Tuanku berbilang.

92 12 2
                                    

Katanya, bulan ke-17 ini kita akan tetap bergenggaman, dibawah senja yang beradu menyambut bulan datang. Tapi, saat ini saat 18 akan datang aku benar-benar menginginkan matahari bukan lagi bulan.  Tenanglah, ini keliruku karena terlalu mempercayai Katanya hatimu.  Aku hanya ingin menitipkan salamku pada matahari yang mulai tenggelam bahwa besok aku akan kembali dengan jingga dikilauan cahaya pagi yang memaksa memasuki celah sempit jendela kamarmu.  Tunggulah, ini takkan lama!

Sore ini, aku pulang untuk pertama kalinya beradu langkah denganmu.  Aku selalu mencuri pandang, tatapanmu membuatku tersipu malu.  Arrrrghh tidak aku mulai menyukaimu! 3 tahun bareng-bareng menjalin persahabatan haruskah berakhir dengan jatuh cinta? Wajarkah? Enggak aku harus segera menghilangkan semua rasa ini.  

"Harus ya natap gue kaya gitu?"

"Hah?Ohh anu itu."

"Apa?Gue ganteng?Dari dulu kali."

"Apaan sih loe kePDan banget."

"Biarin. Wlee."

Dia berlari menjauhiku.  Mataku terus menatap punggungnya yang semakin menjauh dan hilang dari tatapanku.  Tiba-tiba...........

"Woyyyyyy!" Dia muncul di hadapanku.

"Astaga, loe nyebelin banget sih?"

"Kagetnya kaya yang udah lihat mantan. Hahahhh"

"Hahahahh, Udah ahh nggak lucu, sana masuk!"

"Iya gue masuk, tapi loe harus janji aktifin bbm buat ngerjain tugas gue!"

"Hmmmm, nggak ah. Emang loe siapa gue berani nyuruh-nyuruh." Gue lari dari hadapannya dan dia berteriak. "Gue sahabat loe. Balik sini nggak hah!" Gue berbalik seraya berkata "Kejar aja kalau bisa, Wlee."

"Hussssshhh.  Wooyy hati-hati." Teriaknya.

Gue hanya mengacungkan jempol untuk menjawabnya.

Paginya, gedung sekolah nampak bisu, semuanya tampak tua ditandai dengan retakan-retakan bekas guncangan bumi. Kokohnya gedung ini hanya memanipulasi saja. Aku memindahkan lirikan bola mataku pada jam ditanganku, rupanya aku terlalu dini datang ke sekolah.

30 menit berlalu. Dia mulai terlihat dengan parasnya yang kata para cewek di sekolah itu ganteng, cool, keren. Tapi, menurut gue dia tuh ngak banget. Hahahahhh biasa sih sahabat selalu mikir kaya gitu, ada saja ocehan untuk menjelek-jelekan sahabatnya.

"Heh, ngelamunin apa loe sampe lalat aja mau masuk mulut tuh."

"Ngelamunin loe!"

"Gue? Hahhahahh."

"Gue cuma aneh aja kenapa para cewek di sekolah ini tergila-gila sama loe padahal kan loe cowok sedikit miring, ganteng pun jauh dari iya. Aneh ngak sih?"

"Karena mereka tuh suka yang gini." Sambil menunjukkan jambulnya.

"Ahhhh loe ya." Gue pergi dengan sedikit memberikan acakan pada jambul kesayangannya.

"Kemana loe? gue masih punya paras yang lain."

"Bodo amat, ngak penting."

Sekitar pukul 10.00 semua siswa memenuhi kantin hanya untuk memberi makan perut yang sudah lama bernyanyi karena pelajaran-pelajaran yang membuat otak mereka semua kenyang.

"Loe kaya manusia juga ya suka jajan."

"Emang selama ini gue apa? Hah?"

"Mmmmm, ngak kok ngak."

Kevin pergi sambil tertawa. 

"Dia ngak jelas banget ya." Ungkap gue.

"Key, itu lihat deh." Telunjuknya menunjukkan makanan yang ada pada meja kantin.

"Apaan sih Rin? Ya Ampun." Seraya gue kaget ternyata makanannya hilang dari meja.  Mata gue tajam mengecil melihat Kevin yang sedang melambaikan tangan ke gue.

"Keeeevvvvvvinn balikin ngak?" Semua orang di kantin tertuju ke gue yang mengeluarkan suara yang seakan akan menyebabkan suasana kantin terguncang hebat.

Itulah Kevin dengan kebiasaannya melakukan hal seenaknya untuk kebahagiaan hidupnya.  Tapi, tak mengapa. Aku beruntung memiliki dia yang telah aku akui sebagai sahabat. Selama dia bahagia, aku pun akan bahagia.  Aku hanya ingin ada dalam alasan Kevin bahagia.  Tanpa tersadar itulah kesalahan pertama yang membuat aku dan dia menjadi orang yang benar-benar asing.

Perhatian yang Kevin berikan merupakan peluru yang tepat menembus hatiku, waktu-waktu yang Kevin selalu sisihkan untuk mengusap air mataku pun merupakan kenyamanan yang salah.  Perlakuan yang Kevin berikan sebagai seorang sahabat disalah pahamkan hatiku untuk menuntut lebih.  Aku lupa diri! Aku lupa ceritamu bukanlah milikku, walaupun aku berperan. Namun, aku hanyalah sebagai pemeran figuran.  

6 bulan aku menyimpan rasa kagum, suka bahkan sayang kepada orang yang tak seharusnya mendapatkan itu.  Aku menggandeng seseorang bahkan aku mempersilahkan orang lain untuk masuk dalam pintu hatiku. Namun, sayang mereka semua hanya mengisi kekosongan, hatiku tak ingin ada tokoh utama.  Hatiku egois karena selalu menginginkanmu.

Sore itu, saat matahari bergantian dengan bulan untuk dikelilingi oleh bumi.  Aku hanya mampu memeluk lutut dengan gemetar disebuah rumah kosong dekat pameran karya sastra.  Ray sudah berjanji untuk menemaniku datang ke pameran kesukaanku ini.  Tapi, hampir 3 jam Ray belum kelihatan menampakkan diri.  Angin berhembus kencang membuat tiket masuk pameran terbang sangat jauh, tiket itu tepat berhenti di depan mobil Ray.  Mataku samar melihat kaca mobilnya yang agak gelap, tapi mataku tak buta.  Aku melihat semuanya, bahwa Ray sedang bercumbu dengan perempuan yang sedang bersamanya.  Aku terlalu lemah untuk menerima kenyataan bahwa Ray telah menduakanku.  Lariku bersamaan dengan tangisku membuat Ray mengejar.  Tanganku dicengkram erat olehnya hingga tertinggal merah di pergelangan tanganku.

"Sakit!" Ungkapku.

"Kalau loe bisa diajak baik-baik, gue ngak akan narik tangan loe!"

"Loe? Gue?"

"Sorry, mungkin ini waktu yang tepat buat ngomongin ini, Key Gue ngak bisa bohongin hati gue buat selalu nyayangin loe, buat nurutin semua keinginan loe, gue capek bareng loe terus."

"Terus? Harus loe lakuin ini?"

"Kalau loe mau tahu alasan gue ngak dari dulu mutusin loe itu karena gue butuh loe untuk mamerin ke temen-temen gue bahwa gue bisa dapetin cewek yang pintar."

"Hah? Jadi......"

"Menurut loe semua ini gue lakuin dengan tulus? Gue ngak bisa bareng sama cewek yang selalu mikirin kariernya. Nulis karyalah, itu alasan yang gue ngak mau dengar kalau loe udah gue ajak main!"

"Tapi kan itu udah malam. Aku....."

"Stttttt, loe itu cantik, tapi..."

"Plaaaaaaaaak." Aku menamparnya dengan sisa tenaga "Gue bukan cewek yang bisa seenaknya loe sentuh, gue bukan cewek yang bisa dijadiin barang taruhan. Dan asal loe tahu, loe ngak lebih dari seorang pengecut. Dan yang penting yang harus banget loe tahu, gue bukan cewek murahan yang selalu nerima nafsu loe. Gue punya harga diri!" Aku meninggalkannya dengan cepat. Namun, tiba-tiba Ray berkata.

"Key, gue kasihan sama loe! Dasar cewek murah."

Langkahku terhenti dan kembali kehadapannya.

"Dan gue sangat kasihan sama nyokap loe, yang udah naruhin nyawanya buat ngelahirin anak pengecut kaya loe." Setengah sadarku telah mengucapkan ini bahkan menunjuk wajahnya.

Aku lari dari hadapannya.  Handphoneku berdering berkali-kali tertera nama Kevin dilatar handphoneku.  Deringan terakhir aku coba angkat.

"Key, loe dimana?"

"Gue di........." Suaraku terpotong oleh Kevin

"Bentar, suara loe kenapa? loe baik-baik aja kan?"

"Menurut loe?"

"Loe dimana? Gue kesana." 


Senja Ini UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang