Apakah anda masih ingat kisah yang tertuang dalam surat ‘Abasa, tentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang sengaja mengabaikan Ibnu Ummi Maktum, seorang tunanetra yang menemui beliau untuk meminta pengajaran Islam darinya? Sungguh, Allah segera menegur Rasul-Nya yang mulia itu dengan menurunkan surat ini, membuat baginda Rasulullah mengerti bahwa beliau merupakan utusan-Nya bagi seluruh kaum, baik yang sempurna maupun yang cacat.
Pertanyaannya, siapakah jati dirinya yang sebenarnya? Sahabat Rasulullah yang satu ini memang bukan orang yang terkenal. Ia bukan seorang petinggi suatu suku, bukan penyair hebat dan bukan pula pria yang gagah perkasa. Ia hanyalah seorang rakyat biasa di tengah-tengah hiruk pikuk kota Mekkah, yang berjuang untuk menghidupi dirinya seorang.
Mengenai namanya, masih ada perselisihan di antara kaum muslimin. Penduduk kota Madinah berpendapat bahwa namanya ialah Abdullah bin Ummi Maktum, tetapi orang Iraq berpendepat berbeda namanya adalah ‘Amru bin Ummi Maktum. Walau begitu, mereka semua sepakat bahwa nama ibunya adalah Atikah binti Abdullah bin Ma’ish. Ya, ia adalah putra dari bibi Siti Khadijah binti Khuwalid.
Ibnu Ummi Maktum memang buta sejak lahir. Penduduk kota Mekkah kala itu mengenal pribadinya sebagai orang yang ulet mencari rezeki dan belajar mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan. Sebagai ganti penglihatannya, ia diberkahi daya ingat yang kuat, sehingga segala sesuatu yang ia dengar dari orang-orang akan ia ingat dalam waktu yang lama.
Suatu ketika, terdengar kabar bahwa semakin banyak penduduk kota Mekkah yang pergi menemui seorang mulia lagi terpecaya untuk belajar mengenai kabar langit secara sembunyi-sembunyi. Dialah Nabi Muhammad, sang Al-Amin, sang Rasulullah. Tertarik, Ibnu Ummi Maktum yang selalu mencintai keilmuan segera mengambil tongkatnya dan pergi menemui beliau.
Di luar dugaan, apa yang ia dengar langsung dari Rasulullah justru lebih dahsyat ketimbang apa yang dibicarakan orang-orang sebelumnya. Setelah puas dihinggapi rasa takjub lagi kagum, ia pun menggenggam lengan Rasulullah yang saat itu sedang berusaha keras menyampaikan risalah Islam kepada para petinggi Quraisy, seraya berkata, “Tolong ajarkan kepadaku apa yang telah diajarkan Tuhanmu kepadamu!”
Tersinggung karena disela di tengah-tengah ucapannya, Rasulullah tak menghiraukan Ibnu Ummi Maktum dan berpaling dengan mengerutkan wajahnya. Beliau kembali melayani tamu-tamu kehormatannya sampai pertemuan itu usai. Ketika Rasulullah hendak beranjak pergi, maka turunlah surat ‘Abasa ayat 1, “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling.”
Hati Rasulullah segera mencekik. Nuraninya berontak. Rasulullah segera memohon ampun kepada Allah atas kesalahan yang telah ia perbuat kepada seorang manusia yang membutuhkan pentujuknya untuk mengenal Allah. Maka, bergegaslah Rasulullah menemui Ibnu Ummi Maktum dan memberikan pedoman hidup yang lurus kepadanya; Al-Quran. Dan setelahnya, Rasulullah amat memuliakan sahabatnya yang buta ini dengan menyapanya, “Selamat datang, wahai orang yang dititipkan Tuhanku untuk diperlakukan baik!” Sungguh mulia Ibnu Ummi Maktum di mata beliau.
Dalam kehidupan pasca-Islam, Ibnu Ummi Maktum dikenal sebagai orang yang amat mencintai Allah serta Rasul-Nya. Dalam suatu riwayat, dikisahkan bahwa ia pernah tinggal di rumah seorang wanita Yahudi, bibi seorang Anshar. Wanita itu baik hati dan melayani makan-minumnya. Sayang, mulutnya tak pernah henti untuk menghina orang-orang yang dicintai oleh Ibnu Ummi Maktum. Tak sabar, Ibnu Ummi Maktum menegurnya beberapa kali, namun tak diindahkan oleh wanita Yahudi itu. Terpaksa, Ibnu Ummi Maktum memukulnya. Ternyata, pukulan itu mematikan dan perkara ini dilaporkan kepada baginda Rasul.
“Mengapa kau bertindak demikian?” tanya Rasulullah kepadanya.
“Wahai Rasulullah, sungguh ia seorang wanita yang berbudi baik kepadaku, namun mulutnya senantiasa mencela Allah dan Rasul-Nya, maka terpaksalah aku memukulnya untuk menghentikannya, namun kiranya ajal telah menjemputnya,” bela Ibnu Ummi Maktum.
“Sungguh, Allah menghalalkan darahnya.”
Tak sampai di situ saja, kecintaannya kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala ia buktikan dalam berbagai bentuk partisipasinya dalam peperangan. Suatu ketika, saat pasukan muslimin berangkat menuju Al-Qadisiyah, Ibnu Ummi Maktum bertemu dengan sang komandan perang, “Wahai kekasih Allah, sahabat Rasulullah, pahlawan perang, serahkan bendera perang itu padaku. Aku seorang buta, tak mungkin bisa lari. Nanti, tempatkanlah aku di antara kedua pasukan yang berperang.”
Menurut Qatadah, Anas bin Malik berkata, “Dalam perang Al-Qadisiyah, Abdullah bin Ummi Maktum memegang bendera perang hitam dan mengenakan baju besi.” Dan berdasarkan riwayat, Ibnu Ummi Maktum tidak meninggal di medan perang, melainkan di Madinah. Semoga Allah merahmatinya.
Setelah menyaksikan kesungguhan perjuangan seorang tunanetra ini dalam berjihad di jalan Allah, adakah argumen yang dapat memenangkan kemalasan kita dalam memperjuangkan agama yang agung ini? Adakah alasan yang dapat menjauhkan kita dari kewajiban berjihad (berjuang dengan sungguh-sungguh)? Sungguh tak ada satu pun yang demikan. Maka, majulah dalam keteguhan, bersatulah dalam ketaatan, dan berjuanglah dalam mencari ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wallahu’alam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Para Sahabat Nabi
روحانياتBerbicara tentang sahabat, seakan berenang di lautan kemuliaan yang tak bertepi. Begitu banyak kemuliaan yang tertoreh dalam kehidupan mereka, baik ketika berdampingan dengan Rasulullah saw. maupun setelah beliau wafat. Keberadaan dan peran mereka d...