KASUS 1
Siang itu Sabrina baru saja mencuci mukanya. Gerah mulai berkurang, dan sensasi segar kini dirasakannya. Setelah puas memandangi pantulan wajahnya di cermin panjang itu, Sabrina pun memutuskan untuk keluar dari toilet khusus untuk cewek tersebut.
Seperti biasa, Sabrina berjalan santai menuju ruang kelasnya tanpa memerhatikan keadaan sekitar, tanpa memerhatikan seorang cowok kelas XII yang tengah melancarkan aksinya.
"Eits, mau ke mana lo?" potong Ruben, siswa kelas XII yang tengah bersandar di tembok luar toilet cewek. Tangan kirinya mencekal sebelah tangan Sabrina, menunda kepergiannya.
"Apaan sih?" tanya Sabrina tak mengerti.
"Lo belum tau, kalo ini toilet daerah teritori gue?"
"So?" Sabrina mengangkat kedua alisnya, bertanya dengan tampang tak berdosanya.
"So... tiap kali lo keluar masuk toilet ini, lo kudu bayar ke gue!" Ruben menjelaskan dengan sikap sok berkuasanya.
"Ooooh," ujar Sabrina enteng. "Udah kayak tukang jaga wc umum, tau nggak sih lo? Nih!" lanjut Sabrina berbarengan dengan diserahkannya selembar uang bergambar Pattimura pada sang kakak kelas itu.
"Apaan nih? Ngajak bercanda lo?" protes Ruben begitu menerima uang itu dari Sabrina.
"Emang gue musti bayar berapa?"
"Dua puluh ribu! Tapi itu minimal ya, lo kasih gue lima puluh juga gue terima," jawabnya.
"Dua puluh ribu?" ulang Sabrina kaget. Niatnya, Sabrina akan nyerocos mengomeli ini cowok satu. Mengemukakan segala macam bentuk keberatannya, namun ia sadar hal itu takkan bisa meloloskannya dari situasi ini. Jadi akhirnya Sabrina memutuskan untuk mengambil tindakan lain.
"Aku... aku nggak bawa duit sebanyak itu, Kak..." dusta Sabrina seraya menundukkan kepala.
"Hallah, nggak percaya gue! Buruan deh, gue lagi males nih berurusan sama cewek!"
"Aku serius, Kak! Kakak nggak tau kan, siapa aku? Aku tuh nggak sama kayak cewek-cewek lain, yang kalo butuh duit tinggal minta ke bokap-nyokapnya! Yang kalo ke sekolah bisa dapet uang jajan sampe ratusan ribu rupiah..." Sabrina melancarkan sandiwaranya perlahan-lahan. Kepalanya masih tertunduk, sementara bahunya mulai berguncang, berpura-pura menangis sesenggukan.
"Eh, lo ngapain jadi nangis ke gue, ya itu mah derita lo kali!" seru Ruben, kebingungan.
Sabrina mengganti isak tangisnya dengan tangisan heboh. Tangisan yang dapat mencuri perhatian siapa pun yang lewat di depan mereka.
"Tapi kan aku nangis gini, gara-gara Kakak! Kakak sih... ngingetin aku..." Ditariknya dasi Ruben, lalu pura-pura digunakan untuk menghapus air matanya. "Aku... aku kan jadi sedih..."
"Eh, lo bisa diem nggak? Kita diperhatiin banyak orang tuh!" bisik Ruben. Bisikan yang sarat akan emosi, berharap Sabrina segera menghentikan tangisnya.
Sabrina yang baru sadar bahwa siswa-siswa mulai mengerumuni mereka, kontan menemukan celahnya untuk menyelamatkan diri dari situasi ini. Perlahan, dihapusnya air mata yang sebenarya tidak ada itu secara dramatis, lalu dilontarkannya tatapan penuh amarah ke wajah cowok yang berdiri di hadapannya.
"Udah deh... aku tuh capek! Kamu tuh bisanya cuma bohongin aku, nyakitin aku terus tiap hari. Kamu emang nggak bisa beneran nyayangin aku! Kalo gini terus, mending kita putus aja deh!" omel Sabrina, lalu berlari secepat kilat meninggalkan Ruben dan beberapa siswa yang masih mengerumuninya.
Dalam larinya Sabrina tersenyum penuh kemenangan, sementara Ruben yang hanya mendapatkan uang seribu perak dari Sabrina hanya terdiam kebingungan. Ia tak habis pikir dengan apa yang baru saja menimpanya. Untuk pertama kalinya, ia terlena dan ditipu mentah-mentah oleh adik kelasnya. Cewek pula!
Kedua tangan Ruben mengepal geram, lalu ditelanjanginya semua siswa yang mengerumuninya dengan tatapan kebencian. "Apa lo liat-liat? BUBAR LO SEMUA!!!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Seniority [Completed]
Teen FictionIni tentang masa SMA. Masa SMA yang hanyalah fiktif belaka, di mana penindasan merajalela... Di mana harga diri direndahkan, ternoda dan terinjak-injak... Di mana patuh pada senior merupakan kunci utama untuk dapat bertahan dari segala macam ancaman...