Seorang perempuan dengan pensil ditangannya nampak kesulitan menghubungkan dua titik dalam sebuah gambar perspektif. Matanya terlihat awas, tapi garis yang akhirnya ia goreskan tak seawas matanya yang silinder tanpa kacamata. Diletakkannya kembali pensil itu diantara tumpukan alat tulis lainnya. Kepalanya yang kemudian pening dan lemas tidak butuh waktu lama untuk tergeletak diatas meja.
"Pelajaran macam apa ini? Kenapa ada pula pelajaran menggambar yang membutuhkan ketelitian tingkat akut seperti ini? Mending aku disuruh buat cerpen berlembar-lembar daripada buat ini selembar tapi enggak kunjung selesai. Jam makan siangku jadi terlewat." Gerutunya yang entah pada keadaan atau teman disampingnya yang juga sedang menjadi seserius mungkin, meskipun berulangkali penghapus minggir kanan-minggir kiri diatas kertas gambarnya.
"Aku juga... Meskipun tidak bisa menggambar apapun tapi aku bersedia menggambar bulatan-bulatan sebanyak 99 buah diatas 2 lembar kertas, daripada harus mengerjakan tugas menggambar ini." Teman yang tadi merasa menjadi tempat keluh kesah kini ikut menyerah. Ditempelkannya pipi kiri yang penuh gumpalan lemak pada sisi atas meja.
Mereka kini saling berpandangan lalu menutup mata masing-masing.
"Ngomong-ngomong ini bukan pelajaran atau tugas ya, Rid. Ini hanya pengisi waktu luang inisiatif kita, karena sebulan lagi kita bakal lulus dan segera menjadi manusia berlabel mahasiswa. Aku tidak menyangka pengisi waktu luang akan sesulit ini hanya karena kemarin tidak memerhatikan dengan baik atau memang aku yang kesulitan memahami gambar perspektif ini."
Yang diajak bicara hanya diam saja sambil sesekali berdehem. Sepertinya ketiduran.
Setelah beberapa menit, tiba-tiba saja "Na, sepertinya aku harus segera mengangkat kepala. Bantuin dong... cepat! Aku tidak ingin dilihat dalam keadaan seperti ini, menyedihkan sekali. Na, bangun Na! Angkatin kepalaku biar enggak nempel begini,"
Yang dipanggil masih tetap santai menanggapi temannya yang keberatan pipi. Setelah beberapa menit temannya mengiba akhirnya ia bersedia memicingkan mata walaupun hanya sesenti.
" Apa sih Rida cantik... Kalau mau bangun ya bangun saja. Memangnya pipi kamu itu dikasih lem? Kok sepertinya sudah lekat di meja. Dan lagi... Siapa yang mau lihat kamu atau kita disini, jangan PD dong! Yang ada mereka bisa terjangkit penyakit sawan lihat ekspresi melas kita."
"Aku serius, Kirana! Kamu tahu? Kurang lebih 13 meter dari tempat kita berada sekarang, tepatnya di seberang jalan menuju kelas di lorong sebelah, ada 4 orang berjenis kelamin laki-laki sedang mengintai. Entah yang mereka intai siapa tapi yang jelas mereka sedang melihat ke arah kelas kita." Rida menerangkan dengan semangat membara dalam keadaan pipi masih melekat di atas meja. Sudah mirip agen mata-mata rahasia yang sedang berkamuflase menjadi batu.
" Kamu jangan mengigau siang-siang begini gara-gara tadi terlewat jam makan siang, Rid! Bermimpi itu baik, tapi bukan mimpi memiliki penggemar juga kali! Itu namanya narcissism, takabur Rid! Dosa! Kita hanya anak ingusan kemarin sore di mata para laki-laki. Lihat saja bekal makan siang yang kita bawa dari rumah! Bukan hanya sekotak, tapi 3 kotak yang isinya nasi, lauk, dan pencuci mulut. Anak rumahan banget kan? Nilai elegan kita di mata mereka tidak ada 0,1% dari 100%, tahu? Aku enggak sanggup menghadapi kenyataan bahwa kehadiran mereka bukan ambisimu semata." Kirana menimpali sembari berakting mewek tanpa menggeser kepalanya sedikit pun dari atas meja.
"Eleh-eleh, bu ustadzah. Ini mah bukan takabur, ini namanya kenyataan atuh. Lihat saja sendiri! Nanti balik badanmu. Farida Adisti tidak pernah berbohong! Pantang euy, kecuali kepepet, hehehe."
Lelah beradu mulut, Rida mulai mengangkat kepalanya dan segera merapikan jilbabnya yang tidak beraturan. Setelah selesai merapikan diri, ia mengambil jarak beberapa menit untuk sekadar menghadap ke papan tulis dan menenangkan hati. Kemudian ditariknya kepala Kirana dengan rambut sebahu itu agar tegak menatap arah papan tulis pula.
Tidak segera ia suruh melihat ke arah jalan seberang agar yang sedang melihat ke arah kelas mereka pun tidak merasa percaya diri karena balik diperhatikan. "Strategi apik!" Puji Rida pada dirinya sendiri. Kirana diajaknya berbisik-bisik sebentar, setelah yakin bahwa keadaan aman dan target di seberang jalan dalam ceritanya lengah, Kirana disuruhnya lekas melihat dalam sekelebat pandang.
"Bagaimana? Kamu percaya sama aku kan?" Mata Rida berbinar, minta pembenaran dan pengakuan atas kebenaran informasi yang ia ceritakan.
"Iya, tapi bukan berarti mereka sedang melihat kita, hanya karena kita duduk di posisi paling depan dan terlihat langsung dari arah jalan kan? Mungkin mereka kurang kerjaan atau memang sedang cari angin. Pada intinya, apa yang mereka lakukan itu sama sekali tidak perlu membuat kamu merasa percaya diri atau salah tingkah. Jilbabnya itu, neng... Dijaga! Jangan dijadikan penghias saja. Matanya juga harus dijaga, mentang-mentang rambut doang yang ditutupi terus mata boleh lihat seenaknya gitu? Astaghfirllahal'adzim, Rida..." Kirana geleng-geleng kepala melihat sahabat imutnya yang kini manyun itu.
Tidak beberapa lama Rida manyun, diucapkannya istighfar sembari tersenyum kembali "Astaghfirllahal'adzim... Terima kasih Ustadzah Kirana sayang! I love you, love, love, love, and love you very much!Udah rajin, pintar ceramah lagi! Harusnya kamu bukan hanya jadi ustadzah deh ya,"
"Kok gitu?" Kirana bingung dengan apa yang dimaksud sahabatnya.
"Iya... Kemarin kamu bukan nyeramahin aku saja, si Angeline juga kamu suruh rajin pergi kebaktian Minggu kan? Si Pramesti kamu nasehatin buat ikut orang tuanya ke pura kan? Walaupun sebenarnya kamu nasehatin dengan gaya asal ngomong saja, tapi mereka beneran berangkat lo... You are my inspiration deh, Na!"
"Oooo itu, hahaha. Biasa aja kali, bukankah sebagai teman kita harus saling mengingatkan dalam kebaikan? Meskipun kita beda, tapi kamu tahu kan kalau agama kita sudah mengajarkan lakum diinukum wa liya diin, untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
"Ya... begitu pula dengan kuliah ya? Kamu sedih enggak kalau mereka harus kuliah jauh dari kita? Kok kemarin kamu malah dukung mereka untuk mengambil kuliah jauh dari tempat kita menentukan pilihan? Katanya mau sama-sama terus."
"Rida... Aku juga sedih kalau harus pisah sama mereka, kita jadi enggak bisa bareng-bareng lagi. Meskipun demikian, ada hal-hal yang harus kita tentukan, karena hidup adalah pilihan. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk stagnan dalam keadaan yang kita inginkan. Terkadang berubah itu perlu dan penting, Rid. Apalagi kalau perubahan itu baik. Kita enggak bisa menjadi teman yang malah mengekang mereka untuk mencapai kebahagiaan kan?"
"Aku ingin ikhlas, Na, tapi masih belum bisa. Kamu lihat kan sekarang? Mereka pun enggak ada di kelas waktu pertemuan-pertemuan terakhir kita di sekolah ini. Aku sudah merasa kehilangan bahkan sebelum sempat memikirkan kemungkinan-kemungkinan kehilangan yang akan datang."
Sejenak Kirana terdiam. Ia mengiyakan apa yang dikatakan Rida, tapi juga tidak dapat menyalahkan Angeline dan Pramesti yag sedang sibuk mengurus administrasi perkuliahan yang akan segera mereka mulai di kota yang jauh dari tempat tinggal mereka saat ini.
"Kirana!" Suara seorang perempuan dibarengi suara gurauan laki-laki terdengar nyaring datang dari arah menuju kelasnya. Si perempuan senyum-senyum sembari membawa selembar kertas berwarna kuning terang, sedangkan beberapa anak laki-laki di seberang jalan tertawa cekikikan. Hanya satu yang diam sambil terus memandang ke arah Kirana.
Kirana yang merasa dipanggil menoleh ke arah datangnya suara. Dipandanginya perempuan pembawa kertas itu. Kirana kenal tapi mereka tidak dekat." Ada apa ya?" Kirana mencoba menyapa sambil tersenyum ramah.
"Hai, ini ada surat dari anak di seberang jalan itu. Katanya tidak perlu dibalas, cukup kamu baca."
"Terima kasih... tapi ini apa ya? Apa enggak salah suratnya buat aku? bukan buat wali kelasnya?" Kirana sedikit bingung karena merasa tidak mengenal si laki-laki di seberang jalan yang dimaksud.
"Hahaha, iya benar buat kamu kok. Dia enggak lagi sakit makanya ngirim suratnya bukan ke wali kelas, tapi ke kamu! Ya sudah, aku ke kelas dulu ya." Si pengantar surat langsung pamit undur diri setelah menyampaikan amanah yang diemban.
Si Kirana masih bengong, tidak menyangka akan mendapatkan sepucuk surat meskipun ia sendiri belum membuka surat itu. Perempuan tanpa nilai elegan di mata laki-laki, pembawa bekal makanan di bangku SMA, tidak pintar, pemalu, dan tidak populer itu benar-benar mendapat selembar surat berwarna kuning cerah dari laki-laki di seberang jalan.
Dan laki-laki itu tidak beranjak. Ia masih memandang Kirana yang mematung di depan pintu kelas berlatar bangku-bangku kosong yang diduduki sebagian orang.
Rida yang sedari tadi berada di belakang Kirana mencoba mengintip dari balik punggung sahabatnya, berharap dapat segera melihat isi surat yang ia doakan bukan tentang asmara remaja. Bukan tentang cinta monyet yang bermuara pada pelanggaran batas-batas pergaulan, tapi usahanya sia-sia. Kirana masih berdiri diam membisu seakan-akan tidak menyadari bahwa Rida sedari tadi bergelayut mencoba meraih surat di tangannya.
Dan laki-laki di seberang jalan itu terus mengamati serta tak kunjung pergi.
***
Kirana tersenyum sendiri saat mengingat surat pertamanya semasa SMA. Cukup untuk sedikit melupakan jengah saat ia melakukan perjalanan menuju desa di ujung gunung tempatnya melabuhkan jenuh nantinya. Saat ini musim kemarau, pepohonan meranggas dan tanah mulai gersang. Tumpukan dedaunan kering yang menutupi ranting berduri membuat Kirana tidak awas. Kaki yang terbalut sepatu olahraga berwarna putih itu kini memerah.
"Ternyata pergi itu perih." Kirana berucap lirih sambil tersenyum pada dirinya sendiri. Tangannya sibuk melepas sepatu dan mencabuti duri. Pikirannya sibuk menenangkan hati yang bernegosiasi minta kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendalam
General FictionMari menyelami cerita ini lebih dalam. Jangan melakukan pelarian sebelum sempat benar-benar kamu pikirkan. Baik pelarian dari kenangan maupun masa depan. Jangan lupa tumbuh bahagia, karena percayalah! Kebahagiaanmu tak jarang adalah kebahagiaan ora...