Chapter One

184 3 5
                                    

CHAPTER ONE

Dari sekian banyak kota yang ada di negara ini, kenapa Big Apple menjadi pilihan grams (sebutan untuk nenek). Cassidy tidak habis pikir dengan hal itu, pindah dari Florida yang hangat ke New York yang dingin dan sesak. Dia tidak menyangkal kalau kotanya yang dulu juga padat penduduk, tapi setidaknya cuaca dan orang-orang di sana  hangat.

Cuaca dingin bukanlah sahabat cassidy. Dia rindu hangat nya sinar matahari pantai yang menyentuh kulit ketika dia berselancar di atas ombak pantai Florida yang cantik dan berjalan di atas pasirnya. Cassidy rindu pekerjaannya di sana, melihat senyum para pengunjung yang mengunjungi sea world terutama anak-anak ketika mereka melihat atraksi Donald dan Daisy; sepasang lumba-lumba yang dilatihnya. Rasanya hidup cassidy disana lebih mudah dibandingkan disini. belum lagi dia bukan termasuk orang yang gampang berbaur dan berteman, butuh beberapa waktu untuk cassidy mengenali apakah seseorang itu teman atau hanya memanfaatkannya. Dan itu semua terbukti, sudah hampir setahun tinggal di kota itu tapi dia masih merasa seperti orang asing.

Grams selalu bilang padanya “pergilah ke luar dan habiskan waktu dengan teman-teman sebayamu”. kata-kata yang tidak akan pernah keluar dari mulut wanita itu ketika mereka masih tinggal di Florida. Cassidy memang mengikuti nasehat nenek nya untuk keluar dari rumah, tapi tujuannya bukan mall atau tempat nongkrong teman-temannya--melainkan ke sebuah bukit. Di sana dia lebih suka bersepeda mengelilingi hutan daripada duduk berjam-jam membicarakan hal yang tidak penting dengan sekumpulan orang-orang yang bahkan belum tentu menyukainya. Siapa yang bisa memastikan kalau mereka yang dipanggilnya “teman-teman” tidak membicarakannya di belakang.

Sudah tiga bulan terakhir ini cassidy menghabiskan waktunya dengan bersepeda di hutan tidak jauh dari tempat tinggalnya. dia sudah mulai hafal dengan jalurnya walaupun sesekali terjatuh. Memar di lutut dan sikunya juga tidak terlalu biru lagi sehingga dia tidak perlu menyembunyikannya dari grams. Pernah sekali dia terjungkir dari sepeda dan kepalanya hampir terkena batang kayu, tapi untung masih selamat dari geger otak karena helm yang dipakainya. cassidy tahu kalau keselamatan lah yang paling utama dari segala hal.

Cassidy tidak tahu sudah berapa lama dia mengayuh sepedanya. dia lupa waktu dan juga lupa sudah berapa kali mengelilingi jalur yang sama. sambil terus mengayuh pedal sepedanya, cassidy melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul enam pagi. Ternyata sudah satu jam yang lalu dia mengayuh tapi kedua kakinya belum merasa lelah atau malah tidak merasakan apa apa. Tidak tahu apa karena terlalu bersemangat atau karena udara pagi itu yang terlalu dingin sehingga membuat kaki cassidy seperti mati rasa. Dia menghentikan laju sepedanya di sebuah tanah rata yang terasa gembur dan basah karena hujan yang turun semalaman. Cassidy duduk menumpu di atas sepedanya, membuka kacamata plastik yang melindungi matanya dan meletakkannya di dahi supaya bisa lebih leluasa melihat setiap jalur yang sudah ia lalui. Mulutnya mengeluarkan asap karena dinginnya udara. Dia baru menyadari kalau hutan di bukit itu cukup luas. Ada beberapa jalur lagi yang belum pernah dia lewati, jalur yang sepertinya mengarah ke sebuah sungai—dia bisa mendengar suara alirannya. Cassidy penasaran dengan jalur itu dan mencoba menelusurinya. Setidaknya dia masih punya beberapa menit lagi sebelum grams bangun.

Tanpa menunggu lama, cassidy mengarahkan sepeda ke sisi barat hutan dan mulai mengayuh. Begitu setengah perjalanan, dia mulai merasakan perasaan yang janggal. Dia seperti mendengar ada sesuatu yang menyentuh semak-semak. Pagi itu suasana hutan sangat sepi dan tenang, bahkan terlalu tenang. Cassidy baru menyadari kalau dari tadi dia tidak mendengar suara kicauan burung atau pun suara serangga. Seakan-akan pagi itu mereka tidak berada disana karena suatu alasan.

Cassidy terus mengayuh dan berusaha mengabaikan perasaan itu. dia masih ingin menyelesaikan jalur tersebut sampai dia melihat sungai nya. Jalur itu membuat dia sedikit kesusahan karena begitu banyak batang kayu tua yang tumbang. Sepertinya kayu di hutan itu rapuh-rapuh, sampai bisa banyak sekali pohon yang tumbang karena terkena terpaan angin atau badai yang memang cukup sering menerjang kawasan negara bagian New York dan kota-kotanya.

Saints and Sinners: The ProphecyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang