01
RewindZaryn Geraldi
[Sekarang]
***
Gue, Zaryn Geraldi. Dari bayi sampai sekarang, yang sudah punya kegiatan rutin cukur jenggot tiap akhir pekan, orang-orang biasa memanggil gue, Ge. Kecuali untuk sesi formal dan di keluarga, mereka akrab dengan panggilan Zaryn.
“Pak, kunjungan ke lokasi proyek yang baru bisa dilakukan besok,” kata Haris, pegawai kantor dari unit supervisi misal lagi ngasih informasi soal kerjaan.
Kadang gue cuma bisa mesem. Suka merasa aneh kalau dipanggil Pak. Gue masih bujangan. Masih suka ngeluyur ke mana-mana. Masih terjadwal jemput anak Pak Hendi alias atasan gue, pulang kuliah kedokteran di Depok yang sekarang dijodohkan sama gue. Masih seperti abege yang sering nganter gebetannya ke mana-mana. Tapi ya mau bagaimana lagi, buat urusan kerja gue memang harus dipanggil Pak demi profesionalitas.
Menurut kalian enak nggak kerja di bawah pengawasan calon mertua? Nggak enak? Iya, nggak enak pake banget.
Apalagi tipikal orang seperti gue yang paling nggak suka diperlakukan secara spesial. Kalau bisa keluar dari tempat kerja yang ini pun, gue mau, misal jatuhnya kerja di tempat sederhana yang penghasilannya pas-pasan juga nggak masalah gue. Asalkan kelak bisa kasih nafkah ke anak dan bini dari hasil jerih payah gue sendiri. Halal. Bukan karena belas kasihan dan kemudahan orang lain.
“Menurutku sudah sepantasnya kamu menerima dia dan mensyukuri apa yang ada ditangan kamu saat ini, Ge. Dia cantik, baik atau buruk pribadinya udah nggak perlu ditanya, anak atasan lagi, dan bukan nggak mungkin kalau perusahan camer bakal beralih ke manajemenmu nantinya. Andin putri tunggal, kan? Sama saudara cowoknya lagi yang sama-sama diangkat itu?” kata Ucon waktu kita lagi ngopi di kafe dekat kantor. Dia teman SMA gue yang sekarang kerja di percetakan. Kebetulan lokasinya berdekatan sama kantor gue. Jadi, kita bisa sering ngobrol sambil ngopi di kafe seperti malam ini. Dunia tak seluas itu untuk bertemu kembali di kesempatan yang tidak diduga. Kepisah sama Ucon sejak lama. Dan ketemu lagi di Jakarta.
“Aku nggak bebas, Con. Jalan hidupku seolah dipilihin sama orang lain. Nggak bisa milih sendiri. Aku nggak terlalu mengharap jadi orang yang seperti sekarang. Sama sekali nggak. Semua terasa mulus dan sedikit banget tantangannya.”
“Kenapa?”
“Kalau mau tahu, sepertinya harus diceritain dari akar rumputnya.”
“Ya udah cerita aja. Aku lagi nggak buru-buru pulang. Bini lagi nginap di rumah saudara, makanya aku bisa ngeluyur sampai jam segini. Santaikan!”
Gue menimbang-nimbang kesempatan ini. Rasanya entah kapan percakapan santai terakhir gue dengan seseorang. Gue bukan orang yang pandai mencurahkan sesuatu.
“Jadi kamu enak ya, Con. Bisa menikah sama orang yang kamu pilih sendiri dan cintai.”
“Kamu kan juga punya Andin. Ajak nikah aja kenapa sih. Nggak baik tahu sering wara-wiri bareng tapi belum mahrom gitu.”
“Aku selama ini bareng sama dia. Tapi belum bisa jatuh cinta. Hambar.”
Gue mesem sambil menunduk. Pada saat yang sama udara dipenuhi gelombang nyaman dari lantunan penyanyi akustik di panggung kecil dalam sana. Itu membuat gue sedikit terbawa suasana alunan musiknya yang kadang seperti mendorong supaya terus bercerita. Tirai sudah ditarik, mau nggak mau cerita gue harus diteruskan. Penyimak sudah menanti.
“Masih suka mikirin Intan?”
Itu bukan pertanyaan yang perlu dijawab. Yang bertanya pasti sudah bisa menebak dari gelagat gue yang seperti lagi menyamarkan sesuatu.
“Sudahlah, dia itu masa lalu. Nggak ada yang perlu dibiaskan lagi sesuatu yang sudah benar-benar hilang. Kehidupan terus berjalan, dan Ia tidak bisa dimintai menunggu barang sebentar saja untuk orang yang terjebak dengan masa lalunya,” kata Ucon lagi.
“Dia sekarang lagi apa ya, Con? Udah lama banget.”
“Meleng nih anak. Yang dulu ya dulu. Sekarang ya sekarang.”
“Kalau dulu masih berlanjut, pasti sekarang aku bakal telepon dia. Dengarin dia cerita soal penemuan resep kukis terbarunya. Bayangin kalau dia lagi mengadon tepung sambil nyelempetin hp di pundak, biar bisa terus ngobrol sama aku.”
“Malah keterusan dia,” diambilnya kopi itu, lalu disesap dua teguk.
“Belum ada yang bisa menggantikan. Meskipun ada Andin.”
Ucon terdiam. Tapi gue tahu kalau dia ingin mendengar lebih dari itu.
“Enam tahun, Con. Aku sama Intan bisa dibilang pacaran enam tahun sejak SMP kelas tujuh. Makanya pas SMA kamu cuma bisa lihat tiga tahunnya aku sama dia.”
“Masih kecil udah nempel ke cewek aja.”
Dan dia beneran tertarik dengan keseluruhan ceritanya.
***
***[Dulu]
Sedikit sejarah tentang cinta pertama gue.
Waktu itu gue tidak tahu bahwa perjumpaan sekilas itu akan mengantar gue pada babak kehidupan baru yang sangat menegangkan. Pagi terlalu cerah saat gue yang masih bocah dengan bangga bawa map yang isinya ijazah SD ke gedung SMP. Pendaftaran siswa baru telah dibuka. Bahagia dong tentunya. Kenalan sama anak-anak baru. Berlagak akrab padahal baru saja kenalan. Sudah sok ngajak nyedot es teh di kantin. Mungkin kalau anak zaman sekarang mainnya langsung ke kafe atau jalan-jalan ke mal. Namun gue merasa beruntung pernah mengalami masa di mana hal yang paling memusingkan bagi anak seusia gue dulu bukanlah bikin kepsyen menarik di medsos, krisis kuota internet, namatin quest di permainan model role-playing game, merajut tagar sebanyak mungkin supaya bisa mendulang likes, atau konyol-konyolan beraksi di depan kamera supaya tenar. Tidak, gue punya babak yang sangat indah di masanya.
SMP itu letaknya di desa. Iya, gue orang desa. Jauh dari ingar bingar kota. Menghabiskan banyak masa kecil dengan alam. Dan gue akan selalu bangga dengan latar belakang ini.
Gue masih ingat banget, ponsel pertama gue itu mereknya Sony Ericsson yang buka tutup. Dulu Bapak barter jala satu-satunya ke tukang kebun SD gue dengan ponsel seken itu. Asli! Karena dulu Bapak jadi komite di SD, makanya akrab dengan tukang kebunnya. Padahal dari jala itu, biasanya Bapak pakai untuk menangkap ikan di kali untuk dijadikan lauk sarapan gue tiap berangkat sekolah. Tapi alasan kenapa Bapak melakukan itu karena biar bisa komunikasi sama kakak cewek gue yang dulu kerja jadi PRT di Jakarta. Kadang suka pengin nangis ingatnya. Namun itu dulu, sekarang semuanya sudah berubah.
Hari itu kami mengantre panjang di lapangan dalam rangka mengambil surat untuk orang tua. Dan di saat itulah titik sebuah pertemuan takdir terjadi. Untuk pertama kalinya gue ketemu Intan. Rambutnya lurus, panjang, ada jepitan rambut warna merah, tasnya selempang warna merah juga. Dan itu sebelum gue tahu bahwa itu adalah warna kesukaannya. Berbeda dengan anak-anak lainnya dia justru ditemani Bapaknya ketika mengantre.
Gue dulu belum tahu perasaan yang mulai bertunas ketika pertama melihat Intan memiliki suatu makna yang ajib. Maksudnya apa yang pada akhirnya membuat kisah gue sama dia berlanjut hingga enam tahun kemudian. Intinya waktu itu gue senang melihat dia. Gue langsung berani membenak kalau dia itu anak yang cantik tanpa tahu apa definisi dari cantik itu sendiri. Mungkin karena mata gue begitu menikmati pemandangan yang ada di sana. Tentang seseorang yang memegang separuh kisah hidup gue dengan imbas yang tak bisa dijabar-maknai dengan kata-kata. Dan itu yang membuat kisah ini begitu istimewa.
***
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan, Jangan Dibuka [Hardest Goodbye]
Teen FictionDisitir dari kisah nyata, Hardest Goodbye adalah buku pertama dari dwilogi HG-AF. Terpilih oleh wattpad sebagai cerita istimewa Wattpad HQ 2018. Cerita ini sudah tamat dan buku keduanya 'Autumn Farewell' juga salah satu nominasi pemenang wattys awar...