Hujan gerimis turun sejak dua malam lalu. Angin bertiup ringan, seolah memberi kesempatan agar setiap rintik air dapat turun dengan sempurna. Hanya riak kecil dari tiap rintik hujan yang terlihat ketika menyentuh laut, sebelum berbaur disambut dalam hening.
Seorang gadis berusia 13an tahun berdiri di tepi pantai. Sepasang matanya sembab, namun menatap tajam ke laut penuh asa. Rambutnya yang keriting, setengah basah, menolak dibuai angin. Angin tidak dapat membawa pergi kesedihan hatinya. Sudah dua hari ia berdiri di tepi pantai, menatap laut.
"Lamalera..." suara perempuan dengan lembut menyapanya.
Suara tersebut menarik Lamalera kembali dari keinginan untuk terjun ke laut dan berenang mencari Bintang. Lamalera segera memutar tubuhnya.
"Bunda, maafkan aku..." air mata kembali mengalir di kedua belah pipinya.
Bunda Mayang memeluk Lamalera, lalu berbisik pelan, "Bintang baik-baik saja. Ia akan segera kembali."
Bunda Mayang sudah menyampaikan kata-kata ini berkali-kali kepadanya. Tapi ia enggan percaya. Air matanya kembali mengalir. Baginya kata-kata Bunda Mayang hanyalah kata-kata untuk menenangkan hatinya. Ingin sekali ia mempercayai kata-kata itu, tapi mana mungkin bisa. Ia melihat langsung, bahkan dari jarak dekat, Bintang jatuh ke laut dan dilibas ekor Paus Surai Naga.
Perburuan paus kali itu menemui kegagalan. Setelah menghantam peledang Lamalera, paus kedua merangsek maju membalikkan beberapa peledang yang ditumpangi para penikam paus. Di tengah keterkejutan munculnya paus kedua, dan beberapa peledang yang terbalik, perhatian para lamafa buyar.
Peledang yang terakhir mencapai paus pertama, dimana Lembata Keraf sang Kepala Dusun Peledang Paus berperan sebagai lamafa, berupaya mengejar. Malangnya, satu peledang berisi sekumpulan matros dan seorang lamafa tua tak akan mampu menaklukkan Paus Surai Naga. Harapan beberapa dusun pun perlahan pergi menjauh.
Saat kejadian itu, Bunda Mayang baru tiba di pesisir pantai. Dari kejauhan ia melihat anaknya melompat dari peledang yang dihantam paus sambil melontarkan Lamalera. Ia juga melihat Bintang terjatuh ke laut, dan merasakan aura anak laki-lakinya tersebut meningkat, lalu hilang begitu saja.
Saat itu, seluruh isi Dusun Peledang Paus gempar. Ibu-ibu dusun menghampiri Bunda Mayang untuk menemani dan berbagi kesedihan. Peledang Lembata Keraf bahkan belum sampai berlabuh ketika ia mendengar tragedi Bintang. Segera ia memutar peledang dan memimpin pencarian sampai larut malam.
Bunda Mayang hanya memandang laut dalam tenang. Empat buah liontin di dadanya tetap bersinar lembayung.
***
Ratusan kilometer dari Pulau Paus, berdiri gunung tertinggi di Pulau Jumawa Selatan. Puncaknya merupakan salah satu dari delapan yang tertinggi di Negeri Dua Samudera. Gunung berapi yang terletak di belahan timur Pulau Jumawa Selatan ini dikenal dengan nama Gunung Kahyangan Narada.
Oleh penduduk setempat, Gunung Kahyangan Narada terkenal akan keangkerannya.
Pernah suatu ketika lima pemuda murid sebuah perguruan silat mendapat giliran berlatih di Gunung Kahyangan Narada. Meski disebut berlatih, paling jauh mereka hanya akan mengunjungi kaki gunung. Karena bila terlalu dalam, maka banyak binatang siluman yang buas bertempat tinggal.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang perempuan muda nan cantik jelita yang juga hendak mendaki. Beranggapan bahwa tidak aman bagi seorang perempuan bepergian sendiri di gunung, kelima pemuda mengundang perempuan tersebut bergabung bersama mereka.
Perjalanan pun berlangsung lancar. Sepanjang jalan mereka bercengkerama. Kelima pemuda cepat akrab dengan perempuan yang ramah dan periang. Tersirat pula keinginan dari kelima pemuda menjalin hubungan yang lebih dari sekedar pertemanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Legenda Lamafa
FantasíaNegeri Dua Samudera yang berjaya dan digdaya luluh lantak. Perang Jagat antara umat manusia dengan kaum siluman berlangsung ratusan tahun. Pada akhirnya gencatan senjata terjadi setelah pimpinan kedua belah pihak lenyap. Peperangan menyisakan abad-a...