Januari, 1979
Minggu pagi yang cerah itu lenyap seketika, ketika dari depan rumah terlempar letupan api dan asap, yang beberapa waktu kemudian menghanguskan seluruh rumah. Di halaman depan, amuk masa semakin membara, para lelaki dan perempuan dewasa yang jumlahnya sangat padat –mungkin lima puluhan lebih- berteriak teriak tidak karuan sambil mengacungkan belati, parang, pisau, dan apapun senjata yang mereka punya. Paman Li segera menjunjungku ke mobil dihalaman belakang rumah yang tidak diketahui massa, dan segera meninggalkan rumah yang apinya semakin marah, dengan membawa barang-barang serta dokumen yang masih bisa diselamatkan. Umurku saat itu 5 tahun, tetapi aku masih bisa mengingat segalanya dengan persis. Mobil yang dikendarai paman melaju kencang mengantisipasi ada masa yang mengetahui Paman Li kabur. Pada umurku yang ke 18 tahun aku baru tahu, bahwa saat itu masa yang mengamuk adalah warga kampung sebelah yang marah akibat suplai air mereka tersedot menuju pabrik air mineral milik paman, sehingga mereka kekeringan berbulan-bulan, dan naasnya Paman Li tak mau ganti rugi karena paman merasa bahwa sumber daya air itu adalah milik bersama, siapa cepat, dia yang dapat.
Entah sudah berapa lama paman melajukan mobilnya dan entah menuju kemana arahnya. Sepertinya menuju desa di selatan Ibukota, tempat rumah paman terbakar. Aku tak tahu persis kemana tujuannya karena memang setahuku paman tak punya kenalan di sini. Jalannya berkelok-kelok, kanan kirinya jurang yang curam, tapi sepertinya hati paman yang sedang berkecamuk bingung takkaruan, ia tetap melaju dengan kencang. Sial, pada sekitar belokan ke empat,ada truk besar yang juga sama sama melintas, mobil paman terperosok ke sana, lantas, semuanya menjadi gelap, aku tak ingat.
**
Februari, 1983
Aku termenung duduk di depan teras rumahku, sambil sesekali mengayunkan kaki. Inilah aku, gadis desa berumur 7 tahun, dengan rambut terurai. Kata orang-orang wajahku seperti orang kota yang baru pindah ke desa. Kulitku putih, seperti anak tauke cina. Aku tidak memiliki orang tua, orangtuaku meninggal sejak aku kecil karena kapal yang mereka tumpangi tenggelam di lautan pasai. Aku tak pernah tahu bagaimana wajah kedua orangtuaku karena saat itu usiaku baru 3 bulan, dan aku dititipkan kepada nenek, yang merawatku hingga sekarang.
Udara pagi yang menjelang siang ini segar, memang seperti inilah desa yang berada di tengah rimbunan hutan. Aku melihat oma -sebutan nenek untukku- jalan dari kejauhan sambil memopong kayu bakar di punggungnya. Badannya sangat ringkih, tapi jalannya terlihat sangat sehat. Sangat ingin aku membantunya, tetapi ia selalu melarangku dengan keras jika aku melakukan pekerjaan berat terutama membantunya mencari kayu damar hitam, di tengah hutan sana. Dari kayu damar hitam itulah aku dan omaku bisa hidup. Tiap hari oma selalu menyimpannya di belakang rumah, hingga pengepul kayu datang untuk membelinya. Harga kayu itu lumayan mahal, karena fungsinya yang cukup berguna yakni sebagai bahan pembuat parfum yang nantinya terkenal di layar televisi dan digunakan khalayak ramai. Tetapi tak setiap hari damar hitam itu ada jika nenek mencarinya, jika musim kemarau seperti ini, maka jumlahnya akan bertambah dengan bibit-bibitnya. Tetapi jika musim hujan datang, maka banyaklah kemungkinan pohon tersebut ditumbuhi lumut dan tidak dapat menghasilkan nira sehingga tidak ada pengepul yang mau membelinya.
" hasilnya lumayan banyak, Ani. Kayu kayunya juga kering, sangat bagus untuk pembibitan baru di sekitarnya, 2 bulan lagi jika tidak hujan, kita bisa memanennya kembali. "
ucap omaku dengan peluh di wajah dan lehernya sambil menunjukkn kepuasan. Aku mengangguk dan segera membantunya untuk membawa kayu kayu itu ke belakang. Setelah itu nenek mandi, dan segera menyalakan api di tungku, dan aku sudah tahu bahwa oma akan memasak makanan untuk makan siang ini. Lagi-lagi aku hanya disuruh duduk manis dan melihatinnya kesana kemari memasak makanan kesukaanku, sayur asam sambal ikan teri. Raga nenek terlihat tua, tapi jiwanya berkata tidak. Ia masih bisa melakukan apapun, bahkan pada suatu ketika ia mampu mengangkat 50 kg sekaligus nira dari damar hitam. Ia pun juga amat menyayangiku, karena hanya aku lah yang dimilikinnya saat ini, juga sebaliknya. Beberapa menit berlalu, masakan lezat nenek sudah terhidang di mangkuk plastik di atas meja bambu. Aromanya sangat membuat perutku lapar. Aku segera mengambil dua piring dan menjamah nasi untukku dan oma, dan aku segera siap memakannya. Aku menyendoh kuahnya dan kusiramkan ke nasi hangat ke piringku, namun semuanya berubah. Oma terbatuk parah setelah itu, aku sangat panik, beberapa detik kemudian batuk oma mengeluarkan darah, aku semakin panik. Aku segera berlari keluar untuk mencari bantuan, aku berlari menuju rumah Pak Kades.Pak Kades adalah pemimpin di desaku, ia orang yang sangat peduli dengan tetangganya, sosoknya selalu menjadi panutan bagi warga sekitar. Ia dan keluarganya amat dihormati di desaku. Seluruhnya berpendidikan, istrinya telah menjadi dokter kampung selama bertahun-tahun, sedangkan pak kades sendiri sebenarnya adalah TNI-AD yang ditempatkan di desa ini. Umurnya masih muda sekitar 30 tahunan, ia memiliki seorang anak lelaki, yang kuketahui namanya Badai, Badai Bahtiar. Ia berada 3 tahun di atasku, yang artinya umur dia sekarang 10 tahun. Wajah dan sifatnya mirip pak kades, tidak sombong dan selalu ramah kepada tetangganya.
Saat aku sampai di rumah pak kades, ia dan istrinya segera pergi ke rumahku dengan membawa peralatan medis yang biasanya bu kades bawa. Setelah sampai, bu kades langsung memeriksa omaku, dan memberikan suntikan. Tetapi hasilnya nihil, oma tidak tertolong, diduga karena asma oma -yang aku baru mengetahuinya- kambuh saat terkena asap dari tungku saat sedang memasakkanku sayur asam sambal ikan teri. Aku langsung tertunduk dan air mataku keluar, aku sesenggukan tanpa suara. Dalam hidupku, kali ini aku benar-benar sangat menyesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai.
Teen FictionUntuk Badai, terimakasih telah memberiku kesempatan mengenalmu. Karenamu, aku tahu apa arti sesungguhnya dari sebuah perjuangan, walau itu.