--------------
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di detik selanjutnya kehidupan kita, dan apakah kita bisa menjamin kalau detik itu benar-benar akan terjadi?
Seandainya kau diberi tahu deadline hidupmu oleh Tuhan, apa yang akan kau lakukan? Jika kau sudah menemukan jawabannya, maka segera lakukanlah. Karena itulah hal yang paling kau inginkan. Setelah kau melakukannya, cepat atau lambat, kau tidak akan menyesalinya.-Nat-
--------------
How to Enjoy Life (II)
Waktu adalah Bom
"Apa itu death note? Apa namaku ada di dalam?" tanya Lana sambil menyambar buku bersampul hitam di pelukan Jason saat mereka berjalan ke kampus.
"Kalau namamu tertulis di dalam death note, kau sudah mati sekarang," cibir Jason.
"Omong kosong. Aku tidak akan mati jika Tuhan belum menginginkannya." Lana membuka buku tersebut dengan penasaran. "Kau menulis artikel ini sendiri?"
"Yeah." Jason tidak pernah membiarkan orang lain membuka buku pribadinya. Menyentuhnya pun tidak. Ia tidak tahu kenapa ia memberlakukan pengecualian ini pada Lana. Mungkin karena Lana berbeda.
"Ini bagus sekali!" seru Lana.
"Terus, apa gunanya?" dengusnya sinis. "Aku akan menjadi pebisnis. Manajer. Direktur kalau beruntung. Betapa kerennya," tambahnya sarkas.
"J.K. Rowling harus menunggu sampai ia berumur 31 tahun ketika novelnya terkenal dan sukses. Dan siapa sangka, biksu Ajahn Brahm ternyata pernah mendalami fisika teori sebagai jurusan kuliahnya. Kau tidak tahu apa yang akan terjadi di dalam hidupmu, bahkan selama satu detik ke depan." Lana mengembalikan buku tersebut kepada Jason.
"Aku tahu. Detik ini, aku berjalan bersamamu, lalu detik ini, dan detik ini lagi, aku tahu kalau aku akan tetap berjalan di sampingmu," balas Jason.
Lana tersenyum aneh, seolah tersipu. "Kau tidak bisa menjamin. Apa saja bisa terjadi dalam sekejap," bisiknya.
Jason hanya menatap Lana, terdiam cukup lama ketika ia menyadari tulang pipi gadis itu terlihat semakin menonjol. Lana terlalu muda dan polos untuk mengalami penyakit seperti itu. Terlalu muda.
Jason pernah menyarankan Lana untuk menjalani operasi dan kemoterapi, tapi Lana bilang, itu sama saja dengan menyia-nyiakan waktu dengan terbaring di atas ranjang dan tidak bisa melakukan apapun. Ia lebih memilih untuk meminum obat-obatan herbal, mengonsumsi makanan sehat, dan menjalani pola hidup sehat. Sampai sekarang, Lana tidak menyesal telah mengambil pilihan itu.
Lana adalah gadis terkuat yang pernah ia lihat. Bahkan jauh lebih kuat dari dirinya.
"Aku tidak sekuat yang kau bayangkan," kata Lana ketika mereka berdua duduk di taman. Sore itu, Jason membolos kuliah, dan tidak seperti biasanya, Lana sama sekali tidak melarangnya. "Saat pertama kali aku mengetahui tentang penyakit ini, setahun yang lalu, aku menangis setiap saat. Aku takut kalau aku akan mati. Hidupku tidak lama lagi, sementara masih banyak hal yang belum kulakukan.
"Aku menganggap Tuhan tidak adil, karena siapa yang mengalami hal ini di usia dua puluh tahun? Kenapa harus aku? Aku mengerti perasaanmu, Jason. Aku juga harus melepaskan cita-cita arsitekku demi kuliah akuntansi, permintaan orangtuaku. Tapi setelah aku sadar kalau aku tidak bisa menjamin bahwa aku bisa bertahan sampai kuliahku selesai, akhirnya aku berhenti kuliah. Dan, akhirnya orangtuaku menyetujui keputusan ini." Lana tertawa kecil sambil meneguk air mineralnya. Lana tidak boleh meminum apapun yang berasal dari kaleng, kotak, atau bungkusan apa saja yang mengindikasikan kalau cairan di dalamnya mengandung pengawet. Hal ini juga berlaku untuk makanan.
"Aku membaca banyak buku motivasi yang bagus. Aku bangun sebelum matahari terbit, kemudian bersepeda hingga langit mulai terang, dan ketika menyaksikan semburat indah berwarna oranye di balik awan, tiba-tiba aku merasa bahagia. Aku bersyukur aku masih hidup di saat itu. Aku bersyukur karena setidaknya Tuhan sudah memberiku kilasan tanggal deadline, walau itu belum pasti kapan. Aku bersyukur, karena dengan begini, aku menyadari betapa berharganya setiap detik yang kualami, dan aku masih diberi kesempatan untuk menikmatinya."
Lana memejamkan matanya, mencoba menghirup udara sedalam mungkin seolah ia khawatir kalau ia tidak bisa melakukannya lagi suatu saat. "Apa kau takut mati, Jason?"
"Tentu saja," jawab Jason dengan tercekat. "Siapa yang tidak?"
"Yeah. Aku juga." Lalu Lana membuka matanya. "Tapi, kita harus siap, setiap saat. Lakukanlah hal yang membuatmu siap untuk meninggalkan dunia ini kapan saja. Waktu itu seperti bom yang bisa meledak kapan saja. Menjadi tua tidak selalu identik dengan hidup yang segera berakhir. Sebaliknya, masa muda tidak selalu menjaminmu kalau kau masih jauh dari gerbang kematian."
Jason sadar, kalau dia bahkan belum mempersiapkan apa pun. Jason ingin menanyakan pada Lana apakah gadis itu siap, tapi ia tidak berani mengutarakannya. Akhirnya Jason hanya menepuk pundak Lana dengan canggung. "Kau adalah gadis yang luar biasa, Lana. Kau pantas mendapatkan hidupmu."
Lana menatap lurus ke arah Jason. "Kau juga, Jason. Hidupmu terlalu berharga untuk kau kutuk-kutuk setiap saat."
Sebenarnya, sejak berteman dengan Lana, Jason tidak pernah mengutuk hidupnya lagi. Kalau pun iya, itu hanya sekilas dan tidak separah dulu. Jason menyadari kalau hidupnya jauh lebih bermakna. Lana telah meruntuhkan tembok yang selalu ia bangun terhadap dunia luar, tembok yang mengurungnya di tempat gelap, membuatnya terus meratap dalam kegelapan.
Jason mulai belajar bersyukur. Ia bersyukur karena harus kuliah sambil bekerja, jadi ia harus bekerja di kafe itu, dan akhirnya ia bertemu dengan Lana. Ia bersyukur telah mengenal Lana.
Sampai suatu hari, ia tidak pernah melihat kehadiran gadis itu di kafe lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Enjoy Life
Short StoryCerita ini mengisahkan tentang Jason, remaja yang membenci hidupnya, kemudian bertemu dengan Lana yang merubah cara pandangnya mengenai kehidupan. Hingga Jason sadar, bahwa kehidupan memiliki makna yang lebih besar dari yang ia kira. Dan bagaimana m...