flashback
Pagi ini dengan bermodalkan nekad, aku bulatkan tekad untuk bicara sama Mas Raihan. Sudah terlalu lama ku pendam keinginan ini, walaupun ini terkesan egois, tapi ini juga demi kebahagiaan suamiku dan keluarga kecil kami. Jangan bilang ini mudah untukku, ini sangat sangat berat sekali. Makanya aku beranikan diri memulainya by sms. Karena nyaliku sangat kecil untuk melihat kemarahan Mas Raihan.
Meskipun dia selalu mengelak dihadapanku dan seperti acuh akan kehadiran anak di antara kami, bahkan dia pernah mengamuk hebat dan berujung dengan aksi tutup mulutnya selama tiga hari tiga malam, hanya gara-gara perdebatan kecil yang aku mulai. Semua itu karena belum datangnya seorang buah hati di antara kami. Dan itu adalah hari-hari terberatku selama aku hidup dengan Mas Raihan, itu pertama kalinya aku melihat kemarahan Mas Raihan karena selama mengenalnya dia tidak pernah memarahiku, itu juga adalah pertengkaran pertama kami yang terdahsyat. Walaupun hari-hari kami selalu di hiasi perdebatan kecil, tentang hal-hal sepele ( tentu saja bukan masalah anak ) tetapi Mas Raihan selalu bisa mengakhirinya dengan indah. dan ehemm..ehhmm... aku menyukai caranya itu.
Sejak saat itu, mungkin lima tahun yang lalu, kami seakan menutup mata dan telinga terhadap masalah ini, tetapi aku tahu jauh di lubuk hatinya sangat mendamba kehadirannya. Bagaimana aku tahu? jangan tanyakan hal itu, hanya orang buta yang tidak bisa melihat binar matanya ketika berhadapan dengan anak kecil.
Aku dan Mas Raihan sama-sama anak tunggal, tapi saudara sepupu kami cukup banyak dan hampir semuanya sudah menikah. Bahkan mereka yang sudah menikah sudah mempunya putra maupun putri. Lita yang baru menikah 2 bulan yang lalu saja sudah mengandung empat minggu. Siapa yang tidak iri dengan kebahagiaan yang seperti itu coba?
Meskipun Mami, Papi, Abi dan Umi tidak pernah menyinggung masalah cucu, sekali lagi aku tahu sebenarnya mereka sangat menginginkan seorang cucu.
Apakah aku berdosa jika iri terhadap kebahagiaan mereka?
Selama ini aku diam bukan berarti aku tidak berfikir dan berusaha, doa-doa tak luput ku sebut di setiap sholatku. Berbagai terapi sudah aku lalui, kecuali alternatif, karena aku tidak mau mengambil resiko dan bermain-main dengan nyawaku. Aku tidak mau memikirkan untuk melakukan bayi tabung ataupun inseminasi buatan, karena nyaliku untuk melakukan itu tidak ada sama sekali.
Delapan tahun bukan waktu yang singkat untukku yang hanya manusia biasa ini, mungkin ini ujung dari kesabaranku? Aku memang egois, temperament dan suka bertindak sendiri, setidaknya itulah gambaran diriku yang selalu mami protes.
Mungkinkah ini karma untukku? atau ini jalanku untuk mendapat tempat terindah Mu?
Sebelum menikah dengan Mas Raihan aku hanya seorang gadis labil yang hanya mengerti sedikit sekali tentang agamaku. Aku memang muslim, tetapi mungkin hanya formalitas saja. kalian tahu kan maksudku. Tetapi nilaiku bukan Nol besar, karena Bik Ijah pembantu kami dulu sering mengajariku sholat, mengaji, bahkan lagu-lagu islami diajarkannya padaku. Tapi sayang, Bik Ijah harus pulang kampung karena keluarganya lebih membutuhkan Beliau. Dan pengetahuan agamaku harus berhenti di umurku yang ke delapan tahun. Jangan berharap lebih dari anak berumur delapan tahun, tanpa bimbingan dan lingkungan yang tidak mendukung hidupku menjadi tidak terarah. Papi Mami gila kerja, setiap hari aku di cekoki dengan materi yang berlimpah, semua kebutuhan fisik dan pendidikanku tidak ada yang kurang, bahkan lebih dari cukup tetapi saat itu aku tetap merasa kosong.
Beruntungnya aku tidak terjerumus dalam pergaulan yang negatif, meskipun Mami Papi tidak ada waktu untukku tetapi mereka sangat memperhatikan pendidikan dan pergaulanku. Kekosongan itu mulai terisi saat aku memasuki bangku kuliah, Alhamdulillah aku selalu di kelilingi sahabat-sahabat yang baik, yang selalu membimbingku ke arah yang benar, meskipun saat itu kami masih sama-sama dalam tahap belajar.