"Aku hari ini nggak masuk sekolah, Ma."
Gerakan tanganku menciduk nasi untuk Galang terhenti. Tubuhku menegak. Kepalaku menoleh ke arah sumber suara. Dari pintu kamar Kin, gadis menggemaskan itu cemberut. Bibir merahnya mencebik. Wajah tembamnya tampak murung. Ia menggeleng, membuat poninya bergoyang-goyang.
Aku mengernyit, menuang nasi di centong ke piring Galang, lalu menanggapi ucapannya. "Kamu sakit, Nak? Kenapa nggak sekolah? Jangan bercanda sama Mama. Pikiran Mama lagi kacau, Mama nggak mau kamu tambahi dengan hal-hal lain."
"Mah...."
"Cepat mandi, Kin. Kenakan seragam, lalu makan bareng Mas. Mama nggak mau mendengar kamu bolos." Aku berjalan ke sisi meja makan yang lain. Mengambil sepiring mi goreng kesukaan Galang, lalu menambahkannya di atas nasi anak laki-lakiku. "Kin—"
"Mah, aku nggak mau berangkat sekolah hari ini. Titik."
Bunyi pintu terbanting terdengar kupingku. Aku memejamkan mata. Kenapa lagi ini? Kin selalu berkelakuan menyenangkan hatiku. Kenapa sekarang dia mogok sekolah? Padahal ini bukan hari libur. Jelas, aku tidak akan mengabulkan keinginannya.
"Galang, habiskan makananmu, buruan berangkat sekolah, Mama mau ke kamar Kin."
Galang tidak menyahut. Dari ujung mata, aku melihat bocah itu hanya memutar-mutar rubiknya, tanpa sedikit pun memiliki keinginan untuk menyantap masakanku.
"Galang... habiskan makananmu, dan segera berangkat sekolah. Mama nggak ingin mendengar kabar dari Ibu Tuti kamu bolos lagi."
Anakku tetap tidak mau menyahut. Melirikku saja, tidak. Apa sih yang ada di pikirannya? Kenapa dia selalu ogah-ogahan seperti ini? Dulu, seingatku, sekolah adalah hal yang paling aku sukai. Tapi kenapa kedua anakku malas sekali berangkat sekolah? Mereka pikir, biaya sekolah mereka murah apa? Gratis? Aku harus berdarah-darah dulu untuk melunasi tunggangan biaya mereka. Tapi anakku sendiri, malah menyepelekan pendidikannya. Aku menggeleng. Lagi-lagi aku mengurut dada agar tidak termakan emosi. Ini masih pagi, demi Tuhan. Dan aku tidak akan memulai hariku dengan cek-cok kecil melawan anakku.
"Galang...." Langkahku mendekatinya terhenti saat aku melihat tas gitar bersandar tak jauh dari tempat Galang duduk. Aku memutar bola mata. "Kamu mau bawa gitar ke sekolah?" Aku tidak pernah menyukai anakku terlalu bergaul dengan teman-teman bandnya. Mereka itu berandalan. Tidak punya sopan-santun, dan membawa pengaruh buruk terhadap Galang. Lihat saja apa yang terjadi pada bayiku. Galang jadi suka menentang dan membentakku. Aku yakin sekali, teman-teman Galang turut andil mengubah peringai cowok gondrong itu—kan, aku bilang apa, gara-gara band sialan itu, anakku memiliki syle rambut yang tidak banget; gondrong, jarang dicuci lagi. "Nggak ada gitar ke sekolah." Aku mengambil tas gitar hitam itu.
"Mah...."
Nah, urusan ginian dia baru meresponsku. Sedari tadi ngapain? Aku bicara sampai berbusa, tidak dia tanggapi sekalipun.
"Mama bilang nggak ada gitar ke sekolah."
"Mama nggak bisa melakukannya."
"Oh, ya, kamu pikir, Mama kenapa sampai nggak bisa melarangmu membawa gitar ke sekolah?"
"Kembalikan gitar itu padaku, Ma."
"Lalu membiarkanmu membolos kembali seperti yang sudah-sudah? Membiarkanmu bergaul dengan para begadulan itu? Nggak, Nak. Mama nggak akan membiarkannya."
"Mereka teman-temanku, Ma! Mereka baik padaku! Mama nggak tahu apa-apa tentang mereka, jangan seenaknya menghakimi mereka secara sepihak seperti ini!" Mata cokelat itu menantangku. Dia berdiri dengan rahang yang mengeras—mengabaikan sarapan yang aku buat entah untuk yang ke berapa kali. "Kembalikan gitarku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
When Mom Knows Us
General FictionDihapus beberapa part untuk proses penerbitan Bab 11-30 saya private Seluruh hidupku berubah seratus delapanpuluh derajat saat kedua anak menggemaskanku berubah. Galang menjadi semakin liar di usia 14 tahun. Dan Kin semakin tertutup di usia 12 tahun...