D3 - Cup

1.3K 183 12
                                    

Kedua pemuda itu saling bersitatap tajam dengan dua alat pembersih ditangan mereka masing-masing.

Setelah tadi dipanggil ke ruang BK, Ali dan Fares dihadapkan dengan debu-debu yang menempel dijendela sekolah mereka. Yup, mereka diperintahkan agar membersihan jendela yang tingginya melebihi tinggi badan mereka.

Dengan tatapan yang terpaku pada wajah dihadapannya, Ali mengarahkan kemocengnya pada jendela, dimana ia bisa menghilangkan wajah Fares dari penglihatannya. Karna tepat dihadapan mereka berdua terdapat jendela tersebut, jendela transparan yang menjadi benteng antara mereka berdua.

Ali menggerakan kemocengnya, membuat wajah Fares kembali terlihat dipandangannya. Ali mendengus kasar, kemudian melempar kemoceng tersebut kebawah. "Kenapa ya gue harus ditakdirkan ketemu lagi sama bangsat macam lo?"

Fares mengangkat sebelah alisnya, menatap Ali dengan pandangan meremehkan. "Lo pikir, gue mau satu sekolah sama cowok bajingan kayak lo?"

Dengan gigi yang merapat keras, Ali tersenyum miring. "Lebih baik gue yang notabenenya semua orang tau kalo gue bajingan. Dari pada elo, cowok bangsat yang sembunyi dibalik ketek cewek lo."

Fares malah menggunjingkan senyum ngacolnya. "Oh ya? Lo kira gue gitu?" tanyanya, kemudian mengangguk paham. "Padahal, gue emang beneran serius sama Prilly."

"Haha," Ali malah tertawa hambar sambil menatap Fares sinis. "Iya! Gue liat banget, astaga! Lo sampe mukul gue karna gue bentak cewek lo, kan?"

Dan saat Fares menatap datar padanya, Ali menyeringai. "Jangan pernah lo ganggu Prilly. Dia milik gue."

Ali tersenyum sinis. "Yang pasti ..., gue gak akan ngebunuh dia." dan saat rahang Fares mengeras, Ali menyeringai lebar.

Fares, yang tadinya berniat untuk memecahkan jendela yang menghalangi mereka, diurungkan karna suara berat Pak Nizar--sang Guru BK menginstrupsi.

"Eit! Mau apa kamu Fares? Kerjakan, cepat! Kamu juga Ali! Jangan nyengir-nyengir kuda gitu! Dan, kemoceng kamu kenapa ada dibawah?!"

♬ ♬ ♬

Entah telah berapa kali ia melakukan hal ini didalam hidupnya, namun, hari ini juga --tepat saat pulang sekolah, cewek itu menatap geram pada cowok yang lagi-lagi menyimpan kakinya diatas meja dengan kurang ajar.

Prilly tidak mengerti. Ada saja orang macam Ali yang dengan mudahnya menganggap bahwa belajar itu tidak zaman. Padahal, dihitung bulan lagi, Ujian Nasional akan diadakan dan Ali masih saja bermalas-malasan seperti sekarang, "Li," panggilnya datar, "Gue kasih tau sama lo. Belajar itu penting, dan UN bentar lagi. Lo mikir gak sih? Kalo gue sibuk ngurusin lo, gue kapan belajarnya?"

Ali mendongak, menatap Prilly dengan wajah tenangnya. "Ya nanti. Kalo gue ada niat."

"Tapi, kapan niat lo bakal dateng?!"

"Tar, kalo gue mood."

"Ya kapan moodnya?"

"Tar, tunggu gue nganggep belajar itu masih zaman."

"Ya kapan lo bakal nganggep 'belajar itu zaman'?!"

"Yaudah. Tunggu aja hidayah dari Allah. Semoga aja 'belajar' tiba-tiba zaman dikamus gue."

Brak!

Ali berjengit. Ia menatap buku paket yang baru saja dibanting Prilly diatas meja, kemudian menatap Prilly yang sudah berdiri dan menunjuknya dengan berani.

"Lo!" geram Prilly, "Lo gak pernah ngehargain segala sesuatu yang ada disini. Lo selalu aja bilang ini-itu gak zaman! Padahal, hal yang lo sebut 'gak zaman' itu dibutuhin sama orang lain. Diharapin sama orang lain. Dan lo, dengan seenak jidatnya bilang 'belajar gak zaman'? Lo gak mikirin orang-orang yang pengen belajar diluar sana?"

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang