Bulan mengucir rambutnya dengan asal, beberapa helai yang menjuntai didekat telinga dibiarkannya terurai begitu saja, hingga semakin nambah aksen cantiknya meski tidak natural, karena wajahnya sudah dipoles make up tipis.
Seperti hari-hari sebelumnya, sore ini Bulan sudah bersiap untuk mengantar makanan ke rumah Banyu. Sebenarnya agak gugup juga sih, karena beberapa hari terakhir, Bulan sudah tidak mengantar makanan ke sana akibat sakit yang menghampirinya.
Akhir-akhir ini kondisi tubuhnya memang lemah. Sepertinya tahun ini menjadi tahun terberat dalam hidupnya, karena kalau dihitung entah sudah berapa kali dirinya masuk Rumah Sakit, padahal tahun-tahun sebelumnya hanya satu-dua kali saja.
Pun dengan telat minum obat. Dulu efeknya cuman pusing dan sedikit sesak, tetapi sekarang Bulan akan langsung pingsan dan suhu tubuhnya jauh dari kata normal.
Apa mungkin sakit hati terpendamnya juga mempengaruhinya? Entahlah.
Membuka pintu rumah, Bulan dikagetkan dengan kehadiran Darren di sana. 'Ada apa? tumben Darren ke sini?' batinnya.
Tidak seperti biasanya, laki-laki itu kini berpenampilan sedikit acak-acakan. Padahal sebelumnya, dalam hal penampilan Darren lah yang paling rapi jika dibandingkan dengan Bintang dan Banyu.
Jika masalah kelakuan, baru tuh, Darren lah yang paling ngeselin.
Tatapan Bulan terhenti pada rambut laki-laki itu yang berantakan. "Mau gue ambilin sisir?" ucapnya tanpa sadar.
"Nggak perlu. Bisa duduk bentar Bul," Darren melirik pada kursi rotan yang ada di sana.
Jadi, pemilik rumah di sini sebenarnya siapa? Tak ayal, meski begitu Bulan mengangguk juga.
"Ada masalah?" tanya Bulan seakan bisa membaca isi pikiran Darren.
Darren mengangguk, "Soal semalem, pembahasan lo di telpon," ujarnya.
"Ng itu," Bulan menoleh ke arah lain, menyembunyikan keengganannya untuk membahas masalah semalam. Posisinya Bulan sudah berjanji pada Bintang untuk tidak ikut campur masalah Elisa. Kalau belum, ya mungkin dirinya akan dengan senang hati mendiskusikannya bersama Darren.
"Jujur sama gue. Semalam lo liat Elisa diamana?"
"Eh?" bukan kaget dengan pertanyaan Darren, tetapi Bulan kaget dengan aksi laki-laki itu yang sudah memegang tangannya yang sebelumnya memang berpegangan pada pinggiran meja.
"Bul," lirih Darren. Dan seingat Bulan, ia tidak pernah melihat Darren yang seperti ini sebelumnya.
Merasa ucapannya tidak akan mendapat respon apapun, Darren pun melepaskan genggamannya dan mulai mengacak rambutnya dengan kepala yang sudah setengah menunduk.
"Pagi-pagi banget si janda gatel itu udah nyari ribut sama Bang Banyu. Rumah udah kek kapal pecah. Jinan nangis, gaada yang peduliin dia kecuali gue yang notabennya bukan siapa-siapa bagi anak itu."
"Inti masalahnya?"
Darren menggeleng. "Entahlah. Gue bener-bener nggak abis pikir sama jalan pikir Elisa."
"Bukan karena gue 'kan?" Bulan benar-benar takut. Bahkan sekarang ia mulai menyesal dengan aksinya yang terlalu berlebihan dalam mengejar Banyu. Sebelumnya Bulan hanya berpikir dari sudut pandangnya, sekalipun tidak memikirkan bagaimana perasaan Elisa yang berkemungkinan akan menjadi istri Banyu.
Bukankah sesama wanita harus saling menghargai? Tetapi yang Bulan lakukan?
"Heran gue, kenapa sih Bang Banyu lebih memilih wanita gak jelas itu dibanding lo. Kalau gue ada di posisi Banyu, gue yakin bakal milih lo seratus persen Bul."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Bulan Untuk Sang Banyu [[Revisi+Repost]]
General FictionHidup atas belas kasihan orang lain, satu hal yang paling Bulan benci dari dunia ini. Maka dari itu, Bulan lebih memilih menyembunyikan penyakitnya dari semua orang, daripada orang-orang itu dekat dengannya karena kasihan. Penyakit jantung yang did...