Semarang, 4 September 1939
Halo. Kenalkan, namaku Abimanyu Adhyatama. Panggil saja aku Adhe. Bila kau ingin memanggilku dengan nama lain, boleh saja. Aku tidak mempermasalahkan nama panggilanku. Ada yang memanggilku Abi, Adi, Adhyatama. Tetapi, nama panggilan yang dipakai oleh kebanyakan orang adalah Adhe. Akupun menyukai nama itu.
Sekarang, aku baru saja pulang sekolah. Aku sering mendapatkan tekanan di sekolah karena aku adalah kaum pribumi, sementara itu di sekolahku, kebanyakan muridnya adalah orang Eropa. Paling banyak adalah orang Belanda. Ada juga orang Jerman, Inggris, dan Prancis. Tetapi jumlah mereka tidak sebanyak orang Belanda yang memang mendominasi sekolahku.
Aku, pribumi. Asli Jawa, lahir di Semarang. Aku termasuk beruntung karena dapat bersekolah. Banyak kawanku sesama pribumi tidak dapat bersekolah karena mereka bukan anak bangsawan. Bangsa Eropa menganggap bahwa pribumi sepertiku memiliki derajat yang lebih rendah dibandingkan mereka. Aku benci sekali dengan jalan pikiran mereka. Lha wong ini tanah kami, kami penduduk asli sini, kenapa mereka datang dan seenaknya saja menguasai tanah Nusantara kami yang mereka sebut Hindia-Belanda ini? Tidak masuk akal.
Hari ini, di sekolah, anak-anak bangsa penjajah di sekolahku mengolok-olok diriku. Mengolok warna kulitku, mengolok bentuk wajahku, juga bentuk hidungku yang tidak seperti mereka. Mereka menyombongkan warna kulit mereka, hidung mereka yang mancung, dan mata mereka yang warnanya indah bagaikan lautan yang biru, serta menyombongkan derajat mereka sebagai bangsa penguasa. Aku sering diperlakukan seperti ini. Tetapi aku tidak peduli. Toch, apa untungnya membalas perkataan mereka, hanya akan membuat masalah yang ujung-ujungnya aku pula yang disalahkan. Sekolah tentu lebih memihak anak anak kulit putih itu dibanding aku yang hanya seorang pribumi.
Aku tidak habis pikir. Mereka bahkan mengolok-olok diriku menggunakan bahasaku, Bahasa Melayu. Mereka tidak berbicara dengan bahasa bangsa mereka. Bukannya mereka tidak ingin, tetapi mereka tidak bisa! mereka tidak pernah menginjak tanah Nederland, mereka lahir dan besar disini, di Hindia-Belanda! Lahir, besar, tinggal disini, bahkan berbicara menggunakan bahasa kami, beraninya mereka sok berkuasa, dan memperolok pribumi yang jelas-jelas penduduk asli tanah ini?
Aku terus berjalan sambil merenung, sehingga tidak menyadari bahwa aku berjalan menuju arah yang sangat berbeda dari arah jalan pulang ke rumah. Aku berada di sebuah kebun, yang ternyata berada di pekarangan milik orang lain. Ada sebuah rumah terlihat dari tempatku berdiri. Rumah itu berarsitektur Belanda, juga tampak bersih dan terawat.
Aku berbalik, hendak pulang kerumah. Tetapi, kakiku tersandung akar pohon dan jatuh terjerembab. Aku jatuh berguling-guling. Aku tidak menyadari bahwa aku tadi berdiri di tanah yang lebih tinggi daripada tanah tempat rumah tersebut berdiri.
Aku akhirnya berhenti berguling ketika aku menabrak sebuah pot bunga. Aku mengerang. Sakit sekali. Kepalaku juga pusing. Lenganku terluka, lecet disana sini. Aku dapat merasakan ada cairan hangat yang mengalir di pelipisku. Darah. Aku terluka cukup banyak karena tubuhku memang menghantam banyak bebatuan saat jatuh tadi.
Aku duduk dan menghela nafas. Hari sudah mulai gelap, aku harus segera pulang. Dapat dibayangkan reaksi ibuku yang akan histeris apabila melihat keadaanku yang penuh luka ini. Yah, lebih baik aku pulang sekarang.
Baru saja aku hendak berdiri, bahuku ditepuk dengan keras secara sangat tiba-tiba. Aku terperanjat. Aku memutar kepalaku, lalu kulihat sosok kurus yang berambut panjang hingga menutupi wajahnya..aku sangat terkejut hingga tidak dapat bereaksi apa-apa..lalu..mulut sosok itu terbuka..
"Halo? Kamu Ngga papa?"
Dia bicara!
"Lho..kamu.. orang?" tanyaku. Aku malah menanyakan pertanyaan bodoh yang tidak menjawab pertanyaan sosok itu.
"Lha iya lah mas, emang masnya kira aku apa? hantu?" tanya sosok tersebut.
Ternyata, 'sosok' tersebut adalah manusia. Anak perempuan. Nampaknya dia orang Indo. Warna kulitnya berada di antara warna sawo matang dan putih khas orang Barat, rambutnya hitam tebal, hidungnya mancung, dan matanya...hei, matanya sangat unik! Yang kanan berwarna biru, yang kiri berwarna hitam! Setahuku, itu adalah fenomena medis dimana seseorang memiliki warna mata yang berbeda satu sama lain. Wonder!
"Mas belum jawab pertanyaanku, masnya ngga papa? tadi suara jatohnya keras bener lho mas! Ada yang terluka?" Kata anak tersebut, membuyarkan pikiranku. Aku heran, jelas-jelas kepalaku berdarah, masih tanya apa aku terluka atau tidak.
"O-oh..ngga papa, cuma luka-luka sedikit, ngga ada yang parah kok" jawabku
"Tapi sama aja luka kan mas! mau tak bantu sembuhken lukanya mas?" kata anak itu
"Ngga, ngga usah. Toch, hari udah gelap, aku pulang saja. Masih bisa berdiri" kataku "Matur suwun, sampai ketemu lagi, Daag!" Aku mengucapkan salam perpisahan.
Anak itu tampak bingung sejenak.
"Masnya beneran gapapaa? ga butuh bantuan?" tanya anak itu. Ada nada kecewa dalam suaranya.
Aku berbalik menatap anak itu. Sepertinya usiaku dengannya tidak beda jauh. Atau bahkan mungkin sebaya. Tetapi dia memanggilku mas. Apakah tampangku setua itu? Hm!
Aku memperhatikan anak itu sejenak. Tubuhnya kurus, dan rambutnya sangat panjang, sepaha. Lalu mataku seketika terpaku pada tangan kirinya yang sedari tadi tidak kuperhatikan. Aku terperanjat.
Anak itu tidak memiliki tangan kiri.