prolog

3.6K 393 4
                                    

Tadinya, mau bikin sequel My Bad King. Tapi gak tau kenapa kepikiran bikin beginian.

***

"LEONANDRA ALI!!"

Sudah berulang kali seruan guru yang memanggil namanya itu terdengar. Tapi, cowok itu tetap bergeming ditempatnya sambil nyengir saat melihat guru itu menghampirinya.

Selalu. Dan pasti.

Laki-laki yang selalu membolos saat pelajaran itu menyenderkan punggungnya pada pilar di tembok penghalang balkon sekolahnya. Telapak kakinya yang satu menapaki penghalang tembok balkon. Yang satunya, berayun ke depan dan ke belakang.

Dan saat guru itu berada di hadapannya, cengirannya semakin lebar, membuat guru tersebut geram dan segera menjewer sebelah kuping Ali.

Ali melotot, ia meringis kesakitan. "Ibu kekencengan jewernya! Aw! Sakit bu, lepas, tar saya jatoh nih dari lantai dua!"

Guru itu, Bu Erlin, tidak memperdulikan rengekan Ali, dan makin mengencangkan jewerannya. "Saya gak peduli! Sejak kapan saya peduli sama kamu? Sekarang turun ke lantai, atau ke tanah?"

Ali masih meringis, dan menjawab, "Lantai Bu, sakitttt!!"

Bu Erlin melepaskan cubitannya pada telinga Ali, dan membawa tangannya untuk berkacak pinggang. "Kamu tahu? Semenjak sobat kamu taubat, saya jadi bisa menghukum berbagai macam murid di sekolah ini tanpa ragu. Jadi, jaga sikapmu, atau kamu akan saya beri detensi. Mengerti?"

Ali yang sudah melompat turun ke lantai memasang wajah masam sambil mengusap telinganya dengan tangan. "Mengerti Bu."

"Bagus," kata Bu Erlin, kemudian kembali menjewer telinga Ali, membuat Ali kembali meringis dan mengaduh. "Sekarang, kamu ikut saya!" ujarnya di sela-sela perjalanan di koridor tanpa memperdulikan Ali yang mengaduh dan meringis. "Saya memang sangat merasa sial jika kamu ada di kelas saya. Tapi, saya akan makin sial jika kamu tidak ada dikelas lagi dan saya akan kembali dipanggil oleh Kepala Sekolah dan Pak Nizar."

Sesampainya di kelas, Ali masih dijewer oleh Bu Erlin dan dibawa ke depan kelas.

"Dengar anak-anak!" seru Bu Erlin sambil perlahan melepaskan cubitannya dari telinga Ali. "Ibu, sebagai wali kelas kalian memohon kerja samanya. Salah satu murid dikelas ini selalu berbuat onar dan membolos. Untuk itu, saya memohon kekeluargaan kalian agar membuat Ali ada dikelas, dan membimbingnya. Kalau Ali kembali tinggal kelas, saya tidak akan segan-segan memberikan nilai C- pada kalian."

Tarikan napas kaget menjadi sebuah jawaban yang sangat memuaskan bagi Bu Erlin. Ali mengusap telinganya, kemudian cemberut memandang Roy yang duduk sendirian sambil tertawa puas.

"Bu!"

Seru salah satu siswi, mengangkat tangannya ke udara, memberikan instrupsi pada Bu Erlin. "Ya Prilly? Ada apa?"

Cewek itu, Agatha Prilly menurunkan tangannya manjadi sebuah lipatan diatas meja. "Saya keberatan Bu!"

Pasti! Ali sudah mengetahui bahwa Miss-serba-perfect itu pasti akan keberatan dengan apa yang Bu Erlin katakan. Ini menjadi sebuah permainan yang menyenangkan untuk Ali.

"Keberatan?" Tanya Bu Erlin.

Prilly mengangguk. "Ya. Disini, yang susah diatur kan cuma Ali. Kenapa anak yang lain jadi kena? Itu gak adil banget!"

Seluruh murid di kelas menyetujui opini Prilly dan ada yang menambahkan beberapa kalimat persetujuan.

"Kita keluarga," kata Ali, membuat kelas bungkam. Ali memulai aktingnya. Cowok itu maju selangkah, mendekati meja Prilly yang berada di hadpannya. "Kalian bisa ngomong 'kekeluargaannya mana?' cuman karna ada yang bolos piket. Tapi, kalo udah kayak gini, kalian malah nolak?" Tanya Ali, tersenyum sinis. "Kalian tau gak sih? Itu tuh munafik! Hanya karna ketua kelas kita bilang itu gak adil, kalian setuju? Coba gini, kalo gue, sebagai murid disini emang yang paling bolot sampe gak naik kelas, trus, kalian gak mau bantuin gue? Padahal, disitu gue gak tau apa-apa. Apa itu adil buat gue?"

"Enggak." Seru para murid --kecuali Prilly yang geram dengan mata memincing dan Roy yang malah memvideo aksi Ali-- membuat Ali tersenyum sinis.

"Kalau gitu ...," jeda, Ali memfokuskan matanya pada Prilly yang memincingkan matanya pada Ali. "Gue cuma butuh satu orang buat bantuin gue," katanya, kemudian kembali maju selangkah. "Lo mau gak, bantuin gue?"

Seketika, kelas menjadi hening.

Prilly memincingkan matanya pada Ali. "Kenapa harus gue?"

Ali mengangkat sebelah alisnya, dan bersidekap dada. "Apa gue harus bilang karna lo orang yang paling ngerti tentang makna 'keadilan'?"

Mata Prilly makin memincing, membuat Ali tersenyum miring. "Kalo gue gak mau?"

Ali mengangkat bahu, berbalik kearah Bu Erlin, dan kembali menatap Prilly. "Seperti yang Bu Erlin bilang, nilai lo bakal di kasih D."

"Har-"

"Gimana?" Tanya Ali yang memotong perkataan koreksi Bu Erlin.

Prilly terdiam. Ia menatap Bu Erlin, kemudian kembali menatap Ali. Nilai D? Yang benar saja! Seumur hidupnya, Prilly tak pernah mendapatkan nilai serendah itu. Semua nilai yang ada di rapotnya harus A dan tidak boleh ada huruf lain. Ia tidak bisa membayangkan bahwa huruf D terpenuhi dalam buku rapotnya.

Apa ia harus menerimannya? Ah, mungkin ini hanyalah lelucon yang dibuat Ali. Mengapa ia harus peduli?

Ia kemudian menatap Bu Erlin, meminta penjelasan. "Bu?"

Bu Erlin tersenyum pada Prilly. "Kamu pasti bisa. Dan kamu harus bisa."

Oh tidak. Ini bukan lelucon belaka. Ia menatap Ali yang tersenyum miring padanya dengan geram. Ia mendengus, dan menjawab, "Oke. Gue terima."

Ali tersenyum miring, sedangkan Prilly hanya menatap geram kearahnya.

"Asaaahhh!"

Seruan itu membuat seluruh murid menatap kearah Roy yang sedang menatap ponselnya sambil tersenyum lebar. Ali tahu, Roy pasti puas dengan vidio yang dia ambil.

Merasakan pandangan menusuk yang menatapnya, Roy mengangkat kepala, dan melihat Bu Erlin yang menatapnya sambil bersidekap dada. Ia tersenyum ramah. "Maap Bu."

===Different===

Instagram: nrshf.mara.s
Blogger: nurshifasf.blogspot.com
Yt channel: sf ling

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang