Sehari setelah mengambil foto Spancer secara diam-diam, kali ini aku kembali menunggunya sambil membaca buku soneta milik William Shakespeare.
Sedikit melelahkan berdiri dan membaca di waktu yang bersamaan karena mendadak memutuskan untuk tidak duduk di tempat favoritku dan memilih berada di sini-tempat pertama kali aku memotret Spencer.
Pengecut, well, untuk sekarang aku akan membiarkan kalian mengatai diriku seperti itu karena memang beginilah kenyataannya. Tertarik, tetapi tidak yakin dan tidak percaya diri untuk sekadar menegurnya.
Andai saja aku seperti Lea, bisa kubayangkan sekarang aku sudah berbincang dengannya dan tidak melakukan hal ini. Namun, keadaan tidak bersahabat-hanya sebagian kecil yang mengenal Emma-dan mereka memandang dengan sebelah mata.
Beberapa menit menunggu, tetapi hingga saat ini sosok Spencer belum terlihat.
Kau benar-benar seperti seorang penguntit, Emma. Lagi-lagi, akal sehat kembali bersuara dan tidak pernah lelah untuk mengatakan kalimat tersebut kepadaku.
Finally, sebuah senyuman terukir jelas di wajahku.
Embusan napas lega terdengar saat melihat kedatangan Spencer dan lelaki itu duduk di tempat yang sama seperti kemarin. Dia tidak sendirian. Aku tidak tahu siapa yang sedang bersamanya, tetapi kusimpulkan bahwa mereka adalah teman-teman Spencer.
Aku harap salah satu gadis cantik itu adalah temannya.
Kembali kuarahkan kamera untuk mengambil foto Spencer, setelah sebelumnya meletakkan buku yang aku baca di rak. Semoga mom and dad tidak merasa dipermalukan dengan tindakan anaknya saat ini yang sudah seperti seorang penguntit.
Entahlah sudah berapa banyak foto yang telah kuambil hari ini. Jujur saja, aku tidak peduli dan kau bisa melihatnya bahwa aku sangat menikmatinya, Spencer memang sungguh mengagumkan seperti untaian puisi klasik milik William Shakespeare dan ia sangat berbeda denganku.
Sejenis. Namun, sangat jauh dan tidak terjangkau.
Kalimat itulah yang sepertinya tepat untuk menggambarkan sosok kami berdua.
Setelah mengambil beberapa foto Spancer, aku memutuskan untuk memerhatikannya-mempelajari dia dari jarak jauh.
Spencer sungguh luar biasa. Sayup-sayup terdengar ia sedang berdiskusi mengenai analisis dari beberapa puisi milik William Blake-salah satu penulis sastra klasik terkenal di Inggris.
I told my heart, I told my heart
I told her all my heart, batinku mengikuti salah satu kutipan puisi dari William Blake yang sedang dibaca Spencer."Love's Secret, i love that poem," bisikku.
Wajahku memerah, membayangkan seolah-olah Spencer sedang membacakan puisi tersebut untukku. Ahh... kau sudah terlalu banyak bermimpi dan berharap tentangnya, Emma. Namun, begitulah... semua ini hadir secara tiba-tiba.
Pertemuan yang tidak disengaja kemarin akhirnya telah membuatku memiliki alasan lain untuk pergi ke perpustakaan. Sebuah senyuman tak henti-hentinya mengembang di wajahku dan hari ini dia telah memiliki pengagum rahasia.
"Yeah, Emma si nerd mengagumi Spencer yang kata Lea adalah seorang nerd, but cute," bisikku.
Cara Spencer berbicara dan berdiskusi terlihat begitu berkarisma setiap kali aku memerhatikannya. Yeah... ia memiliki karisma yang langka bagi anak-anak nerd pada umumnya.
Spencer mampu berbaur dan memegang kendali diskusi, serta membuat orang-orang di sekelilingnya bisa mendengarkan opini kemudian saling bertukar pikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Take Your Picture On My Camera [END]
Kurzgeschichten"Yang terakhir adalah gambar terbaik. Jika kau menginginkannya aku akan memberikanmu kesempatan." Entah bagaimana perkataan Spencer begitu memenuhi pikiranku. Seharusnya ia melaporkan tindakanku kepada polisi karena yang aku lakukan adalah salah s...