By: GraceLyn
"Ah Syang! Tak sèmbahyang kau?" Hegar menepuk bahu Ah Siang dan bertanya dengan logat bataknya yang kental.
"Tidak, aku sembahyang hanya pagi dan sore." Ah Syang menjawab dengan tak acuh sambil menjahit bajunya yang robek saat belanda menyerang tadi pagi.
"Kau tidak membakar dupa juga?" Beni bertanya dengan tertawa.
"Tertawa saja, kami tidak sembarangan membakar dupa. Lagipula, aku sudah tidak memiliki dupa." Ujar Ah Syang Masih dengan tak acuh.
"Hei Gar, dimana Dasep? Bukankah dia seharusnya berjaga malam ini?" Tanya Beni pelan. Hegar menunjuk ke arah sebuah gubuk di depan markas mereka.
"Dia sèmbahyang disana."
"Dia khusyuk sekali ya. Lima kali sehari dia sembahyang. Bahkan disaat genting. Tapi kenapa dia tidak sembahyang disini seperti biasa?" Beni memandang kedua temannya yang lain.
"Kau memasang salib di tempat dia biasa melakukannya. Mungkin itu sebabnya dia pindah." Ah Syang berhenti menjahit dan tersenyum jahil pada Beni.
Tak lama, Dasep keluar dari gubuk seraya menyandang kain bersih di bahunya."Dimana yang lain?" Tanya Dasep saat tiba di tempat mereka.
"Mèrèka sèdang patroli di èmpat titik. Sekarang giliran kau yang bèrjaga malam di mènara." Hegar memberikan sebuah teropong rampasan mereka dari tentara belanda. Dasep mengambilnya, lalu masuk dan bersiap.
"Hèran aku. Dia tènang sèkali. Padahal bèrjaga malam itu tugas yang bèrat." Hegar menggaruk janggutnya yang berantakan. Beni dan Ah Syang tertawa.
"Itu karena kau tukang tidur!" Seru Beni. Dan mereka pun tertawa lagi.
"Kalian sedang ngobrol apa?" Dasep keluar dengan pakaian lengkap, siap bertugas.
"Mèmbicarakan kau!" Hegar menunjuk dasep sambil tersenyum. Yang lain tertawa. Lalu tiba - tiba Ah Syang bertanya serius.
"Hei, apa kalian tidak pernah berpikir, bahwa disini. Di desa ini. Hanya kita berlima yang bertahan?" Beni, Dasep dan Hegar menatapnya dengan tegang. Suasana menjadi hening. Suara jangkrik terdengar keras, seolah mengisi ketegangan diantara mereka. Para penduduk sudah tidak ada yang berkeliaran, mereka takut jika ada serangan mendadak yang datang. Keempat orang itu memandang kosong udara.
"Berempat. Jajang sudah gugur. Untung saja pasukan kapten Irpan datang. Jika tidak, mungkin kita sudah mati saat ini." Ucapan Dasep memecah keheningan dan membuyarkan pikiran mereka.
"Kau bènar. Mungkin Tuhan masih sayang dèngan kita!" Hegar mengepalkan tangannya dengan semangat. Ah Syang dan Beni mengangguk.
"Berbicara tentang Tuhan... Kadang aku bertanya," Ucap Ah Syang pelan. "Jika Tuhan hanya ada satu. Mengapa harus banyak agama? Islam, kristen, budha, hindu... Bukankah itu aneh?" Beni dan Hegar saling memandang. Lalu dengan tenang, Dasep berkata,
"Manusia itu berbeda - beda. Karena itu, manusia mencari Tuhan dengan cara yang berbeda. Bukankah perbedaan itu hal yang baik dalam menambah pengalaman hidup? Dan kita harus menghargai dan menghormati perbedaan itu demi terciptanya kerukunan, seperti kita saat ini. Kita berbeda, namun kita mampu bersanding dan menghormati satu sama lain. Tak peduli agamamu, tak peduli sukumu. Kita tetap berjuang bersama. Benar kan?" Ketiga temannya mengangguk.
"Hei, Dasep. Aku minta maaf karena memasang salibku di tempat biasa kau sembahyang." Ujar Beni merasa bersalah. Dasep tertawa, dan sambil menepuk bahu Beni, ia berkata,
"Sudahlah. Tak apa. Aku bisa shalat dimana saja. Hei, aku pergi dulu ya! Aku...." Belum sempat menyelesaikan apa yang ingin dikatakannya, suara tembakan terdengar dari kejauhan
TAR! TAR! TAR!
Mereka berempat terkejut dan bergegas mengambil senjata. Sambil melangkah mereka berdoa. Dasep berlari terlebih dahulu.
"Bismillahirrahmaanirrahiim..." Ucapnya dalam hati. Beni dan Hegar menyusul dengan berlari dan berkata bersamaan,"Semoga Tuhan memberkati!"
Ah Syang yang terakhir pergi. Ia membungkuk ke arah Xiao Lo yang dibuatnya beberapa hari lalu yang disimpannya di depan markas mereka. Dan ia pun berlari menyusul para pejuang yang lain yang mulai berperang. Dengan semangat baja, keempat orang itu terjun ke dalam pertempuran, diikat denga semangat Bhineka Tunggal Ika, mereka menyingkirkan perbedaan, dan berjuang dengan apa yang mereka cita - citakan, yaitu Kemerdekaan.
Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Challenge Agama
De TodoSebuah karya yang ditulis berdasarkan tema Unity in Religion.