Lorong itu sepi. Kelas-kelas kosong. Sepertinya lantai dua telah ditinggalkan penghuninya. Terdengar suara teriakan , suara dentuman sepatu , suara sorak ketika bola basket berhasil masuk ring. Semakin lama semakin keras, seperti memamerkan kebahagiaan pada gadis di lantai dua. Dan di tengah-tengah kebisingan itu terdengar gadis-gadis lain menyorakkan sebuah nama.
Gadis itu duduk di bangku nomor dua dari depan, menatap papan tulis yang berisi tulisan
LONDON, TOMORROW.
Pandangannya kosong, dihiraukan keramaian tadi dan suara yang memanggil sebuah nama.
" Bagaskara Wicaksana, X-7, absen 5 " setetes air mata jatuh.
Dia dapat mengingat jelas semua kenangan itu. Saat dia pertama kali pindah di sekolah ini, ketika dia masuk pertama kali dan memperkenalkan diri dan bertemu dengan matanya. Siswa laki-laki paling tinggi untuk seangkatannya, kulitnya yang sawo matang, senyumannya , tatapannya. Gadis itu terpaksa duduk di bangku depan guru, dimana penghuninya laki-laki semua, yang sering menggodanya dan ribut untuk duduk di bangku kosong sebelahnya. Dia yang risih di tatap oleh teman laki-lakinya, belum lagi anak dari kelas lain yang sering lewat depan kelasnya atau bahkan sengaja mencari ribut di X-7. Waktu itu , Tiba-tiba laki-laki itu datang. Pertengahan semester dua setelah Ulangan Tengah Semester. Laki-laki itu datang dengan senyumnya, dengan tingkah konyolnya, dan jabatan tangan pertama mereka...
"Hai, aku duduk disini ya" sapa laki-laki itu.
Gadis itu diam. Dia menoleh sebentar dan lanjut membaca buku.
Semoga ia tak menggangguku seperti yang lainnya batinnya.
"Namaku Aga, Bagaskara Wicaksana. Kamu Dya kan? " kali ini dia menyodorkan tangannya.
"Alindya Razita. " balas gadis itu malu sambil menjabat tangan yang di sodorkan
"Oh ya, aku sekarang duduk sebangku denganmu ya? Aku bosan duduk sama bocah nakal itu, selalu dimarahin guru. Kemarin aja pas pelajaran Pak Astoka ia malah sibuk main game pakek teriak-teriak lagi. Ujung-ujungnya ada penghapus nyasar di kepala. Lihat baju putihku sampai hitam kena spidol" Pinta laki-laki itu lengkap dengan alasan konyolnya.
Gadis itu tertawa. Untuk pertama kalinya, setelah kepindahannya di kelas ini.
"Boleh ya please, lagi pula apa kamu mau di ganggu terus sama laki-laki di belakangmu. Ingat kamu kaum hawa sendiri di deretan ini, belum lagi anak-anak kelas lain yang sering ribut nggak jelas. ngomong ngawur, alasan meja di kelas ini bagus, papannya lebih bagus, harusnya mereka di kelas ini, alasan kelas mereka kekurangan siswa , harusnya siswa baru di taruh disana atau apalah. Emang mereka pikir sekolah ini milik nenek mereka apa? Sekolah ini milik pemerintah tahu!" lanjut laki-laki itu lengkap dengan mulut yang di monyong-monyongkan .
Gadis itu tertawa lagi.
"Makasih ya. " balas gadis itu singkat dengan tersenyum. Senyum yang meluluhkan hati laki-laki yang duduk disebelah bangkunya.
Mereka pun kembali bercanda ria sampai beberapa teman perempuan menoleh penasaran apa yang mereka tertawakan. Sedangkan beberapa teman laki-laki lainnya menatap tawa gadis itu. tawa lepas yang indah. tawa yang baru muncul. Tawa yang membuat gadis itu tidak sadar. Ada sepasang mata yang memperhatikannya. Dan mata itu menyadari, bahwa gadis itu telah memasuki kehidupan playboy nomor satu SMA itu.
Gadis itu keluar dari kelas dan berdiri di pinggir tembok yang membatasi lantai dua. Ia melihat ke bawah, matanya menemukan sesosok laki-laki sedang memasukan bola ke dalam ring, diiringi sorak sorai para gadis lain. Tatapannya berubah sedih.
Aga, apakah keputusanku buat mencintaimu itu salah? Aku harap jawabannya nggak. Kamu itu orangnya baik, selalu buat aku ketawa,selalu buat aku nyaman. Makasih ya buat setiap leluconmu, karena itu berhasil buat aku ketawa. Makasih juga karena duduk di samping bangkuku, makasih buat gertakan pada teman-teman laki-laki yang menggodaku. Makasih buat semuanya. Aga, besok aku pergi ke London. Maaf aku nggak bisa ngucapin salam perpisahan. Aku takut aga. Aku takut menghadapi besok. Aku takut kalau aku akan pergi jauh dan nggak ada yang bisa ngelindungi aku lagi. Aku takut harus berpisah dengan kamu . Apa aku bisa aga? Mungkin aku bisa pura-pura kelihatan baik-baik saja, tapi bagaimana denganmu? Argh... aku lupa kau punya evelyn sekarang. Evelyn pasti akan jagain kamu sebaik-baiknya. Semoga keputusanku ini nggak salah. Semoga saja.
Gadis itu mundur selangkah. Kepalanya mendadak pusing, sangat pusing. Dia berjalan kembali ke kelas memegang meja dekat pintu. Pandangannya kabur, matanya tak menangkap bentuk apapun. Perlahan dadanya sakit, lebih sakit dari yang sudah-sudah, dia meringis. Perutnya kini mulai kram, tampaknya maagnya kambuh, dia belum makan apa-apa sejak kemarin.
Nggak Dya. Kamu harus kuat. Kamu harus bisa nahan ini semua. Kamu harus bangun. Kamu harus mandiri mulai sekarang. Disana nggak ada lengan yang tiba-tiba menolongmu ketika kamu jatuh. Kamu harus bangun Dya.
Perlahan ia berjalan sambil memegang pinggir meja, mengambil tas nya yang tergeletak. Tiba-tiba kakinya kram, tidak bisa digerakkan.
Aga aku mohon datanglah, aku mohon.
Di pinggir lapangan masih ramai terdengar pujian para perempuan tentang kehebatan permainan aga. Sekarang waktunya break. Tapi entah kenapa perasaan aga tidak enak, tatapannya terpusat pada kelas XII IPA 2 di lantai dua itu. Jantungnya berdegub kencang , seperti ada seseorang memanggil namanya. Dan pada detik itu juga dia tak dapat memikirkan apa-apa , dia hanya berlari menuju kelas itu meninggalakan tatapan heran teman-temannya dan teriakan para gadis.
" DYA!" teriak Aga ketika menemukan sosok gadis itu tergeletak dengan tangan kanannya memegang meja berusaha bangkit, tangan kirinya memegang perut yang kram itu. Nafasnya tersengal-sengal dapat dihitung dengan jari, dan wajahnya pucat pasi. Aga lari dan memegang tubuh lemah itu, meletakkan di pangkuannya.
"Dya, Dya bangun!" ucapnya sambil menggoyangkan tubuh itu dengan pelan, matanya khawatir, keringatnya menetes tak karuan, nafasnya membara.
Dya membuka matanya pelan, nafasnya masih tersengal " A.... ga... te...ri...ma...ka..sih "
"Apa yang sakit Dya? " tangannya memeriksa urat kaki.
"Kakimu kram? " Dya menggeleng pelan , lalu tersenyum kecut.
" Astaga, maagmu kambuh. " Dya hanya menggeleng pelan, lalu tersenyum kecut.
"Apa dadamu sesak Dya? Astaga mengapa kamu sesakit ini?" Tanya Aga sekali lagi, nadanya terdengar begitu pelan, panik, khawatir, cemas, dan putus asa. Sekali lagi Dya menggeleng pelan dan tersenyum kecut, karena yang ia rasakan sekarang adalah Aga muncul di depannya lalu gelap.
"Dya bangun Dya, Dya bangun! " seketika itu Aga bangkit, diangkatnya Dya dan dirapatkan pada tubuhnya yang basah karena keringat, tanpa berfikir panjang ia berlari menuruni tangga dan melewati pinggir lapangan, membiarkan tatapan heran dan tanya orang orang, sekarang yang ia pikirkan hanya kau harus sadar Dya, kau harus sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
REMEMBRANCE
Teen FictionAga dan Dya Mereka selalu menghabiskan waktu tapi tidak pada saat yg bersamaan. Mereka saling mengisi kekosongan tapi tidak pernah saling melengkapi. Mereka saling memberikan genggaman tapi tidak menerima kesempatan. Mereka saling memiliki rasa t...