13. First Trust

15.5K 1.4K 112
                                    

Pertama kali yang dirasakan Mahenz saat kesadaran itu datang adalah rasa kering yang menyergap kuat di tenggorokannya. Hambar dan pahit. Sampai dia seakan tidak bisa merasakan air liurnya sendiri. Pendengarannya yang seakan jernih dari segala bunyi-bunyian mulai terasah. Hanya dengung konstan yang mengganggu di antara kesunyian itu.

Dia tidak suka suara dengung itu. Membuat kepalanya sakit. Dia ingin membuka matanya untuk menyuruh siapapun mematikan suara dengungan itu. Namun saat dia memutuskan untuk membuka matanya, rasa sakit tahu-tahu saja menyerang seluruh tubuhnya. Dia tidak bisa bergerak. Tangan dan kakinya terasa kaku sampai ke jari-jarinya.

Lalu ingatan itu datang padanya. Seperti dia sedang menonton sebuah film bisu. Dia yang baru saja keluar dari galeri tempat pameran lukisannya berlangsung. Orang-orang yang menghadangnya. Perkelahian tidak seimbang yang harus dihadapinya. Lalu hantaman keras di sisi kepalanya yang membuatnya tersungkur jatuh ke jalanan beton di depan galeri.

Seraut wajah tampan baby face dengan sinar mata nakal memantul dalam kegelapan. Seakan menuntunnya keluar dari kegelapan itu.

Bagas, dia memanggil nama itu dalam relung hatinya.

Dengan segenap kekuatan yang dimilikinya dia mencoba membuka matanya. Melawan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Matanya terasa berat sekali. Sekali lagi dia mencoba menggerakkan jari-jarinya, yang seakan tidak mau berkompromi dengan otot-ototnya.

"Sayang..."

Suara dalam yang halus itu berbisik lirih di pendengarannya.

Dia terus berusaha menggerakkan jari-jarinya yang kaku. Dia terus berusaha membuka matanya walau terasa menyiksanya. Dia berusaha melawan rasa sakit di kepalanya. Dia mencoba bangkit. Walau rasanya sulit sekali. Dipaksanya matanya untuk terbuka walau menyakitkan.

Cahaya putih dari pendar lampu yang menyala, langsung masuk ke dalam penglihatannya, membuatnya silau saat kelopak yang memberati matanya bisa terbuka sedikit. Dia menutup lagi kelopak matanya sebelum membukanya lagi perlahan-lahan, membiasakan pandangannya agar tidak silau oleh cahaya lampu. Jari-jarinya yang kaku terasa dirangkum dalam kelembutan yang hangat.

"Sayang..."

Sepasang mata dengan warna paling menakjubkan yang pernah dilihatnya, langsung memenuhi pandangan matanya. Seraut wajah dalam kegelapan yang tadi seakan menuntunnya, sekarang terpampang jelas di lapisan kornea matanya.

Wajah yang diliputi perasaan lega luar biasa yang tergambar sangat jelas. Wajah tampan Bagas. Wajah tampan sang kekasih.

"Sayang..." Bagas menunduk di atas wajahnya. Menempelkan bibirnya di dahi Mahenz. Lama sekali. "Akhirnya kamu sadar juga."

"Ba...gas."

Dia mencoba memanggil, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dia bahkan tak bisa menggerakkan bibirnya. Karena bibirnya seakan direkat oleh lem yang kuat. Tenggorokannya yang kering terasa mencekiknya. Dia merasa haus luar biasa. Dia butuh air minum untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

"Aku akan panggil suster."

Bagas tersenyum lembut padanya. Tangannya terulur menekan tombol alarm untuk memanggil suster.

"Aaa...irrr."

Mahenz mencoba bicara sekali lagi.

Lagi-lagi suaranya tidak bisa keluar. Tenggorokannya semakin sakit. Rasa dahaganya sudah sampai ke dadanya. Bahkan untuk menelan ludah pun dia tidak bisa.

"A...irr."

"Air?" Bagas bertanya halus sekali. "Ya ya. Kamu pasti haus."

Bagas bergerak mengambil gelas berisi air dan sendok. Lalu pelan-pelan disuapkannya air putih di sendok yang dipegangnya ke mulut Mahenz yang terbuka sedikit. Agak susah karena Mahenz belum bisa membuka mulutnya lebih lebar. Hanya sedikit celah yang bisa disuapkan air. Itupun hanya sampai ujung sendok. Dengan telaten Bagas menyuapkan air putih ke mulut kekasihnya itu. Sedikit demi sedikit.

You drive me crazyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang