Pertemuan

159 94 106
                                    

Bissmillah, Assalamualaikum, hai guys ini cerita pertama ku ,semoga tidak mengecewakan wokee? Ngga vomment gapapa, udah baca sampe selesai dengan ikhlas sudah membuatku senang :)
Mari kita mulai
*
*
*

Aku terdiam di ujung senja, menikmati embusan angin yang menerbangkan anak rambutku. Sudah lama sekali sejak kejadian itu, tepat 6 bulan yang lalu.

Pertemuan pertamaku, masih melekat indah disetiap memori ingatan ini. Pandanganku mengarah kepada seorang pria berkulit putih bertubuh tinggi, badanya tegap, garis muka yang pasti menandakan dia orang yang tegas, alisnya yang tebal sempurna serta bibirnya yang merah merekah. Rambutnya bak mahkota raja.

Aku terdiam, memandang ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna. Pria itu berdiri di seberang trotoar jalan, di sampingnya seorang wanita paruh baya menggunakan pakaian seadanya dan digenggamnya payung hijau.

Setelah mengangkat tangan ke arah kiri mengisyaratkan para pengendara untuk berhenti, pria itu mulai berjalan dengan mantap sambil memapah wanita paruh baya itu di sisi kanan nya. Setelah sampai di seberang, tepat di sisi kiriku pria itu tersenyum dan membungkukan badan kearah wanita paruh baya itu seraya melambaikan tangan dan mengucap kata selamat tinggal serta berhati-hati.

Pria itu memandangku, aku terperanjat sekaligus malu saat ketahuan memperhatikanya sejak tadi, takut bila pria itu bisa membaca pikiranku. Dia hanya tersenyum dengan kedua lesung pipit menghiasi wajahnya, oh Tuhan sekali lagi, senyumnya benar-benar menambah kesempurnaan, dan lebih parahnya, itu membuatku terpesona. Salah dugaanku bila pria itu tersenyum dengan maksud menggodaku.

Seusai tersenyum ia bertanya kepadaku apakah aku hendak menyeberang juga. Aku terkekeh dalam hatiku sendiri merutuki ke gr-anku. Aku hanya menggeleng.

Tiba-tiba hujan turun, bukan sesuatu yang mengejutkan karena sedari tadi cuaca memang beranjak memburuk dan langit perlahan menghitam.

Kepalaku terus menelusuri segala tempat mencari perlindungan dari serbuan rintik air yang semakin lama semakin deras. Dengan gerakan dagu, pria itu menunjukan sebuah cafe di salah satu sisi jalan, tak lupa dengan senyumnya yang menurutku menjadi ciri khas.

Aku mengangguk, tanpa ragu aku mengikuti di balik punggungnya seraya berjalan menuju ke cafe.

Sesampainya di sana ia membukakan pintu untuku, aku segera masuk sebelum air mulai membasahi keseluruhan bajuku. Suasana cafe yang hening dan lantunan lagu instrumental sangat membuat nyaman siapapun yang berada di sini, tapi entah kenapa cafe ini terlihat sepi.

Aroma kafein menusuk hidungku, hujan berhasil membawa hawa dingin yang sempurna. Aku memesan satu latte tak ketinggalan pula aku menawarinya. Dia hanya mengangguk.

Aku berjalan kesalah satu sudut cafe dengan jendela besar mengarah kemuka jalan. Air membasahi jendela kaca dan membuatnya berembun. Tampak di ujung jalan ada seorang anak kecil dengan bahagianya menikmati guyuran air hujan yang turun. Akupun ikut tersenyum melihatnya.
 
Tak kusangka pria tadi juga sudah duduk di kursi tepat di hadapanku. Dia mengulurkan tangan nya, tanganku dengan sigap pun menyambutnya. Wildan. Aku tersenyum. Tak lupa aku juga memperkenalkan diriku sendiri.

Latte pun datang bersama seorang wanita dengan nampanya. Asap mengepul menebarkan aroma yang hangat. Satu seruput latte mampu membuat badanku pun ikut menghangat.

Selama sekian detik pun sunyi. Canggung. Akhirnya dia yang memulai percakapan. Berlarut-larut, ternyata pria di hadapanku begitu menyenangkan.

Aku menceritakan mengapa aku bisa berada di kota ini, Kota Pelajar, Yogyakarta. Karena sakit neneku yang tak kunjung menandakan hal baik, aku dikirim orangtua ku untuk menjaga nenek di sini. Mumpung libur semester kataku, lumayan untuk liburan juga. Dia membalas dengan senyumnya lagi disertai sebuah anggukan, entah kenapa itu membuatku nyaman.

Topik obrolan dan caranya bicara membuatku terhanyut dalam percakapan ini. Tak sungkan aku meminta nomor hp nya, dan pada akhirnya kami pun bertukar nomor hp. Dia orang yang supel, friendly, dan bisa membuat orang yang ia ajak bicara ikut ceria. Obrolan berlanjut hingga hujan berhenti dan aku pun pamit untuk pulang, dengan alasan takut bila nenek mencariku.

Pelipur lara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang