|Part 8|

380 26 0
                                    

Apakah kau ingat? Aku terbangun diatas kasur putih rumah sakit.

Ruangan putih sialan yang terlalu sering kulihat, bersama dengan bau obat terkutuk yang menyebar dimana-mana.

Kepalaku berdenyut-denyut mengesalkan, membuatku mengerang keras.

"Tang? Lo udah sadar?"

Sebuah suara yang sangat kukenal berkata dari samping kiriku. Siapa lagi kalau bukan Kau?

Aku memaksa tubuh lemah sialanku untuk bangun yang berakibat pada kepalaku yang tambah pusing.

Tangan kananku refleks mencengkram rambut hitamku, sementara tangan yang satu lagi menopang tubuhku.

"Tang, jangan dipaksain, tiduran aja dulu"

Tanganmu yang lembut mendorong bahuku pelan agar aku kembali terlentang diatas kasur putih itu.

Sambil mendesah akhirnya kuturuti perkataanmu.

Matamu menatapku lembut, ada sedikit kekhawatiran disana sebelum kau memalsukannya dengan senyuman.

"Gue ngacauin jalan-jalannya ya? Sorry."

Aku tersenyum sedih sambil memainkan jariku.

"Nggak kok. Yang penting lo sehat dulu, ntar kalo dah sehat, kita jalan-jalan lagi."

Jemarimu mengusap rambutku. Oh betapa aku merindukan belaianmu.

Aku menghela nafas. Harusnya aku tidak memaksakan untuk ikut masuk ke rumah hantu bodoh itu. Astaga, apakah aku benar-benar selemah itu? Dasar hati terkutuk.

"Maura kemana?"

"Dia tadi udah pulang, dicariin emaknya."

Aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku sambil melantunkan sebuah 'oh' pendek.

"Pasti tadi panik banget ya?"

Aku terkekeh, membayangkan wajahmu yang panik saat aku tiba-tiba pingsan. Aku jadi merasa kasihan pada wahana yang tak bersalah itu, pasti ratingnya jadi turun karena pertunjukan kecilku.

"Eh? N-nggak kok, eh, tadi biasa aja."

Kau mengusap belakang lehermu. Coba saja kau berbohong padaku, tidak akan berhasil. Karena raut mukamu itu sangat mudah ditebak.

"Udah, nggak usah bohong. Gue ngerti kok"

Aku menepuk pundakmu pelan.

"Lagian, tiap kali gue pingsan nenek gue juga bakalan jadi panik setengah mati."

Aku tertawa.

"Eh, omong-omong, nenek gue tau nggak gue pingsan lagi?"

Aku menatapmu penasaran. Pokoknya nenek tidak boleh tau. Tidak boleh, atau aku akan selamanya terjebak didalam kamarku dan kemungkinan besar tidak akan melihat sinar matahari lagi. Oke, mungkin itu berlebihan, tapi, yah begitulah.

"Gue belom ngasih tau nenek lo sih, abisnya gue nggak tau nomernya."

Kau menatapku, kelihatan bersalah.

"Yaudah, bagus deh, jangan pernah ngasih tau nenek gue kalo gue pingsan. Oke?"

Aku menatapmu tajam, membuatmu salah tingkah, dan yah jujur saja sikapmu itu terlihat sangat lucu.

"Eh? Oh, oke. Emangnya kenapa sih kalo nenek lo tau? Kan sesuatu kayak gini emang harusnya nenek lo tau."

Kau mengerutkan dahimu, hingga kedua alis tebal mu hampir bersentuhan. Terkutuklah alisku yang kelewatan tipis!

"Ntar kalo nenek gue tau, lo ga bakal pernah liat gue lagi."

Aku memutar bola mataku lesu. Astaga, memiliki nenek yang posesif itu susahnya minta ampun.

"Hah? Maksudnya gimana?"

Aku mendesah. Ya ampun kenapa laki-laki itu sangat lambat? (No ofense yg cowok ._. Ini hanya joke receh)

"Maksudnyaaa, gue bakal disuruh homeschooling lagi, bego."

Aku memberikan penekanan pada huruf 'aa' karena terlalu kesal.

Yang benar saja nek? Ini pertama kali aku masuk sekolah normal, dan menjadi seorang remaja normal. Dan kau mengacaukannya hanya karena penyakit sialanku?

"Gue.. bener-bener benci sama diri gue yang kayak gini."

Aku merebahkan tubuh diatas kasur putih itu, mataku terpejam.

"Yaudah kalo lo benci diri lo sendiri, biar gue aja yang mencintai diri lo yang cantik ini."

Suara lembutmu berucap, seiring bibirmu mencium keningku.

Jemarimu naik-turun mengelus rambut hitamku.

Kau ingat itu?

Kau mengecup keningku.

•••••

Halo!

Uwa di kecup keningnya~
Goals sekali huhu, gue pengen T_T

Betewe karena ini cuma short story, jadinya mungkin cuma bakal jadi beberapa belas part saja.

Dong nggak gue ngomong apa?

Yasudahlah, lupakan saja.

Stay tune~!

Remember? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang