Twenty Seventh

2.8K 284 16
                                    

Seorang laki-laki terlihat sibuk merapikan lembaran kertas yang berserakan. Memasukkannya ke dalam amplop berwarna cokelat.

"Yas, ini bener Daris-nya gak dibawa?" tanyanya.

"Iya. Ndak perlu lah. Dari awal kan aku sudah kasih tahu."

"Kali aja sekarang mau dipakai biar lengkap."

"Gak usah lah, Zar."

Sejak dulu dia sudah memberitahu Nizar tidak usah membawa nama tengahnya. Biar dengan nama Dhabith saja dia dikenal. Hingga saat ini orang-orang mengenalnya dengan sebutan DM-Dhabith Muyassar. Menurutnya itu tidak masalah.

Dhabith sedang mempersiapkan diri sebelum mengisi acara Talk Show di salah satu universitas. Hari ini dia akan bersanding dengan Alvin, suami dari Larissa. Sungguh sebuah kehormatan bisa mengisi acara bersama orang ternama. Dulu dia juga pernah mengisi di universitas itu, masih dalam skala kecil. Sedangkan saat ini mungkin akan banyak orang yang hadir, karena ada daya tarik dari pembicara yang lain.

Satu hal yang membuatnya mempersiapkan materi dengan matang, tema yang diberikan di luar konteks kebiasaannya. Selama ini Dhabith lebih terfokus kepada materi-materi yang bersangkutan dengan sejarah, tetapi sekarang dia diminta untuk membahas seputar kesendirian-jomblo.

Dibantu Nizar, dia sudah siap berbagi pengalaman.

Semalam sebelumnya Dhabith sempat teringat kepada seseorang yang sampai saat ini masih berusaha dia perjuangkan. Membawakan materi dengan tema seperti itu, mengangkat kenangan lama ke permukaan. Selama ini dia sudah menahan diri untuk tidak mengirimkan pesan, padahal sangat ingin tahu keadaannya. Sayangnya tidak ada lagi keberanian untuk itu. Masih harus menunggu beberapa saat lagi, sampai waktunya benar-benar tepat.

"Berangkat sekarang, Yas?"

Suara Nizar memecah lamunan. Dhabith mengusap wajah, meneguk segelas air di depannya.

"Ayo," jawabnya seraya beranjak, memakai jaket dan mengambil helm.

Jarak dari rumah menuju Universitas Negeri Malang tidak terlalu jauh, sehingga dia memilih mengendarai motor bersama Nizar.

Jalanan hari ini tidak terlalu padat, membuatnya bisa bernapas lega karena tidak datang terlambat. Kali ini acaranya bertempat di masjid kampus.

Dhabith berjalan sejajar dengan sahabat yang kini merangkap menjadi manajernya. Gara-gara video di youtube yang dibuatnya, sudah ada beberapa undangan mengisi acara dari beberapa komunitas. Selama ini Nizar yang membantunya untuk mempersiapkan segala keperluan.

Benar, tak butuh waktu lama. Sekitar sepuluh menit mereka sudah sampai di tempat. Setelah memarkirkan motornya, Dhabith berjalan menuju masjid.

"Sampai kapan jalan sama aku terus, Yas. Gak kepengin cari yang lain?"

Dhabith mengerutkan kening, menatap Nizar dengan pandangan bertanya.

"Ya masa gak ngerti. Istri lah istri, biar bisa menemani kemana-mana," ujarnya.

Suara tawa terdengar, namun tidak ada penjelasan. Dhabith memilih untuk melanjutkan langkah ketimbang menjawab pertanyaan Nizar seputar perempuan. Bukannya tidak mau, hanya saja dia belum bisa menentukan pilihan. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri bahwa pertanyaan itu cukup mengusik pikiran. Sehingga dia tidak menyadari ada seseorang yang datang dari arah berlawanan.

"Maaf, maaf. Sekali lagi maaf, saya tidak sengaja," ucap seorang perempuan yang menundukkan kepala di hadapannya.

Tidak ingin memperpanjang masalah, Dhabith hanya mengiyakan kemudian meninggalkannya. Lagipula dia harus segera ke tempat acara, sebelum terlambat.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang