Bab dua

98 75 99
                                    

🔯Aturan Bunda Nika

🌻

Pagi-pagi sekali Azka sudah bangun. Sudah mandi dan juga sholat subuh. Dan yang lebih giatnya lagi, dia sudah mengenakan seragam biru langit yang bajunya ia keluarkan dan celana kotak-kotak, rompi bewarna biru toska nya tidak Azka pakai. Katanya, dia akan merasa kayak anak baik-baik kalo memakai seragam komplit.

Makanya, dia lebih suka menyimpan rompi itu di bawah bantal dan bilang pada ayahnya kalau rompinya hilang. Dan jika ayahnya memberi Azka uang untuk membeli rompi baru, cowok itu akan memakai uangnya untuk membeli seekor marmut yang unyu-unyu itu. Sisa uang bisa ia tabung di celengan botol mizone yang tentunya juga, Azka menaruh botol itu di bawah bantalnya.

Kembali ke kondisi cowok berpostur tinggi dengan rambut cokelat terang yang sedang berdiri-seperti biasa, di depan cermin persegi. Azka mematut dirinya di depan cermin. Menaikkan satu alis dan menyunggingkan senyuman miring.

"Lo tuh, emang ganteng deh Ka!" , pujinya pada diri sendiri lalu menyisir rambut dengan jari-jarinya kearah belakang dengan gerakan Slow daramtion.

"Kalo gini, gak bakalan ada yang bisa nyaingin ke-gantengan lo 'deh, lo the best!" , lagi-lagi Azka memuji dirinya sendiri dan dengan kenarsisannya dia mengedipkan mata ke arah kaca.

Tok tok tok.

Azka menghentikan sikap narsisnya, menoleh kearah pintu yang tadi di ketuk.

"Kak Azka, bunda sama om Daylan nyuruh kakak turun. Sarapan." suara Moccha dari balik pintu dengan sopan.

Azka mendengus geli, lalu menyahut,

"Iya dek!"

Sepertinya, Azka harus melakukan sandiwara ini lagi.

🌻

Di meja makan yang terdiri dari enam kursi kayu berpelitur cokelat emas mengitari satu meja bundar, Daylan duduk di kursi utama sedangkan Nika duduk di sampingnya. Ketika melihat Moccha turun dari tangga, Daylan menyapanya dan tersenyum.

"Azka sudah bangun?" tanya Daylan basa-basi.

Moccha mengangguk dan menarik lebar kedua sudut bibirnya dengan terpaksa. Nika tiba-tiba berdeham cukup keras, mengalihkan atensi Daylan dan Moccha.

Sambil merunduk, menatap roti gandum yang sedang ia olesi selai cokelat, Nika menegur Moccha dingin, "jika ayah kamu tanya di jawab dengan suara yang keluar dari mulut kamu itu. Sedikit saja, tunjukin kesopanan yang bunda ajarkan selama ini. Jangan malu-mauin!"

Moccha menggigit pipi dalamnya, kembali memaksakan tersenyum lebar. Hatinya ingin menjerit, mengatakan bahwa Moccha tidak pernah suka dengan aturan bunda yang sangat tidak bisa ia nalar. Apa salahnya memang, jika sekali-kali mereka bersikap seperti keluarga normal. Tanpa harus mementingkan kesopanan dan juga tetek-bengek yang bunda Nika agung-agungkan itu.

"Sudahlah sayang, jangan terlalu gitu sama ajaran kesopanan kamu itu. Biarin aja Moccha bersikap seperti anak gadis yang normal." Daylan mengusap bahus istrinya lembut, mencoba meluluhkan ketegasannya. Dan akhirnya, Nika kembali melembut.

Moccha ingin juga bisa berkata seperti om Daylan- Papa tirinya. Tapi, reaksi bunda tidak akan sama. Karena sejak dulu, Moccha adalah sebuah 'aset' yang harus sempurna dimata bunda. Aset, yang bahkan bagi Moccha terdengar menjijikkan.

Dreaming [R]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang