Teriakan baleo masih terdengar.
Hampir seluruh anggota dusun berdiri di pesisir pantai. Tua dan muda bersaf menghadap laut. Bagi ibu-ibu dengan anak kecil, mereka hanya melongo dari pintu atau jendela gubuk, tidak berani membawa anak kecil keluar dalam kondisi cuaca berangin seperti ini. Yang pasti, semua orang menunjukkan wajah cemas. Cemas apakah malam ini akan menikmati hidangan paus. Cemas apakah para anggota keluarga akan kembali dengan selamat seusai perburuan.
Jarak pandang mata sangat pendek. Angin yang bertiup mengangkat bulir-bulir air, yang lalu terburai saling berbenturan. Sekira 300 m dari pesisir pantai, samar-samar terlihat bayangan hitam. Kadang ada dan kadang tiada. Sesekali bayangan hitam tersebut menghembuskan air tegak lurus tinggi ke atas. Hembusan air ini lalu pecah disapu angin. Semakin memburamkan pandangan.
Kesimpulan semua orang langsung jatuh kepada Paus Surai Naga. Pertama, gerakan paus yang lambat namun mengalir, timbul dan tenggelam bak naga yang sedang bermain di gumpalan awan di atas langit. Hanya Paus Surai Naga yang bergerak seperti itu.
Kedua, hembusan air yang tegak lurus setinggi mencapai 10 m. Paus lain yang berlabuh di kawasan ini adalah Paus Sperma Hitam, semburannya tidaklah tegak lurus, namun diagonal ke arah depan. Hanya Paus Surai Naga yang memiliki semburan seperti itu.
Ketiga... Tidak perlu alasan ketiga. Dua saja sudah cukup untuk membangun kesimpulan tentang Paus Surai Naga.
Bintang tiba di pesisir pantai. Pandangannya tak lepas dari sosok paus. Lalu sudut kedua matanya menangkap gerakan peledang. Tidak kurang dari 8 peledang bergerak dari dua sisi menuju ke arah paus. Kedelapan peledang tersebut milik tiga dusun lain di Pulau Paus.
Matahari mulai menjauh semakin ke barat. Awan tipis turut menyembunyikan keberadaannya. Hari sebenarnya masih petang, tapi beberapa orang warga mulai menyalakan obor. Mereka mengantisipasi kehadiran malam.
Pandangan mata Bintang lalu mengarah ke tempat Dusun Peledang Paus menambatkan peledang. Hanya ada satu peledang yang bergerak lambat menuju lokasi paus. Dahulu, Dusun Peledang Paus terkenal akan kecepatan peledang mereka. Bak kilat, menjadi yang terdahulu mendekati paus, memungkinkan para lamafa Dusun Peledang Paus menjadi yang pertama menghujamkan tempuling. Kini, peledang tersebut lebih mirip seorang bayi yang baru hendak belajar merangkak.
Di haluan peledang Kepala Dusun berdiri mengikuti irama gelombang laut. Angin menyibakkan rambut ikalnya yang memutih. Matanyanya menyipit, agar pandangan semakin fokus dan tak terganggu oleh deru angin dan desir air. Tangan kanannya memegang tempuling dengan tegar, setegar hatinya yang mengisyaratkan bahwa kalau ia harus menukar nyawa agar penduduk dusun memperoleh penghidupan yang lebih baik, maka serta-merta akan ia serahkan nyawa itu.
Para matros di belakangnya mendayung semakin cepat. Lamudi, yang mungkin berumur setua Kepala Desa, duduk di buritan peledang meneriakkan aba-aba sambil mengarahkan kendali peledang. Suaranya parau. Pada awalnya gerakan matros kaku, koordinasi mereka lemah, dan perasaan mereka ragu. Namun, setelah beberapa kayuhan, suara lamudi semakin gempar, semangat para matros menggebu dan gerakan pun semakin laju.
Belum satu pun peledang yang mencapai paus. Angin yang bertiup berhasil menghambat laju peledang. Entah apa perasaan mereka yang sedang berada di laut sana. Di pesisir pantai, penduduk dusun semakin gelisah. Tak sabar menantikan tikaman demi tikaman yang akan melemaskan paus.
Kembali sudut mata Bintang, yang saat ini berdiri di atas salah satu batu karang, menangkap sekelebat bayangan di arah kanan. Bentuk tubuh dan gaya berjalan bayangan tersebut sangat ia kenal. Seorang anak perempuan berusia 13 tahun dengan langkah kaki panjang-panjang, berjalan bergegas. Lamalera, gumamnya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Legenda Lamafa
FantasyNegeri Dua Samudera yang berjaya dan digdaya luluh lantak. Perang Jagat antara umat manusia dengan kaum siluman berlangsung ratusan tahun. Pada akhirnya gencatan senjata terjadi setelah pimpinan kedua belah pihak lenyap. Peperangan menyisakan abad-a...