PROLOG

30 5 7
                                    

RAPAT guru dadakan membuat KBM sementara ditunda seiring berlangsungnya rapat di aula. Informasi itu terdengar dari seluruh penjuru sekolah melalui speaker yang ada di setiap sudut. Semua murid SMP Tunas Mandiri bersorak-sorai, entah itu yang berada di dalam kelas ataupun yang berada di luar kelas.

Baru dua hari sekolah beroperasi kembali setelah beberapa minggu liburan kenaikan kelas.

Dan biasanya jika sudah ada rapat seperti ini, mungkin hanya selang beberapa menit lagi sekolah pasti akan dipulangkan. Wajah ceria menghiasi muka para murid yang semula murung di pagi hari ini. Putri mengubah posisi duduknya menghadap Gisel teman sepermejanya.

"Gisel, oemji-oemji lo deketkan sama dia...." tembak Putri.

Maklum baru lusa kemarin Putri dan Gisel berada di dalam satu kurung ruang kelas yang sama, apalagi sungguh membuat hati Putri berseri ketika ternyata Gisel duduk di sampingnya dan menjadi teman sebangkunya. Pikirnya, dengan Gisel menjadi teman sepermejanya Putri akan lebih gampang mendekati si dia anak kelas 8A.

Waktu kelas tujuh Putri sekelas sama dia tapi enggak pernah sekalipun dirinya berbicara banyak kepada cowok itu, padahal jauh di dalam lubuk hatinya Putri sangat ingin mengobrol banyak-banyak dengannya. Ya, fakta kalau Putri adalah salah satu dari beberapa anak cewek di sekolah ini yang menaruh hati kepada dia memang benar adanya.

Gisel melirik wajah Putri dari ekor matanya. "Jangan bilang lo juga naksir sama sahabat gue yang tolol satu itu?"

Karena dugaan Gisel adalah benar... Putri hanya mengangguk polos.

"Jadi gimana cara gue deketin sahabat lo?" tanya Putri berambisius.

"Kecil. Tinggal lo traktir gue Mie Ayam Mang Badut nanti gue bakal bantu lo."

Gisel tersenyum puas. Penawarannya mampu membuat seorang Putri menjadi terdiam dan berpikir keras. Bukan maksudnya ingin memeras Putri, tapi setidaknya hal ini dapat membuat seorang Gisel jadi untung karena sahabatnya, sekali-sekalikan punya sahabat bisa dijadikan sarana untuk memperuntung diri.

Sembari menunggu keputusan Putri, Gisel membenahi alat tulisnya yang berserakan di atas meja. Hari ini pulang cepat pasti bakal ter-realisasikan karena sudah tiga jam berlalu sejak pagi tadi rapat guru belum juga selesai. Kelas masih freeclass. Ini membosankan bagi Gisel si anak rajin yang suka belajar.

"Gisel!"

Suara asing. Jelas bukan suara Putri, suaranya besar seperti suara anak cowok.

Dengan satu gerakan kilat Gisel menoleh mencari asal suara asing tadi. Benar. Di ambang pintu sana sepertinya nampak sesosok jangkung yang tengah memanggil-manggil namanya barusan. Cowok itu memanggil Gisel sekali lagi dengan tangannya yang ikut bergerak-mengistruksikan agar Gisel segera mendekat ke sana.

Dengan sedikit malas Gisel menghampiri cowok itu, memutar bola matanya sekali. "Gue ke sana dulu, Put."

Putri mengangguk dengan pikirannya yang masih mempertimbangkan tawaran dari Gisel.

Baru saja Gisel berada di hadapan cowok asing itu tapi dia langsung menarik tangan Gisel dan membawanya pergi. Koridor demi koridor mereka berdua lewati. Kemudian terdengar suara pengumuman dari speaker sekolah lagi bahwa sekolah akan pulang pukul sepuluh.

Meskipun suara speaker terdengar keras namun tak pelak sampai ke gendang telinga Gisel, pasalnya sejak ditarik tangannya oleh cowok itu jantung Gisel berdetak lebih cepat karena harus diajak berlari sehingga ia tak terlalu dapat mencerna suara-suara di sekitar otaknya.

Tapi kok kayak kenal ini jalan mau kemana.

Cowok itu berhenti berlari di depan kelas 8A membuat Gisel juga harus ikut berhenti. Dia melepas genggaman tangannya. Seperti semut yang keluar dari sarang, dari pintu kelas 8A banyak murid yang menggendong tas ranselnya hendak pulang ke rumah. Gisel menautkan sebalah alisnya.

"Eh Rina, kok pada bawa tas?" Gisel menghentikan langkah salah satu anak 8A. Tentu Gisel mengenalnya.

"Sel, lo gak denger tadi ada pengumuman pulang?"

"Nggak, masa?"

"Oy, Gisel buru sini! Lo sih ngobrol dulu nambah bikin lama," gerutu cowok asing itu yang kayaknya sih anak kelas 8A juga.

Gisel mendengus sedikit kesal. Siapa lo, siapa gue, pikirnya sebal.

"Ah ya udah, kalau gitu... Agas, Gisel, gue duluan. Sel, fyi aja di dalem udah ada yang nunggu." kata Rani sebelum akhirnya dia pergi. "Da kalian!"

Gisel mengerutkan kening bertanya-tanya apa maksud Rina tadi. Siapa yang nunggu? Dan satu fakta baru lagi bagi Gisel kalau nama cowok asing itu adalah Agas dan ia merasa kalau nama itu pernah ia dengar bahkan sering dibicarakan oleh... sahabatnya.

Dan kelas di depannya adalah kelas sahabatnya juga.

Dan satu-satunya orang yang ia kenal di kelas ini hanya sahabatnya dan Rina.

Dan sangat besar kemungkinan kalau yang dimaksud Rina tadi adalah sahabatnya.

Apa?! Ngapain dia sampai nyuruh temennya segala buat jemput Gisel. Biasanya dia bakal nyamperin Gisel dengan sendirinya tanpa nyuruh temennya itu. Oke, ini nggak kayak biasanya. Gisel menggaruk tengkuknya mulai merasa sesuatu hal yang aneh akan terjadi.

"Bentar, lo jangan ke mana-mana." ujar Agas lalu melongokan kepala masuk dari balik pintu.

Gisel menurut.

Agas mengeluarkan kepalanya lagi dan berkata, "Lo boleh masuk sekarang."

Gisel masih nurut dan bergegas masuk ke kelas 8A. Baru berada di depan pintunya saja harum semerbak apel seperti harum kamarnya mulai tercium. Gisel memejamkan mata menghirup panjang aroma tersebut, sensasi sejuk menerpa tubuhnya. Mungkin karena kelas juga sudah lengang dari hiruk-pikuk bisingnya suara murid penghuni kelas ini.

Suara derap kaki terdengar tepat dari depan Gisel, segera ia membuka mata lamat-lamat lalu mengerjap.

Dia? Boneka beruang ditangannya?

"Gisel, gue suka sama lo." dia a.k.a sahabatnya menyodorkan boneka lucu itu di hadapan Gisel.

Gisel terbungkam sejenak. Mengamati isi kelas yang benar-benar hanya ada ketiga teman sahabatnya termasuk Agas tadi dan beberapa orang lainnya yang Gisel tidak kenal.

"Dari SD kita sahabatan dan ternyata gue ngerasa ada yang aneh di antara gue sama lo, dan gue ngerasa kalau gue beneran suka sama lo, Sel. Lo mau jadi--" kalimat panjang lebar itu terpotong.

"Maaf. Gue gak bisa. Gue gak bisa bohong kalau gue udah anggep lo kayak kakak gue dan itu gak lebih,"

Gue gak suka sama lo, padahal lo juga tau sendiri kalau gue sukanya sama Ardi, tetangga gue.

Gisel menutup muka dengan kedua telapak tangannya. Perasaannya jadi kacau gini. Kok, bisa Aru suka sama Gisel padahal sudah jelas kalau Gisel maunya cuman sahabat atau sebagai kakak-beradik saja. Ini kacau sekaligus momen terburuk di hidupnya. Rasanya ingin menangis, tapi gak bisa. Gisel gak bisa berbuat apa-apa selain menutup muka.

Semua tercengang bahkan bungkam tidak percaya kalau cowok itu sampai mendapat kenyataan pahit dengan ditolaknya oleh Gisel. Tangan cowok itu lemas. Matanya meratapi sosok perempuan di hadapannya, namun sedikit memandangnya saja sudah mampu membuat perasaannya tertohok menyakitkan.

Sesaat terdiam, Gisel mengusap wajahnya lalu berbalik pergi meninggalkan kelas 8A dan kembali ke kelasnya untuk mengambil tas terus ia akan cepat-cepat pulang ke rumah dan berdiam diri di kamar seharian penuh.

"Perih men." gumam cowok itu menunjuk dada sebelah kiri kepada ketiga temannya setelah tubuh Gisel sudah tak tampak lagi dari penglihatannya.

RERELATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang