sixteen

4.3K 698 74
                                    

Hari ini terhitung tiga minggu sejak Jimin keluar dari rumah sakit. Pemuda itu sekarang sedang menghadiri rapat dadakan di kantor Hit It Entertainment.

Ia dengan tegang duduk disebelah Yoongi. Aura didalam ruangan itu terasa berat, dan Jimin tidak suka.

"Aku tidak mau bekerja sama dengannya lagi." Yoongi berucap dengan santai, membuat Jimin tersenyum getir.

"Kau tidak boleh seperti itu Yoongi. Kau harus menanyakan pendapat Jimin juga" Mr.Jang–PD-Nim mereka–memprotes sambil memijat pelipisnya.

Jimin hanya tersenyum. Lalu, jawaban yang sudah Ia siapkan dari tiga tahun. Akhirnya keluar juga.

"Tidak apa-apa PD-nim. Aku yang cacat ini, hanya akan menyusahkan Yoongi hyung. Carikan saja partner baru untuknya. Aku tidak apa-apa." Jimin tersenyum dipaksakan, membuat sang PD-nim menghela nafas kasar.

"Tapi Jimin-ah–"

"Tidak apa-apa. Sekarang rapatnya sudah selesai kan? Aku tidak akan ikut apa-apa lagi kan setelah ini? Aku pergi dulu. Terimakasih PD-Nim, Yoongi-ssi." Jimin membungkukkan tubuhnya, lalu pemuda imut itu dengan senyuman kecil berjalan meninggalkan kantor Hit It Entertainment.

***

Suara ponsel yang menggema membuat Jimin tersentak pelan dari pikirannya.

Senyuman lebar terpatri di bibir tebalnya ketika melihat ID Caller sang penelepon.

"Halo, kakek?"

"..."

"Jiminnie baik-baik saja kek."

"..."

"Euhm. Kakek kenapa menghubungi Jimin?"

"..."

"J-Jepang? Untuk apa?"

"..."

"Berapa lama?"

"..."

"Baiklah, Jiminnie akan langsung kesana besok pagi. Jiminnie sayang kakek."

Pip.

Ketika sambungan telepon itu terputus, senyum Jimin seketika luntur. Bergantikan isakan yang terdengar sangat menyakitkan.

"Semuanya berakhir disini, mimpiku. Cinta pertamaku. Semuanya sudah berakhir."

***

Jiminnie❤
Taetae. Mungkin ketika kau membaca pesanku ini, aku sudah tidak ada lagi di Korea. Aku sudah tidak bisa bertemu denganmu lagi. Ah! Aku hanya ingin menyampaikan salam untuk Seokjin hyung, Namjoon hyung, Gukkie hyung, Hoseok hyung, PD-nim, manager dan juga 'dia'. Tanpa menyebut namanya pun kau tau kan siapa 'dia' yang kumaksud disini? Aku tidak bisa menyebutkan namanya. Itu terasa menyakitkan untukku sekarang. Taehyung, teruslah semangat. Aku ingin melihatmu menggelar konser di seluruh dunia, aku ingin melihatmu sukses menjadi penyanyi. Karena, aku tidak mungkin bisa jadi sepertimu lagi. Sayapku sudah patah, orang yang paling kucintai yang mematahkannya sendiri. Ironis bukan? Taetae, bilang pada gukkie hyung jangan lupa makan. Bilang pada Namjoon hyung untuk selalu berhati-hati. Bilang pada Seokjin hyung aku sangat bersyukur ketika Ia bersikap sebagai ibu untukku. Aku menyayangi kalian semua. Tapi, kurasa yang kemarin adalah pertemuan kita untuk terakhir kalinya. Aku tidak akan kembali, aku tidak bisa kembali lagi ke sana. Sekali lagi, terimakasih Taetae. Aku menyayangimu ❤

-with much love. Park Jimin, Your Cutie Hyung.

Jungkook, Namjoon dan Seokjin tertegun ketika Taehyung membacakan pesan terakhir dari Jimin.

Pemuda imut itu membuang nomor ponselnya, menon-aktifkan semua media socialnya. Menutup akses semua orang untuk menjangkaunya.

Taehyung menghela nafas kasar. Amarahnya memuncak ketika tahu siapa dalang dibalik semua ini.

"Aku akan memberinya pelajaran." Taehyung bangun dari duduknya, kedua tangannya terkepal menahan amarah yang memuncak.

"Taetae, sabar. Semua masalah ini tidak akan selesai jika selalu menggunakan otot." Seokjin menghampiri sang maknae, mengusap pundaknya dengan perlahan.

"Tapi, Seokjin hyung–"

"Biar saja, ada saatnya nanti. Ketika karma datang padanya. Biarkan Tuhan yang membalas semua perbuatannya." Seokjin tersenyum menenangkan, membuat Taehyung menghembuskan nafas kasar lalu kembali duduk.

***

Jimin sudah menginjakkan kaki di Jepang sejak dua jam yang lalu. Sekarang, pemuda Park itu sedang tidur-tiduran di kasur King Size-nya.

"Jiminnie" panggilan itu membuatnya membalikkan badan, betapa senangnya Ia ketika melihat sang nenek yang masuk sambil membawa satu nampan berisi cookies coklat dan susu vanilla.

"Terimakasih nenek." Jimin tersenyum lebar, lalu mulai memakan satu persatu cookies yang ada di piringnya.

"Kenapa kau dengan mudah meng-iyakan permintaan kakekmu Jiminie? Bukankah kau sedang sibuk-sibuknya sekarang ini?" Sang nenek mengelus rambutnya dengan perlahan. Membuat Jimin tertegun dan meletakkan nampannya di atas meja nakas.

"Jiminie keluar." Senyuman tetap merekah di bibirnya, membuat neneknya kaget.

"Kenapa? Bukankah ini mimpimu Jiminie? Untuk menjadi penyanyi terkenal?" Neneknya menatap Jimin dengan khawatir, membuat Jimin terkekeh.

"Sayapku sudah patah nek. Aku tidak punya semangat lagi untuk melanjutkannya. Lagipula, sekarang aku cacat. Akan susah untuk melakukan aktifitas melelahkan, aku hanya akan menyusahkan saja nantinya." Jimin masih tersenyum ketika berbicara seperti itu, membuat sang nenek bersedih melihat ekspresinya.

"Jiminie–"

"Nenek, Jiminie mengantuk. Terimakasih atas waktu luangnya, Jiminie akan tidur. Selamat malam nenek." Jimin memotong perkataan sang nenek. Lalu, dengan perlahan pemuda itu mengecup pipi wanita kesayangannya.

Semuanya berakhir. Semuanya sudah tamat. Cinta? Apa itu. Aku sudah tidak tahu lagi. Aku sudah tidak mau lagi merasakan perasaan itu.

____________________
Ngeselin.

Rollercoaster ↔ Yoon.MinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang