Bagian 2

39 3 2
                                    

Di menit-menit berikutnya, aku masih larut dalam tangisanku. Para tetangga berdatangan untuk mengurus  kematian omaku. Ibu-ibu yang lain membawaku ke rumah tetangga sebelah untuk menenangkanku, juga kata mereka agar aku tidak sawanen atau tidak mengalami trauma sehingga gampang dimasuki oleh roh roh yang tidak diinginkan. Wajah oma masih terbayang-bayang di benakku, tentang semuanya. Saat ia berjalan dengan senyumnya yang teduh selepas mencari damar hitam, juga dikalau ia mondar mandir di dapur memasakkanku sayur asam. Kala itu umurku 7 tahun, dan aku sudah kehilangan keluarga terakhir yang aku miliki. Aku kesakitan untuk yang kedua kalinya setelah aku kehilangan orang tuaku.


**


Beberapa hari setelah oma dimakamkan, aku tinggal di rumah ditemani bu kades dan dua ibu lainnya untuk menemaniku. Di pagi harinya banyak orang orang dirumahku untuk menyiapkan hajatan sepeninggal omaku. Tetapi bu kades dan ibu yang lain tidak mungkin tinggal bersamaku selamanya, mereka juga memiliki keluarga, hingga suatu malam ketika bu kades, pak kades, kedua ibu itu dan suaminya berkumpul untuk membahas tempat tinggalku selanjutnya. Rumah yang kutinggali saat ini sekarang sudah jatuh ditanganku karena hanya akulah satu-satunya sanak keluarga yang dimiliki oma. Pak kades dan kedua bapak lainnya merundingkan di ruang depan, sedangkan aku di belakang bermain-main bersama Badai, berusaha untuk melupakan kematian oma. Badai, kala itu yang berumur 10 tahun, telah menjadi seseorang yang berarti dalam hidupku sepeninggal oma. Ia berusaha menghiburku dengan apa saja yang bisa dilakukannya. Badai juga yang menemaniku berhari-hari sepeninggal oma. Ia lucu, pintar, dan yang terpenting ia tak menganggap aku sebagai orang lain dalam hidupnya. Ia sudah menganggapku sebagai adiknya sendiri.

Setelah beberapa waktu, akhirnya aku dipanggil ke ruang tamu, diberi penjelasan yang se sederhana mungkin untuk dipahami anak kecil seusiaku. Aku akan tinggal di rumah Pak Rebo, bersama dengan istrinya -atau yang biasa kupanggil bude- yang umurnya sekitar 65 tahun. Mereka berdua tidak memiliki anak, dan  mereka adalah tetangga baik yang kukenal, mereka juga dekat dengan omaku karena Pak Rebo adalah salah satu pengepul damar hitam yang sering membeli hasil pencarian omaku. Sedangkan rumahku yang sekarang, akan direnovasi oleh warga untuk digunakan sebagai Puskesmas daerah, yang nantinya berguna untuk masyarakat. Aku mengangguk setuju.


**


Di hari-hari pertama, aku masih menyesuaikan diri di tengah keluarga Pak Rebo. Pak Rebo dan istrinya merawatku dengan baik, aku diberi makan dengan lauk yang lebih dari cukup. Aku diberi kamar sendiri yang luas. Di hari hari pertama itu juga aku sering diajak Pak Rebo untuk berjalan-jalan keluar rumah, agar aku melupakan kematian oma. Di pagi hari, setelah mandi pagi aku membantu bude untuk memasak sarapan di dapur, setelah itu, aku, Pak Rebo, dan bude makan bersama di ruang tengah. Sederhana saja, dengan menggelar tikar bambu dan sebakul nasi serta lauk pauk -yang sayurnya dipetik di halaman belakang rumah- dengan santai sambil menikmati cerahnya pagi. Setelah Pak Rebo berangkat, aku di bebaskan bude untuk melakukan apapun, selama itu tidak berbahaya. Biasanya aku hanya mengurung diri di rumah setelah sarapan, atau juga lebih sering membantu bude untuk bercocok tanam di belakang rumah. Rumah Pak Rebo tergolong rumah yang luas di kampung ini. Terdiri dari halaman depan, teras, ruang tamu, empat buah kamar, 2 kamar mandi, sebuah gudang yang ukurannya cukup luas, serta sebuah kebun kecil di belakang rumah yang digunakan bude untuk bercocok tanam. Di sana ada berbagai macam tanaman sayur, seperti sawi, kangkung, kentang, dan yang paling banyak ialah kol. Tidak setiap panen akan ditanami sayur-sayuran pengganti yang sama, setiap bulan akan berbeda jenisnya, karena tanaman tanaman itu nantinya yang akan digunakan memasak oleh bude untuk makanan sehari hari. Awalnya, aku hanya melihat saja bude menyiran tanaman, menggunting daun, atau mengambili hama hama di sekeliling tanaman tersebut. Tetapi lama lama aku penasaran dan akhirnya hingga tiga bulan aku tinggal di rumah bude, aku sudah bisa menghasilkan tanaman panen, paling tidak 1 sak sawi setiap dua minggunya. Hebat bukan?

Di sore harinya aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Badai, bermain main di pematang sawah, mandi di sungai, atau sesekali bermain di rumahnya, membaca-baca buku yang ia miliki. Badai adalah seseorang yang sangat menyukai buku, buku apapun ia sangat suka membacanya. Mulai dari buku cerpen, majalah, kamus, otomotif, atau bahkan buku panduan merawat ayam dengan baik ia suka membacanya -walau ia tak punya ayam. Di rumahnya ia memiliki sebuah rak buku besar yang berada di ruang tengah, ada banyak sekali bermacam-macam buku yang ditata dengan rapi. Karena aku belum sekolah sebelumnya, aku dipinjami buku dengan sampul hijau pupus, tipis, dengan terpampang huruf besar besar di sampulnya. A-B-C-D. Buku itulah yang nantinya membawaku menjadi orang sukses. Aku di ajari membaca oleh Badai, atau sesekali bu kades jika beliau sedang tidak bekerja. Lama lama dilatih, aku semakin lancar membaca, bukan hanya buku A-B-C-D, tetapi sudah mulai membaca buku buku novel yang tebalnya hingga 500 halaman. Aku juga sangat suka jika Badai mulai membacakan dongen-dongen cerita yang lucu, atau bahkan sedih disela-sela bermain dan membaca buku. Itu sangat menyenangkan. Kala itu umurku 7 tahun lebih enam bulan, aku sudah melupakan kematian oma, dan sekarang bersiap untuk memulai kehidupanku yang baru, menatap masa depan, yang cerah.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 01, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Badai.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang