Hening. Sekali lagi, kuberanikan diri untuk menoleh ke belakang dan melihat Lea yang berdiri tidak jauh dari perpustakaan—menyemangatiku. Yeah, berkat tingkah Lea yang menjebakku kemarin akhirnya Spencer mengetahui semuanya. Sekarang, setelah tahu bahwa Spencer ingin bertemu denganku di Perpustakaan, dia malah terlihat begitu bersemangat.
Aku lebih menikmati saat-saat mengamati Spencer dari jauh.
Spencer masih berdiri di depan rak buku. Terkadang aku berpikir, berapa banyak buku yang dia baca selama seminggu karena setelah beberapa hari mengikuti dan memerhatikan, ia selalu membawa beberapa buku di tangannya.
I'm sure he's so genius. Itulah mengapa Mr. Hubert mengangkatnya sebagai asisten.
Berdiri di belakang Spencer dengan jarak yang cukup jauh membuatku semakin merasa gugup. Perasaan takut karena hal kemarin, kini lenyap karena nervous. Sebentar lagi, saat ia menoleh ke belakang dan melihatku, maka dia akan menyuruhku untuk duduk di satu meja. Bersamanya-Lea setuju bahwa hal ini adalah kencan, tetapi tidak juga bagiku.
Semua ini karena ulah Lea! Seharusnya Lea menyelamatkanku dengan tetap diam dan tidak memberitahu apa pun pada Spencer.
Tangan kanan yang memegang kamera, terasa begitu gatal dan terus menggoda untuk kembali mengambil foto Spencer. Kau tahu, hari ini dia terlihat berbeda, meskipun aku sendiri belum mengetahui perbedaan apa yang terdapat padanya. Dia terlihat tidak kalah keren dari anak-anak populer lainnya-kuberitahu bahwa Spencer ternyata bukanlah anak populer di Oxford. Namun, sungguh, berulang kali akan kukatan bahwa Spencer Redd sangat luar biasa.
Jangan bertanya darimana aku mengetahui nama lengkap Spencer karena kau tahu, bagaimana kemampuan seseorang yang sedang jatuh cinta dalam mencari informasi incarannya. Tindakan ini telihat seperti seorang detektif, bukan?
Tersenyum sambil mengendikan bahu, merasa bangga dengan skill detektif yang aku miliki. Tidak sadar bahwa ternyata Spencer sudah berdiri di depanku. Tubuhnya yang tinggi membuatku harus mundur selangkah agar bisa melihat Spencer dengan jelas—meskipun sejujurnya tidak berani melihat secara langsung.
"Baguslah. Kau datang. Sekarang ikuti aku," ucapnya dingin-mungkin hanya perasaanku saja karena sepintas ada senyuman di wajahnya. Sangat sepintas seperti hanya dalam hitungan detik.
Kalian tahu, keinginan berteriak dan berlari mengelilingi kampus terasa memenuhi perasaan saat mencuri pandang melihat wajah Spencer. Tuhan memang selalu mendengarkan harapan hamba-Nya. Please, jangan berpikir tingkahku seperti anak remaja SMA, tetapi izinkan aku memberitahu kalian tentang sesuatu.
Cerdas! Kalian selalu bisa menebak apa yang kupikirkan. Hari ini, keberuntungan berada dipihakku karena bisa melihat Spencer tidak menggunakan kacamata. He's so amazing.
I love his brown eyes. His eyes looks like autumn. Too warm.
"Duduklah." Spencer mempersilakan diriku untuk duduk di hadapannya. Kali ini aku mengalami masalah pernapasan karena jantung kembali tidak bisa diajak bersahabat.
Dengan tangan yang bergetar kuletakkan kamera di atas meja-melakukan hal tersebut untuk mengurangi keinginan mengambil fotonya lagi.
Spencer mengambil kacamata di dalam tas ransel dan mengenakannya. Raut kekecewaan mungkin terlihat jelas di wajahku karena Spencer sempat berhenti beberapa detik dan melirik ke arahku.
Menunggu Spencer membuka mulut dan memulai pembicaraan. Namun, ia malah mengabaikanku dan mengambil buku lalu membuka bagian tengah buku. Sepertinya dia sudah hapal halaman berapa yang ingin dibacanya. Aku hanya bisa mengigit bibir tidak tahu harus berbuat apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Take Your Picture On My Camera [END]
Short Story"Yang terakhir adalah gambar terbaik. Jika kau menginginkannya aku akan memberikanmu kesempatan." Entah bagaimana perkataan Spencer begitu memenuhi pikiranku. Seharusnya ia melaporkan tindakanku kepada polisi karena yang aku lakukan adalah salah s...