1. (11 Maret) Cimon Rasa Lemon

72 6 12
                                    

Berbicara soal cinta monyet memang tidak ada matinya. Aku rasa semua orang pernah mengalami hal ini, terbalas tidaknya cinta itu.

Sama dengan yang lain, aku pun pernah merasa yang namanya cinta monyet di bangku SMP, jenjang yang kata orang pada saat itu sudah wajar merasakan perasaan tertarik kepada lawan jenis, karena memang di bangku SMP seorang anak mulai mengalami yang namanya puber.

Adalah Randa (bukan nama sebenarnya), cowok tetangga kelas yang isengnya bikin puyeng sampai mabuk. Cowok yang senang banget menimpuk kepalaku pakai buku tulis Sinar Dunia kalau sedang berkunjung ke kelasku. Awalnya, aku pikir cowok ini berambisi untuk jadi drummer di skala kelurahan, tapi ternyata orangnya memang menyebalkan. Tingkat menjengkelkannya itu sudah berada di stadium akhir, tidak ada obatnya, selain menunggu datangnya keajaiban.

Selama berada di kelas tujuh, Randa tidak henti melakukan aksi serangannya. Kreativitasnya pun mulai muncul, dari sekadar menimpuk kepala, bilang “Cie... cie...” kepadaku yang sampai sekarang aku bingung maksudnya apa, hingga menyenggol bahuku dari belakang dan membuatku nyaris jatuh tengkurap. Dia sukses menjadi setan di surga remajaku.

Karena aku sudah tahu cara mengantisipasi kejahilannya itu (lari bersembunyi jika berpapasan), kehidupanku perlahan damai lagi, sampai suatu hari, tepat sekolahku mulai menjalani ujian kenaikan kelas, bencana itu datang.

Sudah menjadi aturan di sekolahku, setiap ujian kenaikan kelas, seluruh siswa yang berada di tingkat yang sama dibagi rata hingga memungkinkan aku dan beberapa teman kelasku bergabung dengan kelas sebelah. Entah karena pembagiannya sudah seperti itu atau karena kesialan selalu berpihak kepadaku, lagi-lagi aku harus satu ruangan dengan Randa. Cowok itu bahkan tanpa segan duduk di bangku sebelahku dengan alasan, “Biar gampang nyontek”. Aku sampai mengutuk guruku yang mengatur pembagian ruangan ujian, bahkan sampai berdoa supaya Randa ini dijadikan liliput oleh Tuhan, maksudnya supaya lebih mudah aku lindas kalau berulah.

Waktu ujian berjalan, hingga di hari terakhir ujian, tepatnya di saat menunggu lonceng kedua berbunyi, seorang teman datang menghampiriku, memaksa untuk menjabat tanganku. Aku yang kebingungan ikut menyodorkan tangan, sampai dia berkata, “Selamat, ya, kamu udah jadian sama Randa.”

What? OMG Heloooww (meminjam slogan Prilly). Ini orang dapat kabar dari mana? Seenaknya datang dan mengatakan sesuatu yang aku tidak mengerti. Aku pun berjalan keluar ruangan dengan perasaan marah, ingin melabrak Randa yang kuperkirakan sebagai biang kerok dari masalahku. Tapi keberanianku itu menciut di saat teman-teman Randa ikut meledekku, sedangkan Randa terlihat anteng-anteng tanpa beban, cengar-cengir tanpa rasa bersalah. Ugh!

Selama itu pula, kabar bahwa aku adalah pacar Randa menyebar ke seluruh siswa, dan akhirnya sampai ke telinga Pembina Pramuka (aku dan Randa adalah anggota organisasi ini) yang terkenal galak sekaligus jahil. Mampus, deh!

Bencana kedua datang pada saat anak pramuka ikut kegiatan perkemahan untuk menyambut HUT RI tingkat kecamatan. Sejak di hari pertamaku berkemah, sejak itu pula aku mendapat kejahilan teman-teman sekaligus seniorku. Taruhlah seperti di saat mereka menyembunyikan setangan leher Randa ke carrier-ku, mengatur supaya aku dan Randa yang mewakili regu untuk melapor ke stan panitia setiap kegiatan ingin di mulai, sampai mereka bekerja sama dengan pembina pramukaku.

Di pagi yang cerah itu, aku dan seluruh peserta kemah ikut senam pagi bersama panitia. Di tengah acara berlangsung, seorang senior dari regu putra memanggilku. Katanya aku dipanggil pembina untuk mengerjakan sesuatu di tenda putra. Tiba di sana, aku mulai merasa sesuatu yang aneh ketika seluruh regu putra dari sekolahku tidak tampak sibuk melakukan apa pun, justru mereka sedang asyik-asyiknya duduk di bangku panjang yang entah sejak kapan berada di depan tenda.

“Kamu ke sini!” seru pembinaku sambil menunjuk bangku kosong di sebelah Randa. Waktu itu aku agak takut, karena pembina pramukaku ini juga merupakan guru matematika yang terkenal killer saat mengajar. 
Namun aku masih ngotot tidak ingin menjadi bahan candaan mereka, akhirnya aku menggeleng cepat. “Saya harus mengikuti senam, Pak.”

“Ah, tidak perlu. Sebentar lagi pesertanya akan bubar. Ayo sini, duduk dekat Randa. Katanya kalian pacaran?”

Mampus! Wajahku kontan menghangat, aku sebal sekaligus salah tingkah, apalagi di saat salah satu senior menarikku untuk duduk di dekat Randa, sehingga kami jadi pusat perhatian di antara mereka.

Rasa maluku semakin bertambah di saat pembinaku menyuruh semua anggota regu putra untuk menyalami kami, bak sepasang pengantin di atas panggung pelaminan. Maluuuuu! Serasa aku ingin mencuri jubah Harry Potter agar menjadi makhluk tak kasat mata.

Aku patut bersyukur karena masa perkemahan berakhir juga. Kami kembali sibuk dengan rutinitas sekolah, sibuk dengan segala jenis PR dan beberapa les yang diadakan guru sekolah sendiri.

Hari itu jadwal kelasku dan Randa untuk les matematika. Pembina pramukaku yang juga sebagai pengajar di kelas itu memasuki ruangan dengan membawa beberapa macam spidol di tangan kanannya. Aku masih ingat waktu itu aku belajar materi sifat-sifat operasi bilangan bulat  yang dikenal ‘takukaba’ alias ‘tambah-kurang-kali-bagi’.

Di tengah pelajaran berlangsung, guruku itu meminta dua siswa untuk menjadi model di depan kelas agar penjelasan mengenai bilangan negatif dan positif bisa mudah kami pahami. Ya, benar dugaan kalian, yang menjadi model peraga itu adalah aku dan Randa. Berkat usulan guruku sendiri.

Aku dan Randa bejalan menuju depan ruangan. Aku diberi spidol berwarna biru sebanyak dua, dan Randa diberi spidol hitam sebanyak tiga.

“Spidol berwarna biru kita simbolkan negatif atau hutang,” ucap guruku sambil menunjuk spidol yang kupegang. “Dan spidol berwarna hitam kita simbolkan positif atau uang yang kita miliki,” lanjutnya sambil menunjuk spidol yang dipegang Randa.

“Iya, Pak!” seru teman-temanku sambil mengamati spidol yang kami pegang.

“Nah, kalian tahu? Listrik itu tidak akan ada kalau positif dan negatif tidak bertemu. Sama dengan mereka, cinta tidak akan ada kalau positif,” guruku menunjuk Randa. “Dan negatif tidak bertemu,” lalu menunjukku.

Sontak semua temanku tertawa menatap kami, ditambah kekehan jahil yang tampak kompak dari guruku dan Randa, seolah mereka begitu bahagia dengan pertunjukan konyol itu. Aku? Aku tentunya sudah sibuk merapalkan mantra agar guruku keselak dari tawanya (yang ini tolong jangan ditiru). Kenapa materinya jadi lari ke fisika, coba?

Aku semakin sebal, semakin jutek dan semakin mencak-mencak setiap Randa mengajakku berbicara, meskipun hatiku kadang berkata lain. Aku merasakan sesuatu yang mendebarkan sekaligus memalukan, tubuhku terasa panas sekaligus dingin, hatiku menjerit kegirangan sekaligus malu-malu, dan perlahan menyukai dan selalu menunggu Randa mengunjungi kelasku untuk menggangguku. Cinta di masa puber memang bodoh. Membuat suasana hatiku seenaknya berubah-ubah seperti cuaca di musim pancaroba.

Kisahku ini tidak memiliki ending yang bahagia, karena meskipun Randa pernah menembakku, aku tidak mengatakan ‘ya’ di saat aku ingin. Aku merasa masih malu dan belum waktunya memiliki hubungan seperti itu. Aku ingin menikmati debaran itu tanpa pusing memikirkan komitmen dan batasan. Aku menyukai perasaanku dengan bebas, tanpa ingin ditekan dalam bentuk apa pun. Jadilah kisah ini berakhir dengan seadanya, karena menginjak bangku SMA, aku dan Randa bersekolah di tempat yang berbeda.  

Kalau mengingat masa-masa itu lagi, aku tidak kuasa untuk tidak tersenyum geli sendirian. Bukannya aku masih memiliki perasaan yang sama ya, tapi aku bersyukur telah memiliki kenangan remaja seindah itu. Walau pada saat mengalaminya rasa kecut-kecut lemon lebih banyak terasa, tapi kalau dikenang sekarang sudah terasa manis kok.

7 Hari Tantangan MenulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang