Ini bukan sesuatu seperti itu,” sambungnya lagi dengan menekan kata ‘itu’.
“Lalu?” Baiklah Aku mulai penasaran. Tanganku terulur menggapai amplop berwarna coklat itu. Ada perasaan ragu saat aku mengangkat amplop kemudian menimangnya di pangkuanku. “Bisa anda jelaskan padaku, Om ?” tanyaku melunak. Wajahnya yang tegang lama-lama membuatku kasihan juga. Bagaimanapun ia adalah rekan ayahku yang paling setia.
Alis Hendra terangkat kemudian tersenyum kaku. “Kumohon bukalah...” pintanya lagi. Ada apa dengan pria tua ini? Kondisinya sangat aneh, tak seperti biasanya.
Aku mengangguk. Aku tak mau  terlalu lama menyakiti hatinya. Toh dia bahkan sudah aku angap ayahku sendiri walau tak pernah kuungkap secara gamblang. Kusobek perlahan bagian atas surat. Sepertinya surat ini benar-benar penting. Bahkan untukku saja harus ditutupi serapat itu. Selanjutnya jemariku menarik pelan kertas yang ada di dalam disana.
Tak seperti prasangkaku sebelumnya, isinya bukan cek kosong atau sejumlah uang yang dibekukan dalam transaksi kertas tipis lainnya. Isinya berupa selembar foto dan beberapa lembar kertas. Alisku menyatu saat aku membaca sekilas isi kertas itu. Otakku berusaha memahami apa yang dimaksud oleh paman Hendra.
“Farah Ini siapa om?” tanyaku heran.
“Anakku, Yudha.”
“Farah? Oh anak tunggal om kan ya?” Tanyaku meyakinkan. Aku pernah bertemu anaknya semata wayang itu beberapa kali belasan tahun lalu saat ia masih sangat kecil. Dia mengangguk kaku. Namun ucapan yang ia ungkapkan setelah itu mampu membuatku sulit menelan air ludahku sendiri. Bahkan untuk sekedar berkedip. “Ada apa om?”
“Tolong nikahi anakku.”
]
.

[

Wanita bertubuh sintal yang duduk di meja rias itu membuat pandanganku tak mampu beralih. Rambut panjangnya yang bergelombang menutupi tubuhnya bagian membuat dirinya semakin menarik. Dia satu-satunya wanita yang aku cinta dan pikiranku selalu tertuju padanya.
“Sayang, mengapa kau terlalu lama disana?” panggilku tak sabar. Ia melirikku sebentar lalu meninggalkan bekas senyuman yang membuat jantungku tak bosan berdetak kencang.
“Sebentar Yudha, sebentar lagi,” ucapnya sedikt mendesah. Dia benar-benar tahu cara membuatku tak sabar. Pelan ia berjalan mendekati ranjang kami berdua dan merayap pelan ke sampingku. “Kau sedikit terburu-buru malam ini, Yud? Ada apa denganmu? Ada masalah?”
Pertanyaan beruntun dari wanita yang menemani hidupku selama delapan tahun ini. Melahirkan dua orang anakku dari rahimnya. Wanita yang benar-benar sempurna. Kubenamkan wajahku pada lehernya. Mencoba menyesap aroma tubuhnya yang selalu wangi saat malam tiba. Dia sedikit terkikik saat aku meraba perutnya. Tubuhnya yang selalu sensitif membuatku tak pernah bosan. Seketika itu juga aku memeluk tubuhnya erat. Menyamankan pikiranku dari permintaan aneh om Hendra.
“Kau benar-benar aneh sekarang, Yudha. Kau ada masalah di kantor?” tanya wanitaku dengan nada khawatir.
Aku mengangguk.
“Ingin bercerita” tanyanya lagi. Sebuah usapan lembut pada rambutku. Seolah mengirim sinyal-sinyal yang mampu melenturkan saraf-sarafku yang kaku. Dia paling mengerti semua kebutuhanku.
Aku menggeleng.
“Ohh baiklah. Mari tidur. Jangan sampai besok kita terlambat bangun,” kali ini ia menepuk bahuku pelan.
Aku menyamankan diriku dengan memeluk wanita yang selalu menjadi pokok utama pikiranku. Aku tak tahu apa reaksinya bila kuungkapkan ide gila itu....
]
.
[
Ruwet. Pikiranku ruwet. Setelah tidur semalaman ternyata tak bisa menghilangkan pikiranku terhadap pembicaraan yang aku tak tau haruskah aku sampaikan atau tidak. Aku menjadi merasa bersalah padanya. Tak biasanya aku menyimpan masalah darinya. Aku selalu terbuka padanya. Namun untuk yang satu ini aku merasa tak memiliki kemampuan untuk mengungkapkannya. Dia begitu sempurna, mencukupi kehidupanku.
Pikiranku melayang pada wajah om Hendra. Kenapa dia malah datang padaku? Walau pria yang biasanya ceria itu telah menjelaskan padaku tetap saja aku tak ingin mengerti. Aku benar-benar ingin amnesia saja saat ini.
“Yudha, makan makananmu!” suara istriku tercinta mengembalikanku dari lamunan.
“Ayah, ada apa sih? Melamun mulu deh,” ucap gadis berusia delapan tahun sambil cemberut. Berambut kuncir dua dengan sepasang kacamata berframe merah muda bertengger di hidungnya. Pernah aku bertanya mengapa ia memakai kacamata padahal matanya tak sakit dan ia menjawab, ih ayah ini lagi tren tau. Kan Cuma pake kacamata-kacamataan doang.
Aku tersenyum.
“Maaf ya, ayah hanya sedang memikirkan pekerjaan?” jelasku. Apakah aku baru saja berbohong pada anak gadis sulungku? Ya Tuhan... Ini benar-benar buruk.
“Kakak, jangan ganggu ayah. Gitu-gitu ayah bekerja biar bisa ngasih kita jajan,” bocah laki-laki berumur enam tahun menatap lugu namun tak suka pada kakaknya. Itu putra bungsuku. Mendengar kata-kata bijak darinya membuat jantungku merasa tertohok. Apakah aku akan mengecewakan anak-anakku? “Ayah sibuk setiap hari mencari nafkah intuk kita. Seharusnya kakak mengerti itu.”
“Aku tahu dek, tapi saat di rumah seharusnya ayah tak memikirkan kantor. Ayah sibuk terus sih,” Putri sulungku merengut. Ia memutar-mutar sendok, mengaduk-aduk makanannya seolah tak sama sekali tak selera untuk makan. Benar sekali. Berapa jam waktu yang kuhabiskan bersama mereka? “Kapan lagi ayah bisa menghabiskan waktu bersama kita kalau tidak sekarang?” Dan kali ini aku benar-benar tertohok.
“Anak-anak,” wanitaku langsung mengalihkan situasi. “Ini sudah hampir terlambat. Ayo selesaikan makanan kalian!” Dia memberiku tatapan menyuruhku segera menyelesaikan sarapanku dan biar dia yang menyelesaikan anak-anak. Benar-benar istri yang pengertian.
“Yah bunda...” Walau kesal mereka segera menghabiskan sarapan mereka.”
Akupun segera menghabiskan sisa sarapanku dan mengambil tas kerja. “Ayah pergi dulu ya,” ucapku tulus sambil mengecup dahi kedua anakku.
“Hati-hati yah.” sahut anak-anakku serempak. Si sulung melepas kepergianku dengan wajah cemberut. Aku lalu berjalan menuju depan diantar oleh wanitaku
“Sabtu minggu besok kita jalan-jalan. Ayah bakal ngosongin jadwal kerjaan ayah..” sambungku sambil mengedipkan mata kananku.
“Serius yah?” tanya si kakak. Wajah murungnya berubah bahagia
..
“Terima kasih, sayang,” ucapku tulus sambil mengecup pipinya. Dia mengangguk lalu mencium balik pipiku.
“Ya... semoga urusan kantormu cepat selesai. Melihatmu kalut seperti ini membuat aku dan anak-anak tak tenang. Walau kau simpan ini sendiri, tapi anak-anak adalah darah dagingmu. Saat kau bermasalah, mereka ikut merasakan imbasnya.”
“Maafkan aku.”
“Ya cepat pergi dan lekas pulang, Yudhaku.” Dia sangat-sangat pengertian. Namun akankah ia akan tetap begini bila mengetahui masalah ini? Membayangkannya saja aku tidak mau.
Kulangkahkan kaki keluar rumah dengn perasaan berat. Semoga aku dapat melalui hari ini dengan baik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang