1

7 2 0
                                    

PELAJARAN kimia hari ini selesai tepat pada pukul setengah sembilan menjelang istirahat. Ibu Laras selaku guru kimia meminta anak X IPA 3 membawakan buku-buku kimia cetak tebal milik sekolah ke kelas selanjutnya.

Kalau dilihat dari sisi anak cowok—mereka sudah sibuk sendiri berkutat bersama ponselnya tanpa sepengetahuan Ibu Laras. Atas nama kesolidaritasan, dua anak perempuan rajinlah yang harus berkorban membawakan buku kimia itu. Seharusnya sih anak cowok yang wajib membawanya, tapi... terpaksa, daripada nantinya kasus kelas ini diperpanjang kalau murid laki-lakinya ternyata doyan main game di kelas.

"Ra, bantuin gue bawain ke kelas X IPA 5 dong."

Gisel dengan tangan kosongnya sudah berdiri di depan meja guru hendak membopong kumpulan buku itu. Ara yang masih duduk di bangkunya dengan bahagia akhirnya mau membantu Gisel membawa benda yang sepertinya berbobot sangat berat.

"Lo hitung belum jumlahnya?" tanya Ara.

Khawatir kalau jumlahnya kurang. Kalau sampai terjadi, kelas ini juga yang bakal kena masalah.

"Belum, lo coba hitung yang itu, gue yang ini."

"Oke,"

Kedua perempuam itu menghitung masing-masing bagiannya. Dari mulai tumpukkan paling bawah hingga tumpukkan paling atas. "Ada lima belas nih gue." kata Ara menyebutkan jumlahnya.

"Gue juga. Berarti tiga puluh. Pas." balas Gisel berkata dengan jumlah yang sebanding.

Ara dan Gisel membopong tumpukkan buku yang per bukunya berjumlah 687 halaman, ditambah lembaran lainnya termasuk cover dan daftar pustaka dan glosarium.

Ibu Laras sudah pergi duluan sedangkan urusan buku ada pada tangan Gisel dan Ara. Setelah pelajaran Ibu Laras akan ada pelajaran Ibu Opi tapi katanya guru itu lagi gak bisa dateng karena ada urusan keluarga. Sebuah keberkatan bukan? Ya, keberkatan bagi Gisel. Karena pada jam kosong dia telah mendapat suatu kerjaan. Gisel tidak suka jam kosong. Kalau Ara sih netral aja, walaupun termasuk ke dalam kategori anak rajin tetapi tetap saja Ara juga seperti murid pada umumnya—suka sama jam-jam kosong.

Benarkan. Saat mereka melewati balkon menuju kelas X IPA 5 tidak ada batang hidung Ibu Opi. Biasanya Ibu Opi sekedar lewat mau ke kelasnya atau sekedar duduk sejenak di salah satu deretan bagku depan kelas-kelas yang ada.

"Ibu Opi beneran gak masuk?" tanya Gisel. Risau.

Ara mengangguk semangat berbanding terbalik dengan Gisel yang memasang wajah lesu.

"Habis bawain ini gue harus ngapain?…"

Ara menoleh ke arah Gisel. Ia tidak mengerti kenapa Gisel sangat begitu rajin ketimbang dirinya. Pantas saja Gisel pintar. Tapi yang menjadi keanehan di ataranya dan Gisel adalah… kenapa waktu semester pertama kelas sepuluh kemarin, juara umum semesteran pertama justru diraih oleh Ara bukannya Gisel?

Ara mengembuskan napasnya melalui mulut. Udaranya membuat poni sepanjang kelopak matanya berterbangan. Lalu ia menaik-turunkan bahunya menjawab pertanyaan Gisel.

Mungkin karena letak kelas IPA 5 itu kalau harus jalan dari kelas IPA 3 itu jauh jadi tak terlalu terasa cepat sampai. Suara derap kaki menaiki undag-undagan terdengar jelas dari tangga dekat kelas X IPA 5. Sosok cowok muncul dari tangga, membawa tas ransel dan rambutnya, tidak rapih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 15, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RERELATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang