Thirty Third

2.3K 246 55
                                    

Sabiya merapikan pakaian Ibu, memasukannya ke dalam tas. Setelah dua hari berlalu sejak dia datang, akhirnya Ibu diperbolehkan pulang. Kondisinya sudah membaik, jauh lebih baik dibanding pertama kali ketika Bapak mengabarkan.

Hari ini Rais akan datang menjemput bersama pakde dan bude. Sudah lama juga tidak berkumpul bersama. Semenjak kuliah dan tinggal di rumah bude, Sabiya jarang pulang ke rumah orang tuanya. Hanya sesekali ketika libur panjang dan tidak ada kegiatan di luar jadwal kuliah, begitulah kebanyakan kegiatannya dari organisasi atau komunitas yang diikuti.

Sabiya terlihat sibuk mondar-mandir di ruangan. Mengangkat bantal, selimut, mencari ke bawah ranjang.

"Bu, tas aku yang kecil kemana ya?" tanya Sabiya.

Dia baru ingat sejak kemarin belum mengaktifkan ponsel. Ketika sampai di rumah sakit, Sabiya hanya memberi kabar kepada Ashila kemudian menaruh ponsel itu kembali ke dalam tas selempang kecil berwarna hitam. Setelah itu dia tidak lagi ingat, karena sibuk melepas rindu dengan keluarga. Selain itu, Sabiya juga menggantikan Bapak karena beliau sudah harus kembali bekerja.

Hidup tanpa ponsel ternyata tidak buruk juga, dia bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga. Di sisi lain, Sabiya tidak perlu pusing dengan notifikasi grup yang sering kali memenuhi ruang chatting.

Sabiya lupa belum sempat memberi kabar pada Rida soal kepulangannya, sudah lama mereka tidak bertemu.

"Coba cari di dalam laci," ujar Ibu.

Dia belum sempat mencari ke tempat itu. Memang ya, arahan Ibu adalah yang terbaik, benar saja tas itu ada di sana.

Sabiya menoleh, melemparkan senyum malu pada ibunya.

Sambil menunggu Rais datang, dia menyalakan ponsel. Sabiya menyimpannya dan keluar sebentar, terlalu banyak notifikasi yang masuk, lama kalau ditunggu.

"Bu, aku mau beli jus dulu ya di depan," ujarnya.

Dia mengambil tas selempang tanpa memasukkan ponsel ke dalamnya, kemudian berjalan menuju toko di depan rumah sakit.

Udara di Malang dan di sini cukup terasa berbeda. Panas di kota Apel itu selalu bisa membuat Sabiya membeli minuman dingin setiap pulang kuliah. Ditemani Ashila, mereka pergi menjelajah satu persatu toko yang berada di dekat asrama. Dari sekian banyak, satu yang menjadi favoritnya, jus bude Darmi adalah yang terbaik. Rasa buahnya benar-benar terasa, tidak didominasi manis dari gula. Ah, jadi rindu.

Hari ini tempatnya cukup ramai. Sabiya menunggu di kursi samping dekat pohon. Kalau tahu begini lebih baik tadi ponselnya dia bawa, bosan juga menunggu seperti ini. Awalnya dia pikir akan pergi sebentar, karena kemarin tidak terlalu banyak pembeli. Mungkin di waktu siang orang-orang memang senang berburu minuman dingin.

"Sabiya?"

Dia mendongak, mendengar seseorang memanggil namanya. Matanya membulat, ia segera mengalihkan pandangan.

"Oh, beneran Sabiya ternyata," ujar laki-laki itu.

Dia mengangguk. Sabiya terkejut bisa bertemu dengannya di tempat ini. Rasa malu dan tidak enak hati menghampiri dirinya. Bagaimana tidak, orang yang sudah dia tolak dua kali kini berada di depannya.

"Kenapa bisa ada di sini?" tanyanya.

"Ibu saya sakit. Kak Faruq sendiri?"

Sabiya berdiri, teringat kalau dia belum menyampaikan pesanan jusnya.

"Kakak sakit," jawabnya.

"Eh? Ustazah Fatimah sakit?" Sabiya menunduk, merapikan roknya. Hampir saja, karena terkejut Sabiya menatap lawan bicaranya. "Maaf, Kak. Sebentar," pamitnya seraya berjalan menghampiri penual jus.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang