------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku berjalan- dengan tenangnya dan kemudian duduk diatas kursi-ku. Menatap sekeliling dan kembali menatap lurus kedepan, aku memindahkan vas bunga diatas meja tepat dihadapan wajahku agar aku tak perlu melihat siapa yang akan mengajar hari ini.
Bel pun berbunyi tak butuh waktu lama bagi murid Maxemeers untuk masuk dan duduk rapih seperti domba yang di gembala dan sang penggembala tak lain dan tak bukan adalah guru kami, ups wali kelas maksudku, aku heran ini bukan pelajarannya namun dia masuk sepertinya ada suatu hal yang akan disampaikannya.
"Baiklah. Saya tidak akan lama disini." Mulai wali kelasku itu, Mrs. Deb kependekkan dari Deborah.
"Saya tidak bertele-tele. Akan ada murid baru di sekolah ini. Silahkan masuk nak, perkenalkan dirimu dan 'bersenang-senanglah'." Ujar Mrs. Deb pada akhirnya lalu keluar dan pada saat itu pula seorang murid lelaki berpakaian seragam seperti kami namun dengan wajah yang nampak asing masuk.
Dia tersenyum kepada kami, "Hai semua. Aku.. Um. Aku Evan. Evan D. Carter. Semoga aku dapat kerasan disini, salam kenal."
Sungguh, aku memandang ke arah murid lain ada yang membalas senyumnya, ada yang bertepuk tangan, mereka semua sangat excited. Bandingkan saat aku masuk sebagai murid baru disini, tatapan tajam, membunuh, menjijikkan, merendahkan, bahkan Mrs. Deb tidak mengantarku barang sedetik-pun sehingga aku terpaksa masuk sendiri setelah diusir dari ruang administrasi.
Ketika aku sedang mengeluarkan alat tulisku, meja terdekat disampingku bergerak pelan, aku memutar kepalaku dan melihat Evan duduk di kursi yang selama tiga tahun belakangan dan hampir empat tahun (Aku disini sejak kelas delapan) itu kosong.
"Hai. Evan." Aku acuh saat mendengar Evan mengenalkan dirinya, bahkan aku yang terdekat dengan-nya tidak disapa.
"Hai nona berambut coklat, aku Evan."
Aku ingin sekali berkata 'Hey Evan! Aku juga berambut coklat, mengerti? Sebaiknya kau ajak bicara aku!' Namun aku tak mengatakannya, sampai... Sampai murid baru itu menepuk lenganku.
"Nona? Kau mendengarku kan? Aku berharap dapat menjadi temanmu, aku Evan." Dia tersenyum ke arahku.
DEMI TUHAN!
AYAH APA KAU SEDANG BERMURAH HATI PADAKU?
DIA PERTAMA!
Aku ingin melonjak kegirangan, Evan berbicara normal padaku selayaknya aku dan Evan manusia normal, kenyataannya begitu, kecuali aku. Aku-Bukan-Manusia.
"Hai.. Ak-aku Rylie Hope. Senang ber-ber-kenal-an dengan..-mu." Aku tergugup dan membalas uluran tangannya.
Aku menahan diri untuk tidak berkata "Evan apa kau normal?" Aku terus menahan diri dan.
"Evan.. Apa kau manusia em normal?" Kataku pada akhirnya dengan jelas.
"Tentu saja? Hahaha.. Memangnya aku ini apa? Iblis bermuka dua? Malaikat? Hewan yang menyamar?" Dia berkata sambil menahan geli. Huh, Rylie apa yang kau pikirkan sih!
---
Istirahat. Waktu istirahat ini kuhabiskan seperti biasa, melamun dan makan bekal yang kubuat sendiri di bawah pohon dan duduk di salah satu kursi taman sekolah.
"Akhirnya! Kutemukan kau!" Aku terhenyak saat merasa punggungku di tepuk dari belakang oleh Evan yang memamerkan wajah lega dan lelahnya seperti setelah bermain play tag.
"E-evan?" Aku takut-takut memandangnya, siapa tahu dia sudah menjadi kaki tangan geng yang sering membully-ku.
"Santai sajalah. Kau ini kenapa? Kau terlihat ketakutan? Sudahlah, dari tadi kau hanya menjaga jarak padaku? Mengapa?" Evan bertanya dengan tatapan kecewanya padaku. Oh, maafkan aku, Evan.
"Maaf. Aku hanya tidak diterima disini, aku tidak pernah berbicara dengan orang sebaik kau sebelumnya, kurasa."
Evan terdiam suasana hening, aku menatap kotak bekalku yang sudah kosong. "Ngomong-ngomong, ada apa mencari-ku, em... Carter?"
"Panggil aku Evan, boleh aku memanggilmu.. Rylie?" Aku mengangguk sebelum Evan melanjutkan, "Aku ingin mengajakmu berkeliling sekolah ini, namun tampaknya aku sudah melakukannya untuk mencarimu."
Aku tertawa renyah, "Tidak ada gunanya kau meminta aku menjadi pemandumu, percayalah tiga tahun disini bahkan aku masih tidak tau tempat ini sekolah atau gladitorium dengan para gladiator yang punya otak."
Evan tersenyum kecil, dia akhirnya duduk di sebelahku, aku kaget lagi, tentu saja."Kenapa kau selalu kaget seperti itu? Apa semua orang memperlakukan sesuatu yang tidak adil kepadamu?"
"Tidak. Tidak semua orang Evan,kujelaskan padamu, aku bekerja paruh waktu di salah satu studio cafe dan orang disana baik walaupun tidak pernah menganggapku ada, kehidupanku monoton di Cafe itu seperti.. Bekerja lalu mendapat imbalan tanpa ada teguran maupun pujian walau sebatas sapaan yang basi. Dan orang di sekolah ini lah yang membuatku jengah mereka semua memandangku seperti aku kutu busuk yang dipelihara di sekolah ini, menyiksaku jika ada kesempatan. Semua orang jahat kepadaku. Kecuali. Kau." Aku menjelaskannya panjang lebar.
Evan memandangku lekat-lekat lalu dia mengalihkan tatapannya, "Aku tidak mengerti mengapa mereka seperti itu? Dan aku bersyukur aku tidak menambah dosaku dengan berperilaku seperti mereka terhadapmu. Aku memang sulit untuk mempercayainya, namun semua bukti terhampar di hadapanku, semua murid bahkan guru membencimu, dan menganggapmu tidak ada, mengapa?"
Aku tersenyum misterius. "Tidak ada alasan apapun, ketentuan Tuhan saja, kurasa."
"Aku ingin menjadi temanmu."
"Aku juga."
----
Aku menghempaskan diriku kedalam single bed dengan per-peran yang sudah jelek, namun tidak kuhiraukan, aku senang sekali, setelah sekian lama, akhirnya ada yang memandangku! Ada yang baik terhadapku.
KAU DENGAR AYAH! AKU PUNYA KAWAN!
Ini hari terbaikku, kurasa! Yea! Yea! Yea!
Setelah pulang dari sekolah lalu meluncur ke Cafe untuk bekerja akhirnya aku dapat bersyukur dan menyadari betapa senangnya aku!
Aku merogoh kantung seragam sekolah yang ada di dalam tas-ku, karena baju itu sudah kuganti saat aku akan bekerja.
Nomor telepon. Evan. Kawan baruku. Yang baik padaku.
"WOOHOOO!" Aku berteriak bak kesetanan namun langsung membekap mulutku karena ruangan bobrok ini pasti tidak akan meredam suara-ku.
Aku terdiam beberapa saat, merenungi sekelebat pikiran yang mendatangi-ku tiba-tiba. Kenapa aku merasa semua ini direncanakan ya? Maksudku, aku tahu ayahku memang merencanakan bagian 'menghipnotis semua orang yang berhubungan denganku' Namun tidak dengan Evan, yang justru baik dan ingin menjadi temanku.
Mengapa aku tidak berpikiran dibalik pribadi Evan yang baik ada suatu kejahatan disana?
Yang benar saja! Dia semunafik itu-kah?
Namun, jika benar?
Tapi Evan terlihat tulus, kan?
Argh! Aku bahkan tidak memperhatikannya! Aku terlalu senang!
Tunggu.
Apa ayah mengasihani-ku? Sehingga dia mengirim manusia normal padaku?
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Evan is a devil with angel face? Come' on Rylie, are you sure?
Waw! This is the best day (Read :The best Chap) for Rylie for now! She have a new 'normal' friend!
I'm new, sorry, I can't made this part like a pro. :) Sorry if this chap too short ^^
Newbie banget jadi, gapunya vote sama sekali ;( dan juga ceritanya abal pake banget dan banget dan banget.
Semua juga tau kan?