3) Fajar Tak Berembun

5.3K 693 16
                                    

"Aku terluka. Bisa kamu obati?" 

Lagi-lagi kau muncul tanpa pertanda juga isyarat. Hanya darah yang mengalir dari batang hidungmu yang tergores duri mawar. 

Langit menghangat di atas sana bersama langkahmu mendekat. Perasaan apa ini? Yang melesak juga menderas mengalirkan debar yang begitu nikmat. 

Aku yakin kau pasti muncul kala senja mencapai kulminasi keindahannya. Kau benar-benar muncul bersama senyum yang kau bilang sebagai jelmaan kebaikan semesta. 

Tidak ada yang lain, Andaru. Ruang di samping kursi rodaku selalu kosong selama kau meninggalkannya. 

Aku mengobatimu dengan perasaan berkecamuk tidak aku mengerti. Plester di hidungmu menandakan pekerjaanku sudah selesai. Sekarang, giliran waktu kita hanya memandangi senja sambil menunggu anak kecil mana lagi yang  terluka meminta diobati. 

Kau tampak berbeda dengan seragam putih abu-abu tanpa atribut apapun. Kau terlihat lebih brandal dari anak-anak sekolah yang biasa kulihat.

Di waktu matahari mulai terbenam meninggalkan langit pada keungu-unguan, aku mengantarmu pulang dengan senyum. Kau yang berjanji untuk datang lagi pada esok-esok hari. Aku tidak perlu takut lagi. Ya 'kan, Andaru?

--------------------000-----------------

Kau pernah bertanya, 'Selain senja, apalagi sisa cinta semesta yang bisa kita nikmati?' 

Jawabannya adalah fajar. Tatkala mentari mulai terbit di ufuk timur, dan kau bisa melihatnya, di situlah kau harus bersyukur bisa menghirup aroma embun yang sungguh nyaman. Aku selalu melakukan hal itu. Hanya membuka jendela, lalu menghirup wangi khas pagi, pertanda aku masih dikasih kesempatan pada hari ini. 

Ibu selalu bertanya perihalmu. Kau yang tiba-tiba mengajak aku bermain, makan es krim, atau sekadar berbicara aneh sambil menatap senja. Aku jawab apa? Kau ingin aku akui sebagai apa? Aku hanya bisa tersenyum menjawab pertanyaan ibu. 

Andaru, akhir-akhir ini embun selalu bercampur dengan petrichor. Bekas hujan yang rajin turun pada malam hari. Dan tahu apa yang indah? Ada pelangi. Lihatkah kau akan hal itu? 

"Tadi pagi ada pelangi, Andaru!" kataku senang saat kita sedang berjalan-jalan di perkomplekan. 

Aku duduk di atas kursi roda, dan kau yang mendorongnya. 

"Iya 'kah? Di rumahku tidak ada," jawabmu datar. 

"Mungkin akhir-akhir ini kamu tidak bahagia." 

"Kata siapa?"

"Soalnya, pelangi itu akan menghampiri orang yang sedang bahagia."

"Salah, Hana. Kamu yang memanggil pelangi untuk menghiasi langit di atas rumahmu." 

Kita berhenti di bawah pohon rimbun yang rantingnya menjuntai ke bawah. 

"Oh, ya? Kamu mulai menafsirkan hal-hal aneh lagi, ya?" tanyaku sembari memperhatikanmu yang memetik ranting pohon yang bertekstur seperti serabut. 

Kau sulap ranting-ranting pohon itu menjadi mahkota cantik meski hanya berhias dedaunan hijau. Kau memakaikannya di kepalaku. 

"Nah. Jangan dilepas sampai kita pulang," paksamu. 

Aku terpaksa menurut saja kepalaku dihias mahkota buatanmu. Kau tahu? Kita jadi perhatian beberapa orang yang melihat! Aku sangat malu! Dan sepanjang perjalanan aku hanya menunduk supaya tak ada yang sadar merahnya wajahku. 

"Hei, kamu diam saja dari tadi?" Kau berjongkok di depanku. 

Di bawah merahnya mega langit yang menyala, mata kita bertemu pada satu titik yang sulit ditafsirkan. Satu hal lagi. Aku mendapat posisi baru dimana bisa melihatmu dengan begitu indahnya. 

SENJANDARUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang