Russel berdiri di ujung koridor, memusatkan seluruh fokusnya pada gadis itu. Gadis yang tengah larut dalam tawanya. Gadis itu terlihat berpendar, sekalipun dia sedang berada di antara teman-temannya. Bukan, bukannya bercahaya, tapi senyumnya, binar matanya, dan gerak-geriknya yang penuh keceriaan telah mengunci Russel untuk memberikan seluruh perhatiannya.
"Hey, jangan menatapnya intens begitu. Kau terlihat menakutkan!"
Russel terlonjak, sejak kapan makhluk tengil ini berada di sampingnya? Meledeknya pula. Padahal dia sengaja meninggalkan kelas diam-diam, agar bisa leluasa menjalankan misinya yang tak lain adalah memperhatikan kakak kelasnya itu.
"Shut up!" bentak Russel setengah berbisik. Kemudian berusaha mendorong August, sahabatnya itu, untuk menjauh. Namun August malah semakin bersemangat meledek Russel. Keributan pun terjadi dan Russel dengan salah tingkah berusaha membungkam August.
Setelah teman-temannya pergi, gadis bernama Silena itu menoleh ke ujung koridor, tepat pada Russel. Gadis itu mengernyit, merasa tadi dirinya diperhatikan. Mengapa sekarang yang terlihat malah pertengkaran? Tiba-tiba saja dia merasa tertarik untuk mendekat.
"Hi," Silena mencoba menyapa dengan senyum yang mengembang sempurna. Sapaan itu, hanya sebuah hai sederhana yang bisa diucapkan siapapun di dunia. Tapi yang ini jelas-jelas berbeda. Suara itu begitu merdu, lembut, dan sarat akan keceriaan.
Seketika August dan Russel terdiam, menyudahi perdebatan mereka begitu saja. Mata August berbinar, kagum. Berbeda dengan Russel yang terkesiap, kemudian menyadari sesuatu dalam dirinya; jantung yang berdebar tak karuan, dan perasaan berbunga-bunga yang tiba-tiba menguasainya.
"Eh... Hai," Russel balas menyapa dengan tangan yang mengusap tengkuknya, salah tingkah. Sedangkan August memilih diam, mengetahui dengan sepenuhnya bahwa momen ini sudah sepantasnya menjadi milik Russel.
Silena tersenyum, gemas bercampur geli melihat respon Russel. Dia melangkah mendekat, dengan senyum yang seakan permanen.
"Kalian teman adikku, kan?" tanyanya dengan ramah tanpa menunjukkan senioritasnya.
"Adik? Adik yang mana?" sahut Russel spontan, tidak mengerti kemana arah pembicaraan Silena.
Senyum Silena melebar, memaklumi ketidakmengertian Russel. "Avara, Avara Park," ujarnya menjelaskan.
Mendengar nama itu, kerutan di kening Russel semakin terlihat jelas. August yang sedari tadi mencoba untuk tidak ikut campur, kini menyikut Russel dengan pelan, berusaha agar gerakannya tidak ditangkap penglihatan Silena. Kemudian dia berbisik, "Avara, the best of all the best in our class."
Russel tersadar. "Oh, iya, kita sekelas," jawabnya secara tiba-tiba ketika August selesai berbisik.
Silena terdiam sebentar, seperti memikirkan sesuatu di otaknya. Setelah beberapa saat, wajahnya kembali menunjukkan ekspresi memaklumi. "Rupanya kalian tidak saling kenal. Itu tidak mengejutkanku, kadang dia memang lebih nyaman dengan dunianya sendiri."
"Oh, ya, sudah kuduga," Russel mengangguk dengan segenap ketidakpahamannya yang melayang-layang di pikirannya. Tapi, sudahlah. Nanti saja dia berpikir, tidak penting untuk saat ini. Lebih baik fokus pada gadis di hadapannya. Kapan lagi, kan, mereka bisa sedekat ini? Mungkin dewi fortuna sedang berpihak padanya.
"Yah, tak apa," ujar Silena sambil mengedikkan bahu. "Emm... mungkin lain kali, kita bisa mengobrol lebih banyak lagi," janjinya. "Senang mengenalmu, eh..."
Silena melirik name tag yang tersemat di baju Russel. "Russel."
Russel tertegun. Tidak mengucapkan apa-apa sampai Silena berlalu di depannya dan menghilang.
Beberapa detik setelah Silena lenyap dari pandangan mereka. Russel akhirnya menyadari sesuatu.
"RUSSEL?" teriaknya. "Hey, bud! Dia menyebut namaku! Kau dengar itu?! Russel, dia bilang Russel! Dia mengenalku sekarang!"
August terpana, entah harus mengucap selamat, atau kembali meledek. Tapi satu yang dia tahu, kebahagiaan sahabatnya adalah kebahagiannya juga.
***
Russel terbangun dengan nafas yang memburu tak karuan. Butiran keringat memenuhi pelipisnya. Mimpi barusan terasa begitu nyata. Bahkan rasa berbunga-bunga yang dia rasakan saat itu kembali menyentakkan jantungnya.
Dia berteriak frustasi. Bahkan walaupun dia sudah tidak menyimpan perasaan apa-apa lagi, kenangan itu tetap menyiksanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
INVOLUTE
Mystery / ThrillerSelama beberapa tahun Russel berusaha untuk hidup normal, berusaha lupa pada rentetan peristiwa di masa lalunya; pada sahabatnya, cinta pertamanya, bahkan pada dirinya yang hidup di masa itu. Russel berlari, sekuat tenaga mengubur dalam-dalam kisah...