Anak itu benar-benar tidak memiliki tangan kiri
Tangannya buntung, kurasa sebelumnya dia punya tangan, tetapi entahlah, mungkin tangannya diamputasi. Ada perban di tangan kirinya.
Aku terkejut. Aku juga takut. Aku ragu, dia sungguh manusia atau bukan? Aku tatap kakinya. Dia memiliki kaki! Kakinya menapak tanah. Dia mengenakan sepatu dan kaus kaki putih.
Takut takut aku pun berkata
"Aku yakin aku baik baik saja! Aku harus pulang sekarang! Daag!!"
Aku berlari sekencang-kencangnya tanpa menengok ke belakang lagi. Anak tersebut pun tidak memanggilku lagi. Sesungguhnya aku cukup penasaran, sebenarnya dia siapa dan kenapa?***
Aku telah sampai di rumah. Sesuai dugaan, ibuku terkejut melihat keadaanku yang dipenuhi luka."Ya Gusti! Kamu kenapa Le..???" Tanya ibuku
"Jatoh bu..tadi Adhe kepaduk akar pohon.." Jawabku
"Sini lukamu itu harus disembuhken sekarang! Mbok ya kalo jalan hati-hati!" Kata ibuku
Setelah lukaku dibersihkan, aku masuk ke kamarku. Aku merenung. Aku teringat anak tadi. Entah mengapa aku merasa ingin mengunjungi anak itu, dia nampak sedih dan kesepian. Lagipula kurasa aku tahu alamatnya, rumahnya berjarak beberapa blok dari toko kelontong milik seorang Tionghoa. Pemiliknya adalah kawan bapakku, anak dari pemiliknya pun berteman denganku.
Aku mengambil kertas kosong dan pena. Aku menggambar anak perempuan tadi. Wajahnya, rambut panjangnya, tubuh kecilnya...
Aku mencoba mengingatnya sebaik mungkin.Hal yang paling mengesankan dari anak tersebut adalah matanya yang indah. Seolah olah karena dia orang Indo, matanya pun juga setengah setengah. Indo adalah sebutan bagi para orang keturunan campuran, Belanda dan Pribumi. Tidak semua orang Indo memiliki mata seperti itu. Justru mata seperti itu jarang sekali. Kebetulan saja anak itu mendapatkannya. Mungkin karena faktor genetika dia jadi mendapatkan mata seperti itu.
Aku telah menyelesaikan gambarku. Tidak buruk. Aku suka menggambar dan orang-orang mengatakan bahwa aku berbakat di bidang ini. Kurasa gambar ini mirip sekali dengan anak tersebut.
Aku berencana mengunjunginya lagi besok. Aku ingin menunjukkan gambar yang telah kubuat padanya dan setidaknya menemaninya mengobrol. Daerah rumahnya sangat sepi, kebanyakan hanya ada orang tua dan nampaknya dia tidak bersekolah. Kemungkinan besar dia tidak punya teman sebaya untuk diajak berbicara.
Aku membereskan buku-bukuku, menyimpan gambarku, dan menyiapkan peralatan untuk sekolah besok. Lalu aku segera tidur.
***
Semarang, 9 September 1939Hari ini aku berangkat sekolah. Aku berpamitan pada orangtuaku dan bergegas jalan menuju sekolahku. Aku berharap hari ini berjalan lancar tanpa ada gangguan yang berarti.
Sekolahku terletak di pinggir kota. Sekolahku cukup strategis, dan daerahnya tidak ramai. Daerah sekolahku begitu tenang, hijau, sejuk dan menenangkan. Meskipun begitu, aku tidak terlalu menikmati keseharianku disekolah.
Meskipun aku golongan darah biru, aku tetap saja mendapatkan perlakuan tidak baik oleh teman-teman sekolahku. Mereka tidak pernah menyerang secara fisik, mereka menyerang menggunakan kata-kata yang menyakitkan. Mereka selalu membuatku terlihat memiliki derajat yang lebih rendah dibandingkan mereka.
Orangtuaku bukannya tidak tahu soal itu. Ibu pernah menasehatiku..
"Jangan balas kejahatan dengan kejahatan juga, balaslah dengan kebaikan. Lagipula apa untungnya bila kamu membalas mereka dengan kejahatan pula, itu artinya kamu sama saja dengan mereka. Biarkanlah, itu artinya pemikiran mereka belum dewasa. Buktikanlah kalau kamu itu orang hebat pada mereka!"Aku telah mencapai kelasku. Beberapa temanku sudah ada yang datang. Aku pun duduk di kursiku dan membuka sebuah buku sastra yang berisi kumpulan puisi yang kebanyakan bertemakan isi hati seseorang yang begitu mendayu-dayu.
Ketika aku tengah larut dalam buku yang kubaca, tiba-tiba ada seseorang yang menggebrak mejaku dan terdengar suara orang tersebut berbicara Bahasa Melayu dengan aksen aneh khas Belanda
"Hei, Inlander! Rajin benar kau, kau membaca buku!"
Inlander. Begitulah mereka memanggilku. Inlander berarti Pribumi, dalam Bahasa Belanda.
Tanpa melihat pun aku sudah tau siapa pemilik suara itu. Willem. Anak dengan nama paling pasaran di seluruh Hindia-Belanda. Anak itu adalah salah satu anak yang paling suka menggangguku.
Omong-omong meskipun Willem dan kawan-kawannya tidak bisa Bahasa Belanda dan mereka bicara menggunakan Bahasa Melayu, aksen mereka ketika bicara dalam Bahasa Melayu terdengar aneh, khas Belanda.
Aku menanggapi perkataan Willem hanya dengan mengedikkan bahu dan berkata..
"Nampaknya kamu kagum sekali jika ada orang yang baca buku. Saking ndak pernahnya lihat buku ya? Pernah baca buku ndak?"
Dari ekor mataku, aku melihat Willem membelalakan matanya. Dia mengernyit lalu berkata :
"Bicara apa kau, kalau bicara yang jelas! Aku ngga paham maksudmu! Dasar Inlander, bicaranya tidak jelas! Orangtuamu pasti ya yang mengajarken kamu bicara tidak jelas, orangtua macam apa itu! Mereka pula pasti yang ngajarken kamu sopan santun secara salah! Tidak tahu sopan santun! Tidak seperti kami bangsa Eropa! Dasar Pribumi! Inlander!"
Nah. Sudah omongannya semakin dipaksakan, melenceng jauh, bicara omong kosong dan bodoh, dia membawa-bawa orangtuaku pula. Cukup.
Aku menutup bukuku lalu menatap matanya tajam.
"Kalau bagimu ucapanku ndak jelas, belajarlah! Jangan main-main saja! Agar kamu jadi cerdas, sehingga paham banyak hal! Pahamilah sopan santun! Yang tidak ngerti sopan santun disini itu kamu tahuu!! Tidak usah bawa-bawa orangtua! Bapak Ibuku mengajarkanku sopan santun dengan baik, asal kamu tahu! Jangan berlagak tahu segalanya padahal kamu itu tong kosong yang nyaring bunyinya!" Kataku
Willem menatapku tajam. Giginya bergemelutuk. Jelas dia juga kesal padaku. Dia membalikkan badan dan berkata :
"Aku tidak punya waktu untuk bicara dengan Inlander bodoh sepertimu! Buang waktuku saja!"Aku menarik napas panjang. Aku berusaha bersabar. Orang sabar disayang tuhan, begitu kata Ibuku.
Bel masuk berbunyi. Pelajaran pun dimulai.***
Setelah melalui jam-jam pelajaran, akhirnya sekarang sudah waktunya untuk pulang. Guruku telah meninggalkan ruang kelas. Aku membereskan barang-barangku yang masih tercecer, sampai tiba-tiba, gangguan datang lagi
"Wah! Gambar apa ini! Hantu? Hahaha!!"
Willem lagi. Bersama 2 orang kawannya. Mereka tengah menatap kertas yang dipegang oleh Willem. Kertas itu adalah kertas dengan gambar anak perempuan yang kemarin kutemui dikala senja.
Astaga
Tidak cukup banyakkah cobaan yang menimpaku hari ini?